Rabu, 01 Desember 2010

Valentino

Catatan:
-Cerpen ini adalah cerpen ketiga yang dimuat di majalah, yaitu KaWanku No. 8/XXXIII/18 – 24  Agustus 2003.
-Aku lupa berapa lama waktu yang aku perlukan untuk mengetahui bahwa cerpen ini akhirnya dimuat, mungkin sekitar 6 bulan. Edisi majalah yang memuat cerpen ini masih aku simpan.
-Aku tidak mendapatkan copy majalah dari majalah KaWanku dan hanya diberitahu nomor edisi dan tanggal terbitnya saja yang ternyata ada kesalahan informasi sehingga menyulitkanku untuk mencari edisi majalah yang dimaksud. Apalagi waktu terbit majalah dan pemberitahuannya terpaut cukup lama sehingga lagi-lagi aku kesulitan menemukannya meskipun akhirnya ketemu juga. Setelah aku mencarinya di kios-kios majalah dan pasar loak. But, it's worthy! Because once again, I got my story published!

Sinopsis:  
Amanda makin kesal saja pada Valentino setelah cowok culun berambut klimis belah pinggir, berkaca mata tebal dan berkawat gigi itu tidak datang di kafe tempat mereka sepakat untuk bertemu--awalnya Amanda keberatan bertemu di luar sekolah, tapi akhirnya ia setuju. Ia tidak percaya Valentino berani mengelabuinya. Dan ketidakpercayaan yang berujung pada keterkejutan itu semakin menjadi-jadi saat ia datang ke rumah teman adiknya, Tina, dan ia bertemu dengan Valentino di sana.

Maharani Menulis:



VALENTINO*



“Itu dia anaknya,” ujar Neta saat melihat Amanda duduk sendirian di bangku panjang di belakang ruang perpustakaan. Segera saja ia menghampiri cewek itu diikuti Silvi dan Mila yang mengekor di belakangnya. “Rupanya kamu di sini, Manda,” katanya lagi, lalu duduk di sebelah Amanda sedangkan Silvi dan Mila berdiri di hadapan mereka.

“Aku lagi sebel sama si kaca mata tebal itu.” kata Amanda tiba-tiba. Ketiga sahabatnya saling berpandangan.

“Valentino?” kata mereka kompak lalu cekikikan.

“Eh, dibilangin malah ketawa,” sungut Amanda. Wajahnya langsung berubah judes seketika. “Kalian senang ya, lihat aku susah?”

“Bukan begitu, Manda,” Silvi yang bicara. “kita semua tau kalau kamu dari pertama kali bertemu Valentino sudah sebel, tapi yang bikin aku heran, sebelmu kali ini kayaknya lain, deh. Bener nggak, temen-temen?” ujarnya lagi yang diiyakan Neta dan Mila. “Sebenarnya ada apa, sih?”

“Kalian mau tau, si rambut klimis belah pinggir itu nggak nepatin janji.”

“Maksud kamu?” Silvi rada bingung.

“Kamu janjian sama Valentino?” Neta ikut bingung.

“Kencan, begitu? Jangan bercanda, deh.” Mila tidak percaya.

“Aku memang janjian sama si kawat gigi itu kemarin.” jelas Amanda.

“Hah?” Ketiga sahabatnya itu tampak shock.

“Kamu serius, Manda?” Neta menatapnya. Silvi dan Mila juga. Mereka bertiga benar-benar tidak bisa percaya dengan omongan Amanda barusan. Mereka tau betul kalau Amanda paling anti sama yang namanya Valentino. Cowok culun, berambut klimis belah pinggir, berkaca mata tebal dan berkawat gigi. Bukan karena tampangnya yang emang jauh dari keren yang bikin Amanda jutek, tapi karena Valentino suka sekali mencari perhatiannya hingga membuatnya sebel.

“Sebenarnya dia yang ngajak aku untuk ketemu di kafe. Katanya, dia mau ngomongin hal yang penting. Awalnya aku menolak kalau ketemu di kafe, mendingan di sekolah saja setelah jam pelajaran selesai, tapi dia tidak mau. Ya, sudah, karena dia terus mendesak, akhirnya aku terpaksa menyetujuinya.”

“Lalu?” tanya mereka antusias.

“Lalu aku pun datang ke kafe sesuai dengan kesepakatan. Waktu aku sampai di sana, ia memang belum datang karena aku datang lebih awal dari waktu yang ditentukan. Tapi, sampai dua jam lebih aku menunggunya, ia tidak datang juga bahkan bayangannya pun tidak kelihatan. Sampai jenuh dan capek aku dibuatnya.” jelas Amanda berapi-api. “Coba kalian pikir, apa aku nggak berhak marah, sebal, dan kesal? Kalau niatnya mau negerjain, kira-kira, dong!”

Ketiga sahabatnya melongo melihat Amanda begitu emosinya.

“Ya, mungkin aku lagi sial! Nggak cakep nggak jelek sama saja. Semuanya tukang ngibul.” setelah berkata seperti itu Amanda kemudian ngeluyur pergi membuat Neta, Silvi, dan Mila semakin melongo.


***


“Bener, nih, kamu nggak mau ikut kami ke mall, Manda?” kata Silvi pada Amanda sepulang sekolah.

Amanda menggangguk, “Iya, lain kali saja, deh. Aku ada perlu lain,”

“Nggak janjian sama Valentino lagi, kan?” selidik Mila.

“Aku mau ke rumah Tina, temen sekolah adikku,”

“Kalau begitu, kita jalan duluan, ya,” ujar Neta mewakili lainnya.

Sepeninggal ketiga sahabatnya, Amanda segera merapikan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam tas.

“Hai, Amanda,” sapa seseorang mengejutkannya. Dada Amanda berdebar. Ia kenal betul suara itu. Valentino.

“Ada apa?” tanya Amada ketus.

Valentino mencoba tersenyum hingga tidak hanya giginya yang kelihatan, tapi juga kawat giginya. “Aku...aku ingin menjelaskan soal yang kemarin.”

“Terima kasih sebelumnya,” kata Amanda. “tapi kurasa itu sudah tidak perlu lagi karena aku sudah melupakannya.” Amanda mengambil tasnya dan berniat pergi.

“Tunggu, Manda,” Tiba-tiba Valentino menahan langkahnya dengan memegang tangannya. Tentu saja Amanda terkejut. Ia memandang Valentino yang juga sedang menatapnya. Untuk beberapa detik lamanya mereka saling bertatapan. Dalam jarak yang sedekat itu, Amada bisa melihat bahwa di balik kaca mata tebal yang dikenakan Valentino terdapat sepasang mata yang tajam, tapi bening dan jernih. Matanya tampak teduh dan menenangkan.

Tiba-tiba Amanda memalingkan wajahnya, dan Valentino juga spontan melepaskan tangannya. Keduanya tampak salah tingkah.

“Ma...maafkan aku,” ujar Valentino gugup.

“Sudahlah,” Amanda yang juga gugup mengibaskan tangannya lalu melangkahkan kakinya meninggalkan Valentino.

Valentino tersenyum memandangi punggung Amanda yang semakin menjauh. Dia mengacak rambut klimisnya dan menanggalkan kaca mata tebalnya lalu tersenyum penuh arti.


***


Setibanya di rumah Tina, Amanda langsung menekan bel dan seorang perempuan pembantu rumah itu segera menyambutnya. Setelah Amanda mengatakan maksud kedatangannya, perempuan itu segera mengantarnya menemui Tina. Di depan sebuah kamar yang pada pintunya terdapat gantungan nama bertuliskan Valentina, perempuan itu berhenti. Lalu ia mengetuk pintu dan setelah terdengar sahutan dari dalam mereka berdua pun masuk.

“Eh, kak Manda. Silakan.” Tina yang sedang membuka-buka album foto tersenyum pada Amanda. “Mbok, tolong, buatkan minuman untuk kak Amanda, ya,” kata Tina. Perempuan yang dipanggil Mbok itu mengangguk untuk kemudian berlalu pergi.

“Apa kabar, Tina?” Amanda menjabat tangan Tina.

“Sudah lebih baik, Kak,”

Amanda duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur.

“Oh, ya, ini bukunya. Maaf, Sherly, tidak bisa mengantarkan buku ini karena dia ada les tambahan,”

Tina tersenyum. “Seharusnya yang meminta maaf itu Tina, bukannya Sherly atau kak Manda. Yang perlu buku itu kan Tina, jadi seharusnya Tina yang mengambilnya. Kalau bukan karena masih lemah, pasti Tina yang datang ke sana. Jadi, Sherly atau kak Manda tidak perlu repot-repot mengantarkannya.” kata Tina. “Tadi sebenarnya Tina sudah minta tolong sama kak Tino untuk mengambil buku itu, tapi karena hari ini dia harus latihan karate, jadi tidak bisa,”

“Kak Tino?” Amanda tiba-tiba penasaran mendengar nama itu, tapi rasa itu tidak segera terjawab karena si Mbok sudah datang membawakan minuman.

“Iya, ini fotonya,” Tina memperlihatkan sebuah foto dari album foto yang dipegangnya. “Lucu, ya?” Tina tertawa kecil melihat foto seorang cowok berambut klimis belah pinggir dan berkaca mata tebal sedang tersenyum lebar hingga kawat gigi yang dipakainya kelihatan.

“Valentino?” batinnya. Tiba-tiba ia merasa kepalanya pusing dan jantungnya berdegup kencang.

“Kak Tino memang aneh. Tina juga nggak habis pikir kenapa ia mesti berpenampilan seperti itu sekarang.”

“Sekarang?”

“Iya, padahal dulu sebelum kami pindah kemari, penampilan kak Tino biasa-biasa saja, seperti cowok lain pada umumnya, tidak seperti sekarang ini. Ini fotonya.” Tina membalik lembar berikutnya dan menunjuk salah satu foto. “Nah, kalau yang ini, kak Tino baru keren,” katanya.

Amanda ikut melihat foto itu. Tampak seorang cowok berambut tebal belah tengah, tanpa kaca mata, dan tanpa kawat gigi tersenyum sambil duduk di atas badan mobil. Memang benar, cowok itu tampak tampan dan keren.

“Ya, Tuhan!” batinnya lagi tidak percaya. Tangannya tiba-tiba dingin. “Valentino?” Dan dada Amanda semakin berdebar-debar.

“Kak...kak Manda tidak apa-apa?” tanya Tina yang melihat wajah Amanda tampak berkeringat dan sedikit pucat.

“Oh, tidak. Kakak tidak apa-apa.” Amanda tampak gugup. “Cuma gerah saja. Panas,” Amanda tersenyum sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

“Oh, maaf, minumnya. Silakan diminum, Kak,”

Amanda tanpa dipersilakan dua kali segera meneguk minumannya sampai setengahnya. “Oh, ya, kapan kamu bisa masuk sekolah lagi?” tanya Amanda kemudian mencoba mengalihkan pembicaraan. Terus terang ia merasa tidak enak hati dan agak risih mendengar cerita Tina tentang kakaknya, Valentino, cowok yang selama ini bikin ia sebal.

“Mungkin minggu depan, soalnya kata dokter, Tina masih harus banyak istirahat,” ujar Tina. “Kata kak Tino juga, pokoknya kalau Tina belum sehat benar, Tina nggak boleh masuk sekolah,”

“Tidak, Tuhan!” keluh Amanda, tapi cuma dalam hati saja. Valentino lagi, Valentino lagi.

“Sebenarnya Tina merasa kasihan dan juga bersalah sama kak Tino. Gara-gara Tina masuk rumah sakit, kak Tino jadi batal ketemu cewek yang disukainya.”

“Apa?” kata Amanda spontan karena kaget.

“Iya. Waktu itu kak Tino berencana untuk bertemu cewek itu di kafe, tapi karena mendadak sakit Tina kambuh, kak Tino tidak jadi pergi menemuinya, dan malah mengantar Tina ke rumah sakit,” cerita Tina membuat Amanda terhenyak.

“Padahal waktu itu kak Tino ingin sekali mengatakan kalau ia suka sama cewek itu. Namun, semuanya gagal. Dan yang lebih membuat Tina semakin merasa bersalah, waktu itu adalah pertama kalinya kak Tino bisa mengajak cewek itu pergi, karena sebelumnya cewek itu susah sekali diajak bicara, bahkan menatap kak Tino saja sepertinya ia enggan,”

Amanda menelan ludah yang dirasakannya sangat pahit menyentuh tenggorokannya.

“Apa karena tampang kak Tino jelek, jadi mungkin cewek itu tidak mau menatapnya? Sebelumnya Tina memang sudah pernah ngingetin kak Tino soal penampilannya yang sekarang, tapi ia tidak menghiraukannya. Katanya, sih, dia pengen cewek-cewek yang suka sama dia, suka dia apa adanya bukan karena tampang apalagi kekayaan seperti yang pernah terjadi sebelumnya.” Tina menghela napas, matanya menerawang.

“Seandainya kak Tino mau menceritakan siapa sebenarnya cewek itu sama Tina, Tina akan menemuinya dan menceritakan semua ini padanya. Tina akan ceritakan bahwa kak Tino sangat mencintainya bahkan sejak pertama kali melihatnya. Tina akan katakan kalau penampilannya sekarang bukanlah penampilan kak Tino yang sebenarnya. Kak Tino yang sebenarnya adalah seorang cowok yang gagah, tampan, pemberani, dan dewasa dan dia juga seorang kakak yang baik.” Tina memandangi foto kakaknya.

“Oh, ya, kalau kak Amanda,” Tina mengalihkan pandangannya pada Amanda, “Apa kak Manda sudah punya pacar? Kak Manda kan cantik, pasti banyak cowok yang suka,”

Amanda tidak menjawab. Lidahnya terasa kelu.

Tiba-tiba terdengar pintu diketuk dan disusul suara pintu dibuka. Tina tersenyum melihat siapa yang datang.
“Wah, kak Tino panjang umur,”

Deg! Jantung Amanda berdebar lagi. Spontan ia menoleh. “Valentino?” Amanda tampak sangat surprise melihat penampilan Valentino saat itu. Ia tidak hanya tampan dan keren, tapi sangat tampan dan sangat keren.

“Amanda?” Valentino tak kalah surprise melihat siapa yang sedang bersama adiknya.

Mereka bertatapan sejenak.

“Kalian saling kenal?” Tina ikut-ikutan surprise memandangi keduanya silih berganti.



TAMAT



*Dimuat di KaWanku No. 8/XXXIII/18 – 24  Agustus 2003

2 komentar:

  1. Trus ? kemudian ?...kok habis sebegitu rupa adanya. ada season 2 ? xoxoxo

    BalasHapus
  2. Season 2??? Uhm... Sadly, none. :-(

    BalasHapus