Minggu, 31 Oktober 2010

Maafkan Aku Bila Mencintaimu

Catatan:
-Judulnya? Oh, my God, berlebihan! Tapi, karena ini adalah cerpen pertamaku yang berhasil dimuat di majalah, aku rasa tidaklah berlebihan kalau aku sangat senang mengetahui bahwa akhirnya aku 'diakui' sebagai penulis karena tulisanku dimuat.
-Aku perlu menunggu kira-kira satu tahun untuk melihat cerpen ini muncul di majalah ANITA Cermerlang No. 10/XXI/26 Mei – 08 Juni 2000, tapi penantianku berharga karena cerpen ini terpilih sebagai cerita utama di edisi tersebut. Yay! I made it!!
-Honornya tidak seberapa, tapi rasanya luar biasa karena itu adalah pertama kalinya aku bisa menghasilkan uang dari jerih payahku sendiri. Kisah selengkapnya, akan aku tuliskan di kesempatan mendatang bisa di baca sekarang di sini.
-Sampai sekarang aku masih menyimpan majalah ANITA Cemerlang edisi tersebut. Sudah 10 tahun, ternyata. How precious it was.
-Sayang sekali, majalah ANITA Cemerlang sudah tidak terbit lagi sekarang.
-Hehehe. cerpen ini terinspirasi oleh kisah nyata seorang cewek yang baru pertama kali merasakan jatuh cinta pada seorang cowok -- boleh dikatakan bahwa ini adalah kisah cinta pertamanya -- dan cewek itu adalah  Ajeng Arum Maharani alias AJ Maharani (namaku di blog ini). Yups. This story was based on my true story with different plot and character, of course.


Sinopsis:
Agnes jatuh cinta pada Kevin yang sudah memiliki kekasih bernama Velia. Ketika ia mengakui perasaannya pada Siska, sahabatnya, ia disarankan untuk melupakan perasaannya itu. Agnes yang semula ragu-ragu akhirnya bertekad untuk membuang jauh-jauh perasaannya terhadap Kevin. Karena Agnes sadar bahwa Kevin hanya memandangnya sebagai teman. Karena Agnes tahu ia tak mungkin bisa memiliki cinta Kevin. Karena Kevin memberikan cintanya hanya untuk Velia, kekasihnya.  


Maharani Menulis:

MAAFKAN AKU BILA MENCINTAIMU*



Meskipun cinta tak bisa dipaksakan
Tapi juga tak bisa diabaikan
Mencintaimu mungkin suatu kesalahan
Tapi membencimu bukanlah suatu kebenaran
Bila hidup perlu perjuangan
Cintapun butuh pengorbanan



“Katanya mau ngomong, kok malah diam, sih!” kata Siska, memandangku heran. Aku diam tak segera menjawab. Siska kembali menikmati puding vanila-nya. Sesaat hening, hanya suara sendok dan garpu beradu yang terdengar.

“Aku jatuh cinta padanya, Sis,” kataku pada akhirnya.

“Apa?! Kamu jatuh cinta sama Kevin?” tanya Siska dengan nada tak percaya. Matanya yang bundar indah itu menatapku tajam. Dari raut wajahnya tampak bahwa dia sangat terkejut sampai-sampai sesendok puding vanila yang sudah berada di depan mulutnya tidak jadi dimakannya. Aku hanya tersenyum melihatnya.

“Kamu sadar dengan apa yang kamu katakan, Nes?” tanya Siska masih tak percaya.

“Iya,” jawabku mantap dan menyakinkan.

“Kamu benar-benar naksir Kevin?”

“Iya,”

“Kamu serius?”

“Iya.”

“Kamu...”

“Iya!” potongku cepat, tanpa menunggu Siska selesai bicara. Siska menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu menikmati puding vanila-nya kembali.

“Apa aku salah?” tanyaku takut-takut.

“Salah atau tidaknya itu sih tergantung penilaian masing-masing orang. Tapi yang jelas kamu telah mencintai orang yang salah. Kevin itu kan sudah punya pacar dan kamu tahu itu!”

“Ya, aku tahu.”

“Lalu kenapa kamu mencintainya? Apa kamu tidak bisa melihat setiap hari mereka selalu jalan berdua, entah itu berangkat sekolah atau pulang sekolah? Apa kamu tidak sadar bahwa mencintainya sama saja dengan menyiksa diri sendiri?” bertubi-tubi pertanyaan meluncur dari mulut Siska.

“Aku sadar. Tapi, entahlah, Sis. Mungkin kamu benar. Mencintainya hanya akan membuatku terluka. Mencintainya adalah suatu kesalahan besar!”

“Lalu?”

“Aku sendiri juga tidak mengerti. Perasaan itu tiba-tiba saja hadir di hatiku tanpa bisa kucegah. Terkadang aku merasa menyesal telah mencintainya. Aku merasa bersalah telah menyayanginya, tetapi...terkadang aku merasa tak ingin kehilangannya.”

“Ironis sekali, Nes.”

“Ironisnya lagi kadang-kadang aku berharap dia bisa menyayangiku sebagaimana ia menyayangi Velia. Mungkin kedengarannya aneh atau bahkan gila.”

“Agnes, aku tidak menyangka kamu begitu...mencintainya.” Siska menatapku seolah-olah ia bisa merasakan apa yang kurasakan. Mengharapkan sesuatu yang tak mungkin untuk dimiliki.

Aku hanya tersenyum getir. Begitulah cinta, bisa membuat orang bahagia, tapi bisa juga membuat orang sengsara. Cinta memang penuh pengorbanan.

“Menurutmu apa yang harus aku lakukan?” Aku meminta pendapat.

“Kalau boleh aku memberi saran, sebaiknya kamu lupakan saja Kevin. Karena kurasa sia-sia saja mencintainya, dia bukan tipe cowok yang mudah berpaling.”

“Apa aku bisa?”

“Kalau kamu punya tekad, kenapa tidak bisa? Itu demi kebaikanmu dan kebaikan Kevin.”

Aku terdiam, mencoba merenungkan kata-kata Siska barusan. Melupakan Kevin? Mungkin itu jalan terbaik, tapi sanggupkah aku melakukannya? Hanya Tuhan yang tahu.

“Sudahlah, tak perlu dipikirkan lagi. Pulang, yuk!” Akhirnya aku dan Siska keluar dari restoran itu. Hatiku pun kembali resah.

***


Kevin memang sahabat yang baik dan menyenangkan. Siapa pun orangnya pasti akan senang menjadi temannya. Begitu juga aku, sikapnya yang ramah, penuh perhatian, benar-benar telah membiusku. Mempesonaku. Mungkin terlalu berlebihan, tapi tak bisa kuingkari, aku jatuh hati padanya.

Seandainya dia masih sendiri. Seandainya Velia tidak pernah ada. Seandainya aku lebih dulu mengenalnya. Mungkin aku masih punya ’sedikit’ kesempatan. Memang Kevin baik padaku, bahkan teramat baik. Kami pun cukup dekat. Kami sering ngobrol bersama, saling bertukar cerita, tak jarang saling curhat. Tapi untuk yang satu ini aku tidak bisa mengatakannya.

“Hei, melamun!” Sebuah suara yang sangat kukenal mengejutkanku. Itu suara Kevin.

“Kamu, Kev,”

Aku tersenyum padanya dan dia membalasnya lalu duduk tepat di hadapanku.

“Apa kabar, Nes?”

“Baik. Kamu?”

“Aku lagi bingung, nih!”

“Kenapa? Apa ada masalah dengan Velia?” tanyaku mencoba menerka.

“Ya, begitulah.”

“Kalian bertengkar?”

“Sepertinya dia marah padaku, tapi aku tak tahu apa sebabnya.” Kevin menatapku. Dari tatapan matanya aku tahu dia sangat bersedih.

“Mungkin ada kesalahpahaman di antara kalian. Mungkin Velia cemburu. Biasalah seorang wanita pasti tidak akan suka kalau kekasihnya bersama wanita lain.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku tanpa kusadari.

“Maksudmu?”

“A...ma...maksudku...,” Aku tergagap, tidak bisa menjelaskan. Tiba-tiba jantungku berdebar-debar tak menentu. Apalagi ketika Kevin menatapku tajam, seakan-akan ingin mencari tahu apa maksud ucapanku tadi. Sesaat kami terdiam tak bisa bicara.

“Kevin!” Tedengar sebuah suara memanggil nama Kevin. Kami sama-sama menoleh. Tampak Della datang menghampiri.

“Ada apa, Del?” tanya Kevin.

“Kamu dicari Velia, tuh!” jawab Della sambil melirikku sinis. Memang Della tidak suka padaku.

“Velia?” tanya Kevin ragu-ragu.

“Iya. Cepat temui dia. Nanti dia ngambek lagi.”

“Maaf, ya, Nes. Aku tinggal dulu. Yuk!”

Kevin dan Della berlalu pergi. Aku hanya bisa mendesah pelan memandang kepergian mereka.


***

Siang itu sangat terik. Dengan buku kudekapkan di dada, aku berjalan sepanjang koridor menuju gerbang. Dan tentu saja aku harus melewati kelas Velia yang berada paling ujung.

“Pokoknya aku tidak suka kamu terlalu dekat sama Agnes!” Kudengar suara Velia dari dalam kelas. Dia menyebut-nyebut namaku. Hal itu membuatku menghentikan langkahku. Aku penasaran. Aku berdiri di depan pintu kelas.

“Kenapa? Kamu cemburu?” Sebuah suara menimpali. Itu suara Kevin. Dadaku berdesir. Kevin dan Velia membicarakanku? Ada apa? Aku semakin penasaran. Mau tak mau aku harus mendengarkannya.

“Aku tidak cemburu. Apa kamu tidak tahu kalau...kalau Agnes suka padamu? Agnes itu naksir kamu!”

Deg! Aku merasa jantungku berhenti berdetak. Aku merasa langit seakan menimpaku.

“Agnes suka padaku? Tidak mungkin!”

“Kalau kamu tidak percaya tanyakan saja sendiri!” kata Velia cukup keras membuatku semakin tak karuan.

Sesaat hening.

“Sudahlah. Aku tak mau bertengkar dengannya.” kata Kevin.

Tak ada jawaban dari Velia, entah bagaimana raut wajahnya, aku tak tahu.

“Tak perlu cemberut begitulah. Kamu kan tahu aku sangat sayang padamu. Hanya kamu cintaku.”

Kata-kata Kevin terdengar jelas sekali di telingaku. Mataku terasa panas. Ingin sekali aku menangis. Dadaku terasa sesak menahan gejolak perasaan yang belum pernah ada sebelumnya, tapi aku mencoba bertahan.

“Benarkah, Kev?” Kudengar suara Velia lembut. Hatiku semakin getir.

“Iya. Hanya kamu di hatiku. Hanya ada kamu di jiwaku. Percayalah!” ucap Kevin mantap.

Oh, Tuhan...aku tak tahan lagi. Detik itu juga aku bergegas meninggalkan tempat itu. Tak terasa air mataku sudah mengalir deras. Hatiku remuk. Sakit. Kecewa. Terluka dan entahlah, hanya Tuhan yang tahu bagaimana perasaanku saat itu.

Dan sekarang, yang kutahu hanyalah, aku harus dapat melupakannya. Aku harus mampu membuang jauh-jauh perasaan cintaku padanya. Harus! Karena aku sadar aku terlalu ’kecil’ dibandingkan Velia. Aku...apalah artinya diriku di mata Kevin. Aku hanyalah seorang teman. Hanya seorang teman. Tidak lebih!

Hh..., maafkan aku, Kev. Maafkan aku bila ’pernah’ mencintaimu.




TAMAT


*Dimuat di ANITA Cermerlang No. 10/XXI/26 Mei – 08 Juni 2000

11 komentar:

  1. ak uda baca pas br terbit 10taon lalu :p
    loph u mbakajeng..


    *keep writing sista.. :-*

    BalasHapus
  2. barusan baca :p
    loph u too miss AJ....:))

    BalasHapus
  3. nice one....keep rockin' sista..!! ^_^

    BalasHapus
  4. @ noniaraya: Thank you. I'll do my best. Luv y!! ^^

    @ Anonim: Terima kasih. Uhm... boleh tahu siapa namamu? :-)

    @ planet dhika: Thanks!! ^^

    BalasHapus
  5. “Iya. Hanya kamu di hatiku. Hanya ada kamu di jiwaku. Percayalah!” <----GOMBAL.JGN PERNAH PERCAYA

    BalasHapus
  6. If it's me, I prefer actions to words. ^^

    BalasHapus
  7. Akhirnya bisa baca cerita waktu dulu........

    BalasHapus
  8. Cuma waktu cerita ini terbit saya sdh tidak baca Anita lg mbak ajeng...dah keburu tua hehehe

    BalasHapus
  9. Cuma waktu cerita ini terbit saya sdh tidak baca Anita lg mbak ajeng...dah keburu tua hehehe

    BalasHapus
  10. Akhirnya bisa baca cerita waktu dulu........

    BalasHapus