Kamis, 30 Desember 2010

Menikahlah Denganku, Mel - Bagian 2

Catatan:
-Cerbung ini aku tulis sekitar tahun 2007.
-Pernah aku ikutkan sayembara menulis cerpen dan cerbung Femina 2007, tapi tidak menang.
-Pernah aku kirimkan ke majalah, tapi tidak dimuat.
-Pernah juga aku kirimkan ke sebuah penerbit, tapi tidak ada kabarnya.
-Akhirnya cerbung ini aku publish di blog ini. Hehehe.

Sinopsis:
Amelia, Saskia, Elisa, dan Widia adalah empat sekawan semenjak kuliah hingga kini dimana mereka masing-masing telah bekerja di tempat berbeda. Untuk tetap menjaga tali silaturrahmi, mereka sepakat untuk bertemu dan berkumpul setiap jumat sore di kedai teh. Mereka mengobrol dan saling bertukar cerita. Saskia sedang mempersiapkan pernikahannya. Erika diajak menikah kekasihnya. Widia ternyata sudah hamil. Sedangkan kabar dari Amelia?


Maharani Menulis:


MENIKAHLAH DENGANKU, MEL

Wanna get married syndrome atau sindrom ingin menikah. Begitulah, aku menyebut apa yang aku rasakan ini. Dan, penyakit itu mulai menggerogoti hati dan pikiranku sejak aku menyaksikan Widia menikah, setengah tahun lalu. Entah kenapa, rasanya ada yang terjadi pada diriku ketika aku melihat sahabatku itu duduk di atas pelaminan bersama Surya, laki-laki yang sudah jadi pacarnya selama hampir sepuluh tahun. Perasaan bahagia sekaligus sedih. Sebenarnya aku turut bahagia karena Widia, telah menemukan salah satu kebahagiaannya terbesar dalam hidupnya yaitu menikah. Tapi, aku juga sedih karena di saat yang bersamaan aku malah merasa iri dengan kebahagiaannya itu. Sebenarnya normal tidak, sih, perasaanku ini?
   
Kemudian ketika Saskia memberitahuku bahwa dia juga akan menikah – kira-kira berselang dua bulan setelah Widia menikah – aku juga merasakan hal yang sama. Perasaan bahagia dan sedih itu kembali melandaku. Aku bahkan diam-diam sempat menangis di toilet kedai teh setelah mendengar berita bahagianya itu. Aneh tidak, sih, perasaanku ini?

Mungkin karena Saskia adalah sahabatku yang paling dekat dibandingkan yang lainnya, jadi aku seperti merasa akan kehilangannya bila dia menikah. Aku merasa seseorang akan mengambil Saskia dari sisiku – yang mengambilnya tentu saja Hendri, laki-laki yang sudah menjadi tunangannya selama dua tahun karena dialah yang akan menikahinya. Oh, how happy she is.
   
Dan sepertinya penyakitku ini semakin hari semakin parah saja ketika kemarin Elisa mengabarkan berita gembiranya. Bahwa dia juga akan segera menikah akhir tahun ini. Dengan Bramantio, pria yang baru jadi kekasihnya delapan bulan telah melamarnya. Oh, how lucky she is.
   
Sedangkan aku? Sudah hampir tiga tahun aku dan Ferian berpacaran, tapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda dia akan melamarku? Oh, how poor I am.

Senin, 27 Desember 2010

Masih Ada Cinta Yang Lain

Catatan:
-Aku tidak ingat kapan cerpen ini aku tulis.
-Cerpen ini terinspirasi dari kisahku. Meskipun plot, karakter, dan kejadiannya tidak seperti yang terjadi di cerpen, tapi inti ceritanya kurang lebih sama.
-Pernah aku ikutkan lomba menulis cerpen yang diadakan oleh Koran Minggu Pagi (aku lupa kapan), tapi tidak menang.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis:
Jessica menerima surat dari Leo yang mengaku sebagai sahabat Bram. Menurut Jessica, surat itu terlalu menyudutkannya. Hal itu membuatnya merasa harus bertemu dengan Bram yang menurut Leo telah tersakiti hatinya karena Jessica. Tapi Jessica malah bertemu dengan Leo. Dan pertemuan mereka pun tetap bermuara pada satu kesimpulan dan kenyataan bahwa Jessica tidak bisa membalas perasaan Bram. Jessica berharap masih ada cinta yang lain untuk Bram karena ia sendiripun sudah punya seseorang yang dicintai dan mencintainya.


Maharani Menulis:


MASIH ADA CINTA YANG LAIN


    “… Kamu sungguh tidak punya hati, Jessica. Hanya demi kekasihmu, kamu tega menyakiti hati Bram. Surat balasanmu itu benar-benar sangat melukai perasaannya. Bram begitu mencintaimu, tapi kamu terlalu egois…”

Jessica membaca surat yang dipegangnya itu dengan perasaan campur aduk antara geram, marah, dan ingin menangis. Betapa tidak? Tiba-tiba saja seseorang yang bahkan tidak dikenalnya menuduhnya demikian. Tidak punya hati dan egois. Tanpa alasan yang masuk akal. Siapa yang tidak kesal?

Adalah Leo, si pengirim surat yang juga mengaku sebagai sahabat Bram benar-benar telah membuat Jessica merasa seperti seorang penjahat saja—di mata Leo, tentunya. Jessica, the suffering maker, begitulah kira-kira gelar kini disandangnya karena dia telah dengan tegas dan berani menolak cinta Bram sehingga melukai perasaannya.

Padahal jelas-jelas Jessica punya alasan yang sangat masuk akal dalam penolakannya. Setidaknya, ada tiga alasan kenapa dia tidak bisa menerima cinta Bram. Pertama: Jessica tidak begitu mengenal siapa Bram meskipun mereka pernah satu sekolah ketika SMU, tapi tidak pernah satu kelas. Kedua: Jessica memang tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap Bram bahkan dia sempat kaget ketika tiba-tiba ada sepucuk surat cinta dari Bram datang padanya beberapa waktu yang lalu. Ketiga (yang paling penting): Jessica saat ini sudah punya kekasih!

Apakah ketiga alasannya itu masih kurang jelas atau tidak wajar? Lalu, Jessica harus bagaimana lagi untuk membuat mereka mengerti? Haruskah, sekali lagi, dia menjelaskannya? Penjelasan secara langsung pada Bram—setidaknya. Face to face meeting. Jessica dan Bram harus bertemu muka agar semuanya jelas. Mungkin itu satu-satunya jalan terbaik.

***


Jumat, 17 Desember 2010

Accident Prone

Catatan:
-Accident prone bisa diartikan sebagai kemalangan yang terjadi berturut-turut. Aku pernah mengalaminya dan itu menginspirasiku menulis cemilan ini.
-Pernah aku kirimkan sebuah majalah untuk sebuah rubrik, tapi tidak bisa dimuat. Once again, I'm just not lucky yet!
-Akhirnya aku publish di blog ini untuk menambah koleksi cemilan. Hehehehe.


Maharani Menulis:


ACCIDENT PRONE


Accident prone. Begitulah ungkapan yang dilontarkan teman saya, Ovi, saat saya menceritakan pengalaman (baca: kemalangan)  saya beberapa waktu lalu selama tiga hari bertutut-turut. Accident prone dalam bahasa Indonesia berarti mudah celaka atau bila menurut saya lebih tepat diperibahasakan menjadi sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Hari pertama. Bertepatan dengan jatah saya off dari kerjaan selama dua hari, perut saya sakit karena (maaf) saya dapat ‘jatah bulanan’. Pagi itu saya berencana mengunduh beberapa file di warnet (warung internet) sebelum saya pulang ke Kebumen sore harinya. Karena warnetnya tidak begitu jauh, kira-kira 15 menit naik bis atau kurang lebih 40 menit jalan kaki, saya memutuskan untuk berjalan kaki saja (I am used to walk, by the way). Selain saya punya beberapa alternatif jalan pintas, cuaca pagi itu cukup bersahabat, sejuk dan tidak panas sehingga dengan semangat saya pun mulai melangkahkan kaki. Hitung-hitung olahraga pagi biar lebih sehat.

Saya baru berjalan kira-kira sepuluh menit ketika sampai di salah satu jalan alternatif. Biasanya saya jarang sekali lewat jalan itu, tapi pagi itu saya iseng-iseng lewat sana. Dan ternyata keisengan saya berbuah keisengan orang lain. An unknown perverted man who rode motorcycle insulted me by poking (sorry) my b*tt when he passed me by. Kejadiannya berlangsung cepat dan mendadak sehingga saya tidak curiga ketika mendengar deru sepeda motor di belakang saya. Saya juga tidak sempat menghindar atau bereaksi keras. Saya hanya bengong sambil mengumpat: s*it setelah dia melancarkan aksinya. Fiuh.

Menikahlah Denganku, Mel - Bagian 1

Catatan:
-Cerbung ini aku tulis sekitar tahun 2007.
-Pernah aku ikutkan sayembara menulis cerpen dan cerbung Femina 2007, tapi tidak menang.
-Pernah aku kirimkan ke majalah, tapi tidak dimuat.
-Pernah juga aku kirimkan ke sebuah penerbit, tapi tidak ada kabarnya.
-Akhirnya cerbung ini aku publish di blog ini. Hehehe.

Sinopsis:
Amelia, Saskia, Elisa, dan Widia adalah empat sekawan semenjak kuliah hingga kini dimana mereka masing-masing telah bekerja di tempat berbeda. Untuk tetap menjaga tali silaturrahmi, mereka sepakat untuk bertemu dan berkumpul setiap jumat sore di kedai teh. Mereka mengobrol dan saling bertukar cerita. Saskia sedang mempersiapkan pernikahannya. Erika diajak menikah kekasihnya. Widia ternyata sudah hamil. Sedangkan kabar dari Amelia?


Maharani Menulis:


MENIKAHLAH DENGANKU, MEL



Menikah. Semua orang pasti ingin menikah, tak terkecuali aku, apalagi saat ini usiaku sudah menginjak 28 tahun. Usia yang menurut sebagian besar orang sudah sepantasnya dan sebaiknya sudah menikah, terutama untuk seorang wanita. Alasannya, apalagi kalau bukan alasan biologis bahwa semakin tua usia seorang wanita, dia akan semakin susah untuk hamil dan melahirkan.

Sedangkan alasanku ingin menikah bukan semata-mata karena alasan itu. Bukan karena teman-temanku yang sering bertanya: “Kapan, nih, kami menerima undangan pernikahanmu, Mel?” Bukan pula karena kedua orang tuaku yang akhir-akhir ini sering menodongku dengan pertanyaan yang intinya sama: “Kapan kamu akan menikah, Mel?” Atau, “Kapan Ferian akan melamarmu, Mel?” Ah. Aku tidak mungkin menyalahkan mereka dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Apalagi menyalahkan orang tuaku. Sebab pertanyaan seperti itu adalah wajar bila dilontarkan oleh orang tua manapun yang memiliki anak gadis yang sudah berumur dan punya pacar, tapi belum menikah atau dilamar juga.

Untungnya aku tidak tinggal lagi bersama dengan orang tuaku – karena jarak rumah dan tempat kerjaku lumayan jauh – jadi, aku tidak perlu merasa hidup di bawah tekanan, meskipun aku akui perasaan tertekan itu terkadang muncul juga menderaku. Dengan penghasilanku yang lumayan besar, aku bisa membeli sebuah rumah mungil tak jauh dari tempat kerjaku – meskipun dengan sistem kredit – dan menyewa seorang pembantu untuk mengurusi rumah dan juga kebutuhanku sehari-hari.

Dan alasanku ingin segera menikah sebenarnya adalah karena aku sudah siap untuk menikah. Wajar dan masuk akal, kan? Secara lahir dan batin? Secara moral dan material? Tentu saja. Aku sudah siap. Dengan apa yang sudah aku miliki sekarang, pokoknya aku sudah siap sekali.

“Non Amelia,” Suara Mbok Asih, pembantuku yang berusia hampir setengah abad, mengejutkanku.

Buru-buru aku menoleh dan tersenyum padanya. “Ada apa, Mbok Asih?” tanyaku kemudian.

Rabu, 15 Desember 2010

Sahabatku, Gladys

Catatan:
-Aku tidak ingat kapan cerpen ini aku tulis.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis: 
Ada apa dengan Gladys? Gladys berubah. Setidaknya, itu yang dirasakan Natasha, sahabat Gladys. Apalagi mendadak Gladys tidak bisa diketahui keberadaannya, membuat Natasha bertanya-tanya. Sampai akhirnya Tamara datang membawa kabar tentang Gladys.


Maharani Menulis:

SAHABATKU, GLADYS


Ada apa dengan Gladys? Pertanyaan itulah yang akhir-akhir ini sering muncul di benakku. Belakangan ini sikap Gladys agak lain. Mungkin teman-teman yang lain tidak begitu memperhatikan apalagi merasakannya, tapi aku, sahabat karibnya sangat merasakan perubahan itu.

Gladys mulai berubah. Entah sejak kapan aku memang tidak tahu pasti, tapi aku mulai merasakan perubahan itu sejak ia berhubungan dengan Roy. Cowok yang dikenalnya di pameran fotografi beberapa bulan yang lalu.

Aku sendiri memang tidak begitu mengenal Roy bahkan sampai saat ini aku baru tiga kali bertemu dengannya. Selebihnya aku mengenalnya hanya dari cerita-cerita Gladys. Terkadang Gladys memang bercerita perihal Roy padaku tentang bagaimana hubungan mereka sejauh ini yang katanya memang menjadi semakin akrab. Aku sebagai sahabatnya tentu saja merasa senang karena ia mau berbagi cerita denganku meskipun aku yakin tidak semua cerita ia bagi denganku. Karena menurutku terkadang memang ada cerita-cerita yang memang tidak bisa diceritakan pada orang lain. Dan aku menghormati hal itu.

***


Aku duduk di kantin Ibu Juwita sambil menikmati es teler buatannya yang benar-benar bisa bikin teler karena saking nikmatnya. Kalau biasanya aku datang ke sana bersama Gladys, tapi hari ini dan beberapa hari belakangan ini, aku selalu datang sendirian.

“Sendirian lagi, Non Natasha?” Pertanyaan Bu Juwita sewaktu aku masuk tadi masih terngiang-ngiang di telingaku. Mungkin beliau merasa heran kenapa akhir-akhir ini aku selalu datang sendirian ke kantinnya. Mungkin juga beliau merasa kehilangan salah seorang pelanggannya yang setia.

Aku mengaduk-aduk es telerku setengah melamun sampai tidak menyadari kalau orang yang barusan aku pikirkan kini ada di depanku. Gladys.

“Nat,” sapanya mengagetkanku.

Kamis, 09 Desember 2010

Berhenti Berharap Berlebihan (3B)

Catatan:
-Terinsiprasi artikel di Femina No.46.
-Pernah aku kirimkan sebuah majalah untuk sebuah rubrik, tapi tidak bisa dimuat. I'm just not lucky yet!
-Akhirnya aku publish di blog ini untuk menambah koleksi cemilan. Hehehehe.


Maharani Menulis:


BERHENTI BERHARAP BERLEBIHAN (3B)


USIA 25+ MAKIN SUSAH JATUH CINTA, demikian judul salah satu artikel yang tertera di halaman muka FEMINA 46. And WOW!! It’s me, begitulah yang terbersit di benak saya saat membacanya. I am woman, over 25 years old, single, and hard to falling in love. What a coincidence.

Selesai membaca artikelnya segera saja saya mengambil ponsel dan mengetik sms yang isinya: Siang. Hehehe. Cuma mau sharing aja. Judul sampul Femina baru. Usia 25+ makin susah jatuh cinta. Reaksiku: That really suits me. Oh, L.O.V.E, where the hell are you? Yang kemudian saya kirimkan ke beberapa orang teman dan balasan mereka di antaranya:

Nia: (yang sepertinya mencoba mengingatkan saya) Bukannya Mbak jatuh cinta sama Matsujun? (Saya: I do fall for him).
Soal Matsujun adalah pengecualian---ini pembelaan saya. Kenapa? Karena jatuh cinta pada idola adalah hal yang wajar, kan? Hehehe…. Matsujun atau lengkapnya Matsumoto Jun adalah seorang idola yang berasal dari Negeri Sakura. Jun-chan, begitu panggilan sayang saya untuknya, adalah salah satu anggota boysband yang cukup terkenal di Jepang bernama ARASHI yang berada di bawah naungan Johnny Entertainment. Selain menyanyi, dia juga bermain dorama (istilah untuk serial TV di Jepang). Like in romantic movie, I fall in love with him at first sight. Setahun lalu, tepatnya 19 April 2008, sebelum tidur, saya menonton dorama Gokusen I (2002) yang iseng-iseng saya pinjam dari rental and minutes passed by, he showed up, and I’m captivated with him. Pagi harinya saya langsung ke warnet (warung internet), buka google, ketik keyword: Shin Sawada, Gokusen. Lalu muncullah nama Matsumoto Jun, ARASHI. Sejak itu saya pun mulai mencari dan menonton dorama-doramanya sampai sekarang. Juga lagu-lagu ARASHI yang kemudian membuat saya kembali bersemangat belajar Bahasa Jepang lagi (saya pernah mendapatkan kuliah Bahasa Jepang selama 2 semester di bangku kuliah.) If I may tell you honestly, falling in love with Jun-chan and learning Japanese make me dream of one big thing: someday I want to fly to Japan to greet him face to face and ask him personally to play role one of my character in my stories (well, actually I’m writer wannabe, hehehehe.) And I pray with all my heart and strengths this dream will come true soon. Terkadang dalam doa, saya berbisik: Jun-chan, matte kudasai ne! (Jun-chan, tunggu aku, ya!) Jadi, kembali ke topik masalah, jatuh cinta pada idola tidak termasuk dalam kategori jatuh cinta dalam kamus saya. Tapi, kalau suatu saat saya ‘dijatuhi cinta’ balik oleh Jun-chan, saya pastikan kamus saya akan direvisi, hehehehe.)

Rabu, 08 Desember 2010

Kapan Kawin?

Catatan:
-Karena seringkali ditanya “Kapan kawin?”, maka lahirlah tulisan ini. Uhm.... Padahal aku belum pernah kawin apalagi hamil, kenapa aku bisa melahirkan, ya? Hahahaha. Oooops... Kalau menemukan ide ibarat proses kawin dan mengolah ide adalah hamil, maka ketika sudah tiba saatnya ide tersebut dikeluarkan menjadi tulisan, maka tulisan itu adalah sesuatu yang dilahirkan. Jadi, yeah, begitulah. Uhm... weird analogy?! Whatever!
-Pernah aku kirimkan ke sebuah majalah untuk sebuah rubrik, tapi tidak ada kabarnya sampai sekarang.
-Akhirnya aku publish di blog ini untuk menambah koleksi cemilan. Hehehehe.


Maharani Menulis:


Kapan kawin?



Tentunya kita masih ingat dialog iklan sebuah merk rokok (bukannya promosi, lho) yang dibintangi Ringgo Agus Rahman beberapa waktu lalu. Yang kira-kira begini: “Kapan kawin?” tanya seorang ibu padanya. “May,” jawabannya itu terdengar berbunyi ‘Mei’. “Oh, Ringgo mau kawin bulan Mei,” ujar sang Ibu, yang dilanjutkan Ringgo dengan enteng. “Maybe yes, Maybe no,”

Kawin. Menikah. Berumah tangga. Married. Atau apalah istilahnya, suatu saat pastilah akan dialami atau setidaknya diinginkan oleh hampir setiap orang. Hanya masalah waktu alias kapan hal itu akan terlaksana saja yang berbeda-beda. Karena setiap orang punya target atau rencana sendiri-sendiri. Misalnya, si A setelah umur sekian. Si B setelah punya rumah sendiri. Atau Si C bila sudah ketemu pasangan yang cocok. Hmm… saya banget, tuh….

Menikah dan pasangan adalah dua hal yang saling berkaitan. Bila hendak menikah, pastilah harus ada pasangannya. Bila sudah punya pasangan, barulah bisa menikah. Pasangan yang saya maksud tentu saja pasangan heterogen, bukan homogen. Tapi, terkadang sudah ada pasangan pun belum tentu bisa menikah. Alasannya bisa macam-macam: belum siap, tidak cocok, kurang sreg, atau bukan jodohnya (?) dan banyak lagi. Apalagi yang belum punya pasangan. Hmm….lagi-lagi saya banget….

Jumat, 03 Desember 2010

Seuntai Kalung Perak

Catatan:
-Aku lupa kapan cerpen ini aku tulis.
-Cerpen ini pernah aku ikutkan lomba menulis cerpen yang diadakan oleh panitia book fair (aku lupa kapan), tapi tidak menang.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya (versi Inggrisnya pernah aku kirimkan ke majalah berbahasa Inggris, tapi ditolak juga) sampai akhirnya dimuat di Koran Minggu Pagi, 29 Maret 2009 dan menjadi cerpen kelima yang dimuat (cerpen kedua yang dimuat di koran).
-Aku baru tahu kalau cerpen ini dimuat setelah satu tahun pemuatannya, bukan satu tahu menunggu untuk dimuat. Itupun karena Mas Latief dari Minggu Pagi menanyakan apakah honor cerpen sudah diambil atau belum. Hahaha.
-Aku tidak punya copy edisi koran yang memuat cerpenku. Uhm... Never mind.

Sinopsis: 
Ryan meminta bantuan Rere untuk memilihkan sebuah kalung perak yang kata Ryan akan diberikannya pada seorang cewek yang sangat berarti baginya. Mengetahui hal itu, Rere merasa resah, tapi ia sudah terlanjur berjanji untuk membantu Ryan. Setelah kejadian itu, Rere pun mulai menjaga jarak dengan Ryan. Namun, Ryan yang sadar bahwa Rere menjauhinya segera bertindak cepat. Akhirnya Ryan pun memberitahu Rere siapa cewek yang sangat berarti baginya yang berhak atas seuntai kalung perak itu.


Maharani Menulis:



SEUNTAI KALUNG PERAK*


“Rere!” Langkah Rere terhenti. Dia membalikkan badannya dan melihat Ryan yang berlari-lari kecil menghampirinya.

Setelah berhasil mengatur napasnya, Ryan lalu tersenyum manis padanya dan Rere pun langsung bisa mencium bahwa pasti ada sesuatu di balik senyuman itu apalagi kemudian Ryan mengeluarkan kesaktiannya. “Halo, Rere yang baik hati. Kamu makin cantik aja, ya? Ryan jadi tambah suka deh melihatnya.”

To the point saja, deh. Apa yang bisa kulakukan untukmu hari ini?” Rere yang sudah hapal dengan kebiasaan Ryan yang satu itu—pujian Ryan sama dengan permintaan bantuan—langsung memberinya umpan balik.

Ryan tampak cengar-cengir dan salah tingkah. Digaruk-garuknya kepalanya yang memang sedikit gatal karena sudah saatnya keramas. Ryan tampak malu-malu mengatakannya, “Begini, Re, kamu kan cewek…”

“Kamu baru sadar, ya?” Rere malah jadi tidak sabar melihat kelakuannya. Akhir-akhir ini Ryan memang jadi kelihatan semakin aneh. Suka malu-malu kalau lagi bicara padanya. Kadang wajahnya malah sampai memerah. Tapi, yang lebih aneh lagi, Ryan jadi suka senyum-senyum sendiri tanpa sebab yang jelas.

“Jangan menyela, dong. Aku kan belum selesai ngomongnya.” Ryan tampak kesal padahal Rere tahu itu hanya pura-pura saja.

Rere tersenyum geli. “Oke, deh. Bantuan apa?”

***


Di sinilah mereka sekarang. Di depan sebuah toko bernama Silver Shop. Sebuah toko yang menyediakan segala macam pernak-pernik kerajinan dan perhiasan dari perak. Mulai dari pajangan, aksesories, souvenir, dan tentu saja perhiasan dengan berbagai macam model dan bentuk.

“Kamu lagi jatuh cinta, ya, Yan?” Lagi-lagi Rere menebaknya tanpa basa-basi. Ryan pun lagi-lagi tampak malu-malu, wajahnya juga tampak sedikit memerah meskipun dia matian-matian menutup-nutupinya dengan berkali-kali mengusap-usap rambutnya untuk mengalihkan perhatian Rere agar tidak memandangi wajahnya dengan penuh rasa ingin tahu karena curiga.

Suatu Senja di Sudut Kota

Catatan:
-Cerpen ini pertama kali aku tulis saat aku mengikuti pelatihan menulis cerpen di kampusku tahun 2000 dan telah mengalami berkali-kali revisi sampai akhirnya menjadi seperti ini.
-Pernah aku ikutkan lomba menulis cerpen Minggu Pagi (aku lupa kapan), tapi tidak menang.
-Beberapa kali ditolak oleh majalah yang pernah aku kirimi naskahnya hingga akhirnya dimuat di MINGGU PAGI No. 53 Tahun ke-60 / Minggu V Maret 2008 dan menjadi cerpen keempat yang dimuat (cerpen pertama yang dimuat di koran). Aku masih menyimpan potongan koran tersebut.


Sinopsis: 
Saskia terkenang pengalamannya suatu hari. Gara-gara lupa waktu, ia panik saat hendak pulang hari sudah gelap. Lebih panik lagi saat seseorang tak dikenalnya mengejar-ngejarnya.



Maharani Menulis:


SUATU SENJA DI SUDUT KOTA*



Hari masih sore. Kendaraan-kendaraan pun masih setia melaju di jalanan. Sesekali terdengar suara klakson yang dipencet-pencet gemas pengemudi yang lalu-lalang. Bising. Berisik.

Saskia berdiri di pinggir jalan, di depan sebuah toko, menunggu biskota. Sebuah tas berisi barang belanjaan tergantung di tangannya. Hampir 12 menit ia menunggu, tapi biskota yang ditunggunya tak juga datang. Rasa gelisah mulai menyerang. Sesekali diliriknya arloji di tangannya. Hampir malam.

“Becak, Mbak,” Tiba-tiba seorang tukang becak menghampiri.

“Tidak, terima kasih,” jawab Saskia cepat, sambil mencoba tersenyum ramah.

“Kemana, sih, Mbak?”

“Pemuda!” sahut Saskia sambil menenangkan hatinya yang mulai dirambati rasa takut. Entah kenapa pertanyaan tukang becak itu begitu mengusiknya.

“Dari masjid, kemana?” tanyanya lagi, mungkin iseng.

Saskia memandang tukang becak itu sekilas dan takut-takut. Mungkin tukang becak itu melihat ada ketegangan terpancar dari wajahnya sehingga ia tersenyum geli.

“Mbak…”

“Maaf, bis yang saya tunggu sudah datang,” ujar Saskia.

Saskia pun bergegas naik. Aman, pikirnya.

***


Saskia memang merasa ketakutan bila pergi sendirian apalagi dia termasuk pendatang baru di kota itu. Tindak kejahatan yang terjadi akhir-akhir ini membuatnya ngeri dan harus bersikap waspada, dimanapun berada.

Pernah suatu kali, sepulang kuliah, berbelanja. Niatnya cuma mau beli beberapa kebutuhan kos, ternyata ia keasyikan keliling mal, sehingga tanpa disadari sudah menghabiskan waktu lebih dari empat jam. Ketika keluar dari salah satu mal baru sadar hari telah gelap.

Making of Cerpen "Maafkan Aku Bila Mencintaimu"

Hello,


Masih ingat cerpenku yang berjudul “Maafkan Aku Bila Mencintaimu”, kan? Cerpen pertamaku yang dimuat, di Majalah ANITA Cemerlang/10/Tahun XXI/26 Mei – 08 Juni 2000. This moment i will tell you the making of that story.

Well, proses pembuatan cerpen itu tidaklah lama. Hanya perlu beberapa hari saja. Mungkin karena cerpen itu terinsipirasi dari kisahku sendiri, jadi aku dengan mudah menuliskannya. Setelah cerpen itu selesai aku tulis, aku pun tidak langsung mengirimkannya kemana pun karena cerpen itu sejatinya adalah salah satu bentuk curahan hatiku (curhat) yang aku tuangkan lewat tulisan dan aku tidak ada niat untuk mempublikasikannya. Hingga suatu hari aku memberanikan diri meminta temanku, Mae, membacanya dan dia bilang not bad meski dia curiga dan bertanya apakah itu kisahku dan waktu itu aku cuma tersenyum. I was sorry, Mae, I couldn't tell you the truth that it was written based on my own experience.

Aku baru kepikiran untuk mengirimkan cerpen itu saat aku menemukan dan membaca majalah Anita Cemerlang yang isinya adalah cerpen-cerpen remaja. Waktu itu aku berpikir: bagaimana ya rasanya kalau cerpenku bisa dimuat di majalah dan dibaca oleh banyak orang?

Dan perjuanganku pun dimulai.

Rabu, 01 Desember 2010

Valentino

Catatan:
-Cerpen ini adalah cerpen ketiga yang dimuat di majalah, yaitu KaWanku No. 8/XXXIII/18 – 24  Agustus 2003.
-Aku lupa berapa lama waktu yang aku perlukan untuk mengetahui bahwa cerpen ini akhirnya dimuat, mungkin sekitar 6 bulan. Edisi majalah yang memuat cerpen ini masih aku simpan.
-Aku tidak mendapatkan copy majalah dari majalah KaWanku dan hanya diberitahu nomor edisi dan tanggal terbitnya saja yang ternyata ada kesalahan informasi sehingga menyulitkanku untuk mencari edisi majalah yang dimaksud. Apalagi waktu terbit majalah dan pemberitahuannya terpaut cukup lama sehingga lagi-lagi aku kesulitan menemukannya meskipun akhirnya ketemu juga. Setelah aku mencarinya di kios-kios majalah dan pasar loak. But, it's worthy! Because once again, I got my story published!

Sinopsis:  
Amanda makin kesal saja pada Valentino setelah cowok culun berambut klimis belah pinggir, berkaca mata tebal dan berkawat gigi itu tidak datang di kafe tempat mereka sepakat untuk bertemu--awalnya Amanda keberatan bertemu di luar sekolah, tapi akhirnya ia setuju. Ia tidak percaya Valentino berani mengelabuinya. Dan ketidakpercayaan yang berujung pada keterkejutan itu semakin menjadi-jadi saat ia datang ke rumah teman adiknya, Tina, dan ia bertemu dengan Valentino di sana.

Maharani Menulis:



VALENTINO*



“Itu dia anaknya,” ujar Neta saat melihat Amanda duduk sendirian di bangku panjang di belakang ruang perpustakaan. Segera saja ia menghampiri cewek itu diikuti Silvi dan Mila yang mengekor di belakangnya. “Rupanya kamu di sini, Manda,” katanya lagi, lalu duduk di sebelah Amanda sedangkan Silvi dan Mila berdiri di hadapan mereka.

“Aku lagi sebel sama si kaca mata tebal itu.” kata Amanda tiba-tiba. Ketiga sahabatnya saling berpandangan.

“Valentino?” kata mereka kompak lalu cekikikan.

“Eh, dibilangin malah ketawa,” sungut Amanda. Wajahnya langsung berubah judes seketika. “Kalian senang ya, lihat aku susah?”

“Bukan begitu, Manda,” Silvi yang bicara. “kita semua tau kalau kamu dari pertama kali bertemu Valentino sudah sebel, tapi yang bikin aku heran, sebelmu kali ini kayaknya lain, deh. Bener nggak, temen-temen?” ujarnya lagi yang diiyakan Neta dan Mila. “Sebenarnya ada apa, sih?”

“Kalian mau tau, si rambut klimis belah pinggir itu nggak nepatin janji.”

“Maksud kamu?” Silvi rada bingung.

“Kamu janjian sama Valentino?” Neta ikut bingung.

“Kencan, begitu? Jangan bercanda, deh.” Mila tidak percaya.

“Aku memang janjian sama si kawat gigi itu kemarin.” jelas Amanda.

“Hah?” Ketiga sahabatnya itu tampak shock.

“Kamu serius, Manda?” Neta menatapnya. Silvi dan Mila juga. Mereka bertiga benar-benar tidak bisa percaya dengan omongan Amanda barusan. Mereka tau betul kalau Amanda paling anti sama yang namanya Valentino. Cowok culun, berambut klimis belah pinggir, berkaca mata tebal dan berkawat gigi. Bukan karena tampangnya yang emang jauh dari keren yang bikin Amanda jutek, tapi karena Valentino suka sekali mencari perhatiannya hingga membuatnya sebel.

“Sebenarnya dia yang ngajak aku untuk ketemu di kafe. Katanya, dia mau ngomongin hal yang penting. Awalnya aku menolak kalau ketemu di kafe, mendingan di sekolah saja setelah jam pelajaran selesai, tapi dia tidak mau. Ya, sudah, karena dia terus mendesak, akhirnya aku terpaksa menyetujuinya.”

“Lalu?” tanya mereka antusias.

“Lalu aku pun datang ke kafe sesuai dengan kesepakatan. Waktu aku sampai di sana, ia memang belum datang karena aku datang lebih awal dari waktu yang ditentukan. Tapi, sampai dua jam lebih aku menunggunya, ia tidak datang juga bahkan bayangannya pun tidak kelihatan. Sampai jenuh dan capek aku dibuatnya.” jelas Amanda berapi-api. “Coba kalian pikir, apa aku nggak berhak marah, sebal, dan kesal? Kalau niatnya mau negerjain, kira-kira, dong!”

Ketiga sahabatnya melongo melihat Amanda begitu emosinya.

“Ya, mungkin aku lagi sial! Nggak cakep nggak jelek sama saja. Semuanya tukang ngibul.” setelah berkata seperti itu Amanda kemudian ngeluyur pergi membuat Neta, Silvi, dan Mila semakin melongo.


***

Grey Wednesday

Catatan:
Tulisan berikut merupakan tulisan non cerpen pertamaku yang dimuat di Majalah, tepatnya Majalah  CHIC No. 10. 7-12 Mei 2008 di rubrik My Point of View. Sebenarnya tulisan ini lebih tepat disebut artikel (curhat). Hahahaha.


Maharani Menulis:

GREY WEDNESDAY*


Kalau orang-orang punya istilah I hate Monday, Freaky Friday atau Happy Sunday untuk menggambarkan hari-hari dalam hidup mereka, saya juga punya istilah sendiri yaitu Grey Wednesday alias Rabu Kelabu. Ceritanya begini.

Saya adalah seorang karyawan di sebuah tempat persewaan buku sekaligus vcd dan dvd film. Kantor kami beroperasi 12 jam per hari dari jam 09.00 hingga jam 21.00, dengan dua shift yang terdiri dari 2 orang tiap-tiap shift selama 6 jam, dan masing-masing karyawan mendapat jatah one day off a week yang berbeda-beda tergantung kesepakatan bersama. Dalam seminggu kami memiliki dua hari sibuk yaitu Senin dan Rabu. Pada dua hari tersebut buku-buku baru terutama jenis komik datang. Kalau pada hari Senin buku baru yang datang hanya berkisar  antara 7 sampai 10 judul buku dengan jumlah eksemplar 2 sampai 3 untuk disewakan. Pada hari Rabu buku baru yang datang bisa mencapai 10 sampai 20 judul dengan jumlah eksemplar 3 sampai 5 untuk disewakan.