Jumat, 03 Desember 2010

Suatu Senja di Sudut Kota

Catatan:
-Cerpen ini pertama kali aku tulis saat aku mengikuti pelatihan menulis cerpen di kampusku tahun 2000 dan telah mengalami berkali-kali revisi sampai akhirnya menjadi seperti ini.
-Pernah aku ikutkan lomba menulis cerpen Minggu Pagi (aku lupa kapan), tapi tidak menang.
-Beberapa kali ditolak oleh majalah yang pernah aku kirimi naskahnya hingga akhirnya dimuat di MINGGU PAGI No. 53 Tahun ke-60 / Minggu V Maret 2008 dan menjadi cerpen keempat yang dimuat (cerpen pertama yang dimuat di koran). Aku masih menyimpan potongan koran tersebut.


Sinopsis: 
Saskia terkenang pengalamannya suatu hari. Gara-gara lupa waktu, ia panik saat hendak pulang hari sudah gelap. Lebih panik lagi saat seseorang tak dikenalnya mengejar-ngejarnya.



Maharani Menulis:


SUATU SENJA DI SUDUT KOTA*



Hari masih sore. Kendaraan-kendaraan pun masih setia melaju di jalanan. Sesekali terdengar suara klakson yang dipencet-pencet gemas pengemudi yang lalu-lalang. Bising. Berisik.

Saskia berdiri di pinggir jalan, di depan sebuah toko, menunggu biskota. Sebuah tas berisi barang belanjaan tergantung di tangannya. Hampir 12 menit ia menunggu, tapi biskota yang ditunggunya tak juga datang. Rasa gelisah mulai menyerang. Sesekali diliriknya arloji di tangannya. Hampir malam.

“Becak, Mbak,” Tiba-tiba seorang tukang becak menghampiri.

“Tidak, terima kasih,” jawab Saskia cepat, sambil mencoba tersenyum ramah.

“Kemana, sih, Mbak?”

“Pemuda!” sahut Saskia sambil menenangkan hatinya yang mulai dirambati rasa takut. Entah kenapa pertanyaan tukang becak itu begitu mengusiknya.

“Dari masjid, kemana?” tanyanya lagi, mungkin iseng.

Saskia memandang tukang becak itu sekilas dan takut-takut. Mungkin tukang becak itu melihat ada ketegangan terpancar dari wajahnya sehingga ia tersenyum geli.

“Mbak…”

“Maaf, bis yang saya tunggu sudah datang,” ujar Saskia.

Saskia pun bergegas naik. Aman, pikirnya.

***


Saskia memang merasa ketakutan bila pergi sendirian apalagi dia termasuk pendatang baru di kota itu. Tindak kejahatan yang terjadi akhir-akhir ini membuatnya ngeri dan harus bersikap waspada, dimanapun berada.

Pernah suatu kali, sepulang kuliah, berbelanja. Niatnya cuma mau beli beberapa kebutuhan kos, ternyata ia keasyikan keliling mal, sehingga tanpa disadari sudah menghabiskan waktu lebih dari empat jam. Ketika keluar dari salah satu mal baru sadar hari telah gelap.


“Ya, Tuhan,” keluhnya. Arlojinya menunjukkan pukul 18.15. Hatinya mulai was-was.

“Bagaimana aku bisa pulang kalau sudah malam begini, mana biskota sudah jarang,” pikirnya sambil memandang ke sekeliling.
Jalanan memang masih ramai bahkan lampu-lampu semakin benderang, tapi hati Saskia justru semakin ciut.

“Ah, naik taksi saja,” pikirnya cepat. Tapi secepat itu pula ia menggeleng.

“Aku tidak berani naik taksi sendirian apalagi aku belum begitu tahu daerah sini,” batinnya.

Saskia teringat kejahatan yang terkadang menimpa para penumpang taksi bahkan juga sopirnya. Ih, Saskia bergidik.

Saskia mulai berjalan sepanjang trotoar. Ia masih bingung dan bimbang harus melakukan apa? Dalam hati, ia berdoa semoga ada mukjizat datang, semoga Tuhan mengirim teman menjemputnya. Mungkinkah? Saskia sendiri tidak tahu siapa yang harus dihubungi.

“Becak, Mbak?” Tawaran seorang tukang becak mengejutkannya. Saskia buru-buru menggeleng. Ia masih ragu. Langkahnya kian cepat dan panjang-panjang.

“Baru pulang, Mbak?” Sebuah suara usil menyapanya, salah seorang dari gerombolan anak jalanan. Saskia tidak menyahut. Jantungnya berdegup kencang.

“Uh, cantik-cantik, kok, sombong,” tambahnya.

“Tuli, kali,” timpal yang lain.

Terdengar tawa mereka mencemooh Saskia, tapi ia tidak peduli.

Tiba-tiba….

Dukk!!!

Seseorang menabrak lengannya. Saskia menjerit saking kagetnya. Ia menoleh. Seorang laki-laki bertubuh tegap dan gagah, berperawakan tinggi, berdiri tidak jauh darinya. Laki-laki itu tersenyum. Saskia yang sudah ketakutan tidak menghiraukan. Cepat-cepat ia melangkah lagi.

“Mbak,… Mbak, tunggu,” Laki-laki itu memanggil. Saskia tidak berani menoleh. Langkahnya malah semakin cepat. Bahkan setengah berlari.

“Mbak, tunggu,” panggilnya.

Kali ini Saskia memberanikan diri menoleh ke arah suara itu meski ia tidak menghentikan langkahnya. Laki-laki itu memang mengejarnya. Karuan saja, hatinya tambah takut. Kalut.

Lalu tanpa berpikir dua kali Saskia benar-benar berlari. Dan ketika dilihatnya ada tikungan menuju gang kecil, cepat-cepat ia berbelok. Entah apa yang ada di benaknya hingga bersembunyi di balik tembok dengan tubuh gemetar. Perasaan takut dan ingin menangis berbaur jadi satu, tidak henti-hentinya ia menyesali diri kenapa tadi sampai lupa waktu.

“Aarrghh,” Saskia menjerit ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya. Matanya terbelalak kaget. Ia melihat laki-laki yang tadi mengejarnya sudah berada persis di depan batang hidungnya. Hanya berjarak setengah meter. Rasanya Saskia ingin sekali pergi dari tempat itu, tapi tangan kokoh laki-laki itu menahannya.

“Lepaskan,” Saskia menepiskan tangan laki-laki itu dari pundaknya.

“Tenang, Mbak Saskia,” ujar laki-laki itu. “Saya tidak bermaksud jahat,”

Suaranya terdengar lembut, bersahabat. Bahkan seulas senyum tampak menghiasi bibirnya.

Perasaan Saskia makin campur aduk. Antara heran, takut, dan kaget.

“Dari mana kamu tahu namaku? Apa…apa maumu?” tanya Saskia sambil memberanikan memandang laki-laki itu.  

“Saya hanya ingin mengembalikan ini,” Laki-laki itu menyodorkan sebuah dompet kulit berwarna coklat yang memang mirip dompetnya.

“Saya rasa dompet ini Mbak. Soalnya tadi sewaktu kita bertabrakan, dompet ini terjatuh dari tas Mbak. Lagipula foto yang ada di KTP dan SIM, foto Mbak. Dan Saskia Fitriana tentunya nama Mbak.” Laki-laki itu masih tersenyum.

Saskia menghela napas. Perlahan diambil dompet yang diulurkan laki-laki itu dan memeriksa isinya. Memang benar, dompet itu miliknya.

“Ya, dompet ini memang milik saya. Terima kasih, Mas,” Saskia kini bisa tersenyum lega.

“Maafkan bila sikap saya tadi tidak berkenan. Terus terang saja saya takut,”

“Tidak apa-apa, saya bisa mengerti,”

Laki-laki itu tersenyum lagi.

“Saya juga minta maaf jika sudah membuat Mbak Saskia takut,”

“Panggil saja Saskia,”

Saskia mengulurkan tangan.

“Ronnie…”

Mereka berdua berjabat tangan.

***


“Pemuda…. Pemuda…,” Teriakan kondektur bis membuyarkan lamunan Saskia. Cepat-cepat ia bangkit.

“Depan, kiri, Pak,” ujarnya pada kondektur.

Bis berhenti di depan gang menuju kos.

“Saskia!”

Sebuah suara memanggilnya. Suara yang tak asing di telinganya. Dari seberang jalan, seorang laki-laki tinggi, tegap dan gagah melambaikan tangan.

“Mas Ronnie!”

Senyum Saskia berkembang.

“Mau kemana, Mas?” Saskia nyaris berteriak.

“Ke kosmu,” jawab Ronnie, masih dari seberang jalan. “Tunggu aku di situ. Kita ke kosmu sama-sama,”

Senyum Saskia semakin melebar ketika Ronnie sudah di hadapannya. “Sini, aku bawakan barang-barangmu,” ujar Ronnie seraya mengambil barang belanjaan Saskia.



    
TAMAT    

*MINGGU PAGI No. 53 Tahun ke-60 / Minggu V Maret 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar