Kamis, 30 Desember 2010

Menikahlah Denganku, Mel - Bagian 2

Catatan:
-Cerbung ini aku tulis sekitar tahun 2007.
-Pernah aku ikutkan sayembara menulis cerpen dan cerbung Femina 2007, tapi tidak menang.
-Pernah aku kirimkan ke majalah, tapi tidak dimuat.
-Pernah juga aku kirimkan ke sebuah penerbit, tapi tidak ada kabarnya.
-Akhirnya cerbung ini aku publish di blog ini. Hehehe.

Sinopsis:
Amelia, Saskia, Elisa, dan Widia adalah empat sekawan semenjak kuliah hingga kini dimana mereka masing-masing telah bekerja di tempat berbeda. Untuk tetap menjaga tali silaturrahmi, mereka sepakat untuk bertemu dan berkumpul setiap jumat sore di kedai teh. Mereka mengobrol dan saling bertukar cerita. Saskia sedang mempersiapkan pernikahannya. Erika diajak menikah kekasihnya. Widia ternyata sudah hamil. Sedangkan kabar dari Amelia?


Maharani Menulis:


MENIKAHLAH DENGANKU, MEL

Wanna get married syndrome atau sindrom ingin menikah. Begitulah, aku menyebut apa yang aku rasakan ini. Dan, penyakit itu mulai menggerogoti hati dan pikiranku sejak aku menyaksikan Widia menikah, setengah tahun lalu. Entah kenapa, rasanya ada yang terjadi pada diriku ketika aku melihat sahabatku itu duduk di atas pelaminan bersama Surya, laki-laki yang sudah jadi pacarnya selama hampir sepuluh tahun. Perasaan bahagia sekaligus sedih. Sebenarnya aku turut bahagia karena Widia, telah menemukan salah satu kebahagiaannya terbesar dalam hidupnya yaitu menikah. Tapi, aku juga sedih karena di saat yang bersamaan aku malah merasa iri dengan kebahagiaannya itu. Sebenarnya normal tidak, sih, perasaanku ini?
   
Kemudian ketika Saskia memberitahuku bahwa dia juga akan menikah – kira-kira berselang dua bulan setelah Widia menikah – aku juga merasakan hal yang sama. Perasaan bahagia dan sedih itu kembali melandaku. Aku bahkan diam-diam sempat menangis di toilet kedai teh setelah mendengar berita bahagianya itu. Aneh tidak, sih, perasaanku ini?

Mungkin karena Saskia adalah sahabatku yang paling dekat dibandingkan yang lainnya, jadi aku seperti merasa akan kehilangannya bila dia menikah. Aku merasa seseorang akan mengambil Saskia dari sisiku – yang mengambilnya tentu saja Hendri, laki-laki yang sudah menjadi tunangannya selama dua tahun karena dialah yang akan menikahinya. Oh, how happy she is.
   
Dan sepertinya penyakitku ini semakin hari semakin parah saja ketika kemarin Elisa mengabarkan berita gembiranya. Bahwa dia juga akan segera menikah akhir tahun ini. Dengan Bramantio, pria yang baru jadi kekasihnya delapan bulan telah melamarnya. Oh, how lucky she is.
   
Sedangkan aku? Sudah hampir tiga tahun aku dan Ferian berpacaran, tapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda dia akan melamarku? Oh, how poor I am.


“Non Amelia.” Suara Mbok Asih, lagi-lagi mengejutkanku. Belakangan ini aku memang jadi sering melamun dan merenung dan juga berpikir. Mungkin karena penyakitku itu.
   
“Iya, Mbok Asih.” Aku memandangnya. “Ada apa?”
   
“Ada Pak Ferian di ruang tamu.”
   
“Iya, Mbok. Terima kasih.”
   
Setelah Mbok Asih berlalu, aku pun segera menemui Ferian di ruang tamu. Begitu melihatku muncul dari balik pintu, Ferian langsung bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiriku yang juga sedang berjalan ke arahnya. Aku tersenyum padanya.
   
“Selamat malam, sayang? Apa kabarmu hari ini?” Ferian menyapaku dengan hangat dan balas tersenyum. Dan seperti biasanya, setiap kali kami bertemu dia pasti akan memelukku sebentar lalu mencium keningku sekilas. Aku pun akan menerima perlakuannya itu dengan senang hati dan berdebar-debar. Entah kenapa, meskipun dia selalu melakukan ritual kecil itu bila kami bertemu, aku tetap saja merasa berdebar-debar.

Aku merasa Ferian sepertinya ingin selalu menunjukkan bahwa dia sangat menyayangiku atau bahwa aku memang sangat disayanginya. Ah. Aku benar-benar merasa senang dan tersanjung. Dengan perhatian dan perlakuannya yang menurutku sangat manis dan romantis. Mungkin, hal seperti itu adalah sepele, tapi bagiku justru bila seorang laki-laki mau menghargai hal-hal yang sepele atau remeh, berarti dia seorang gentleman. Dan bagiku, Ferian tentu saja seorang yang sangat gentleman.
   
“Malam, Fer. Kabarku baik-baik saja, tapi aku sangat merindukanmu.” Aku mengucapkannya dengan sedikit tersipu malu. Ferian mengelus pipiku sejenak sambil tetap tersenyum.
   
Kalau Mbok Asih selalu memanggil Ferian dengan sebutan ‘pak’ – mungkin untuk menghormatinya sebagai sebuah etika – tapi aku tetap memanggil Ferian dengan namanya. Aku akan memanggilnya ‘Fer’ atau ‘Ferian’. Sejak awal, sejak pertama kali aku berkenalan dengannya sampai aku jadi pacarnya selama hampir tiga tahun ini, aku memang tidak pernah memberikan embel-embel atau sebutan apapun di depan namanya. Tidak juga Mas, Kak, atau Bang. Bukannya aku tidak menghormatinya yang memang lebih tua dariku tiga tahun, tapi aku merasa lebih akrab saja memanggilnya langsung dengan namanya. Paling-paling aku akan menambahkan kata ‘sayang’ atau ‘honey’ sebagai panggilan sayang, seperti yang kadang diucapkan Ferian untuk memanggilku.
   
“Oh, ya, apa kamu sudah makan?” tanya Ferian kemudian.
   
“Belum.” Aku menggeleng.
   
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita makan di luar? Atau kamu sudah memasakkan menu makan malam yang spesial untukku?”
   
“Tidak,” Aku mengggeleng lagi. Kadang-kadang pada saat-saat tertentu, aku memang memasak untuknya – meskipun dengan bantuan Mbok Asih karena aku tidak begitu pintar memasak.  “Aku sedang malas memasak. Jadi, kita makan di luar saja, ya?”
   
Ferian menyentil hidungku lembut sekaligus gemas. “Dasar pemalas.”

Aku nyengir. “Tapi, kamu tetap sayang, kan?”
   
Akhirnya kami makan di tempat biasanya. Di sebuah warung lesehan yang khusus menyediakan masakan dari laut alias seafood. Kami duduk saling berhadapan di atas tikar yang digelar rapi menutupi lantai, menghadapi sebuah meja kayu yang tidak terlalu besar. Sambil menunggu pesanan kami disajikan, kami pun berbincang-bincang.
   
“Oh, ya, bagaimana acara minum tehnya kemarin? Pasti banyak cerita dan gosip, ya? Kan jumat minggu lalu kalian tidak bisa berkumpul?” Ferian bertanya. Ini juga yang aku suka dari Ferian. Dia selalu berusaha untuk mengetahui perihal bagaimana kabarku, kabar teman-temanku, bagaimana pekerjaanku, bagaimana hari-hariku dan apa saja yang aku lakukan, dan lain-lain. Mungkin, bagi sebagian wanita yang lain, mereka tidak begitu senang kalau pasangannya memberikan kesan selalu ingin tahu apa urusannya, tapi aku tidaklah demikian.

Bagiku, itu adalah salah satu wujud perhatian Ferian padaku dan aku tidak keberatan. Itu berarti dia memang benar-benar ingin tahu dan mengenalku lebih jauh – bukan karena dia tidak percaya padaku atau ingin membuatku merasa tertekan karena terlalu ingin diketahui. Ferian juga tidak keberatan kalau aku selalu ingin tahu segalanya tentang dia, meskipun terkadang aku tidak puas dengan jawabannya. Atau apa karena yang ingin aku ketahui itu sifatnya terlalu sensitif? Ya, kadang-kadang aku memang menanyakan hal-hal yang tidak semestinya aku tanyakan. Dan, aku akui itu adalah salah satu kecerobohanku.
   
“Pertemuan kami cukup seru dan menyenangkan, tapi juga menyedihkan.” Aku menjawab pertanyaan Ferian dengan senyum yang mungkin terkesan sedikit masam. Dan ketika aku mengucapkan kata ‘menyedihkan’, secara spontan aku pun memasang mimik muka sedih. Membuat Ferian memandangku dengan heran.
   
“Kamu kenapa, Mel?” Ferian meremas tanganku lembut. “Kok mukamu jadi sedih begitu? Memangnya ada kabar menyedihkan apa, sih?”
   
Aku mencoba tersenyum lagi dan kali senyum yang kusuguhkan bukan senyum yang masam, tapi manis. “Sebenarnya bukan berita yang menyedihkan, sih, melainkan berita yang menyenangkan.”
   
“Kok?” Ferian makin heran saja kelihatannya. “Yang benar yang mana, nih? Menyedihkan atau menyenangkan?”
   
Aku menghela napas sebentar. Ferian menatapku, mungkin dia sedang menduga-duga apa gerangan yang akan aku sampaikan nanti.
   
“Elisa dan Bramantio berencana akan menikah akhir tahun ini dan Widia saat ini sedang mengandung lima minggu.” Aku mencoba menyampaikan kabar gembira itu dengan sebaik-baiknya. Aku tidak mau Ferian membaca keresahanku karena kabar itu, meskipun aku meragukannya.
   
Ferian tersenyum. “Oh, jadi itu yang membuat wajah kekasihku tersayang sedikit muram malam ini?” Ferian mengenggam tanganku erat. “Don’t be sad, honey, you still have me as a person who will keep your smile always on your face.” Ferian mengucapkannya seperti sebuah janji yang tidak akan pernah diingkarinya.
   
Aku tersenyum lagi. Senyum yang sangat manis. “Thank you, honey.”
   
Makan malam kami akhirnya tersaji. Satu bakul nasi putih yang masih mengepulkan asapnya yang harum untuk kami berdua. Satu porsi cumi bakar untuk Ferian. Satu porsi kerang pedas manis untukku. Dan dua gelas jus jeruk untuk masing-masing kami.


***


“Jadi, akhir tahun ini Elisa dan Bramantio akan menikah?” Ferian mengulang ucapanku tadi, setelah kami selesai makan.
   
Aku mengangguk saja karena masih meminum jus jerukku.
   
“Terus, itu yang membuatmu jadi bersedih?” tanya Ferian lagi.
   
Kali ini aku ragu-ragu untuk mengangguk, meskipun jus jerukku sudah selesai aku habiskan. Mau menggeleng, aku juga tidak yakin. Jadi, aku pun hanya terdiam sambil memandanginya dengan posisi wajah yang tegak.
   
“Kok diam?” Ferian meraih gelas minumnya dan menghabiskannya tanpa ada sisa.
   
“Apa aku kelihatan sedih, ya?” Aku tersenyum tipis. “Sebenarnya aku bukannya sedih, sih, melainkan aku, bagaimana, ya? Nanti kalau aku bilang, kamu malah marah dan tersinggung?” Aku jadi serba salah, apalagi sedari tadi tatapan mata Ferian tidak mau lepas dari wajahku, bahkan saat dia menghabiskan minumannya pun sambil memandang ke arahku.
   
Go on, Mel.”
   
Aku malah jadi semakin serba salah melihat ketenangannya. Satu lagi yang aku suka dari Ferian. Dia bisa bersikap tenang dalam menghadapi masalah serumit apapun atau bila berada dalam situasi yang kacau sekalipun.

“Entahlah, Fer. Aku sendiri juga tidak tahu bagaimana cara menjelaskan apa yang aku rasakan. Akhir-akhir ini setiap kali aku menyaksikan pernikahan atau mendengar soal menikah, aku jadi merasa seperti ada yang hilang dari hatiku. Terlebih lagi saat aku menyaksikan sahabat-sahabatku menikah atau mendengar kabar pernikahan mereka. Menyaksikan Widia menikah setengah tahun yang lalu. Saskia yang akan menikah minggu depan. Kemudian Elisa yang akan menikah akhir tahun ini. Rasanya aku…”
   
“Kamu merasa iri karena ingin. Begitu, kan?” Ferian seperti bisa membaca pikiranku. “Ya, aku rasa itu wajar. Terkadang aku juga merasa seperti itu.”
   
Kami masih saling berpandangan. Hatiku berdesir. Ferian bilang terkadang dia juga merasa seperti itu? Merasakan hal yang sama dengan yang aku rasakan? Wanna get married syndrome?
   
“Semua orang baik laki-laki maupun perempuan sudah pasti juga ingin menikah dan membina rumah tangga dengan orang yang dicintainya. Begitu juga aku, Mel.”
   
Aku tersenyum mendengarnya perkataannya. Apa ini berarti Ferian sudah siap membicarakan hal itu sekarang? Perihal menikah atau rencana pernikahan kami? Mengingat selama ini kami memang jarang sekali menyinggung-nyinggung satu hal itu bila bertemu atau berbincang-bincang, meskipun hanya untuk iseng atau sekedar bahan obrolan saja. Kalaupun kami membicarakan soal pernikahan, itu bukan soal pernikahan kami, melainkan soal pernikahan orang lain, misalnya, Widia, Saskia, atau teman-teman Ferian sendiri.
   
“Tapi, Mel. Untuk saat ini, terus terang aku masih belum siap untuk membicarakannya. Jadi, aku harap kamu bisa mengerti dan bisa sedikit lebih bersabar lagi.”

Hilang sudah harapanku. Senyumku pun seketika sirna dari bibirku. Benar kataku dan juga sahabat-sahabatku: Ferian belum siap untuk menikah. Bahkan untuk membicarakannya pun Ferian sepertinya masih enggan.
   
“Maafkan aku, Mel.” Ferian menggenggam tanganku lagi. Kali ini lebih erat. “Aku tahu, mungkin atau pasti kamu bertanya-tanya, kenapa aku belum juga mau membicarakan perihal pernikahan denganmu. Atau kenapa aku belum pernah menyinggung-nyinggung soal kapan kita akan menikah padahal kita sudah berhubungan cukup lama. Hampir tiga tahun.” Ferian terdengar mendesah pelan. Baru kali ini aku melihat Ferian tampak sedikit tertekan, meskipun dia berusaha menutupinya dengan tersenyum.
   
“Percayalah, Mel. Aku serius denganmu. Aku tidak main-main dengan hubungan yang sudah kita jalin selama ini. Hanya saja, saat ini masih ada hal lain yang harus aku pikirkan lebih dulu.”
   
Aku ingin bicara, tapi Ferian menggelengkan kepalanya tanda memintaku untuk tidak menyelanya.
   
“Jangan marah, Mel. Aku bukannya menganggap hal itu tidak penting dibicarakan atau dipikirkan, bukan begitu, Mel. Aku hanya ingin saat ini kita tidak terlalu memikirkannya atau sebaiknya kita tunda dulu pembicaraannya. Kamu mau, kan?” Ferian memandangku seperti memohon. “Beri aku waktu, ya?”
   
Aku, meskipun dengan sedikit berat hati dan secuil rasa kecewa, akhirnya mengangguk juga. Tak lupa pula aku tersenyum pada Ferian agar dia merasa lega dengan persetujuanku.
   
Padahal, dalam hati aku ingin berteriak. Sampai kapan, Fer? Sampai kapan aku harus menunggumu? Berapa lamakah waktu yang kamu perlukan untuk berpikir dan menjadi siap untuk menikah? Denganku, tentunya.
   
Apa aku harus menunggu sepuluh tahun seperti Widia, baru kamu akan menikahiku? Oh, aku pasti sudah menjadi nenek-nenek. Kenapa aku tidak bisa seperti Saskia, yang hanya perlu waktu dua tahun untuk dilamar? Atau seperti Elisa saja, yang baru delapan bulan pacaran sudah diajak menikah? Ah, pasti aku tidak perlu mengidap penyakit ini.
   
“Thank you, honey.” Ferian mencium lembut jemariku. “I love you and I love to be with you.
   
Aku tersenyum. “Me, too.”

Aku memang harus percaya pada Ferian. Aku memang harus lebih bersabar menghadapi sikapnya, meskipun aku tahu umurku semakin hari tidak akan semakin muda, tapi akan semakin tua. Aku juga harus yakin – seperti kata Widia – bahwa Tuhan pasti punya rencana lain di balik semua ini.

Lagipula, aku pernah mendengar kata-kata seperti ini: menghabiskan hidup kita dengan seseorang memang penting, tapi dengan siapa kita akan menghabiskan hidup kita kelak, itulah yang paling penting. Kalau aku, tentu saja aku ingin menghabiskan hidupku dengan Ferian karena menurutku – dan semoga Tuhan juga mengabulkannya – dialah orang yang tepat menjadi teman hidupku kelak. Dan semoga Ferian juga berpikiran sama bahwa akulah orang yang tepat untuk menjadi pasangan hidupnya.

Jadi, aku rasa aku tidak akan menuruti gurauan Saskia untuk mencari pria lain yang bersedia menikahiku. Memangnya semudah itu? Kemudian apabila aku lakukan dan ternyata aku tidak bisa menemukan pria lain yang lebih baik dari Ferian, apa aku tidak akan menyesal? Atau bila ada yang mau menikahiku, tapi malah aku yang kurang sreg, apa aku tidak akan merana? Lagipula, tidak dapat aku bayangkan bila aku harus hidup dengan pria yang tidak benar-benar aku inginkan.

Maka, biarlah. Untuk saat ini aku mau tidak mau harus merasa cukup puas dengan apa yang sudah aku dapatkan. Kekasih yang baik, penuh perhatian, dan yang pasti sangat menyayangiku. Semoga saja Tuhan menjadikan Ferian tidak hanya sebagai kekasihku, tapi juga suamiku kelak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar