Jumat, 03 Desember 2010

Seuntai Kalung Perak

Catatan:
-Aku lupa kapan cerpen ini aku tulis.
-Cerpen ini pernah aku ikutkan lomba menulis cerpen yang diadakan oleh panitia book fair (aku lupa kapan), tapi tidak menang.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya (versi Inggrisnya pernah aku kirimkan ke majalah berbahasa Inggris, tapi ditolak juga) sampai akhirnya dimuat di Koran Minggu Pagi, 29 Maret 2009 dan menjadi cerpen kelima yang dimuat (cerpen kedua yang dimuat di koran).
-Aku baru tahu kalau cerpen ini dimuat setelah satu tahun pemuatannya, bukan satu tahu menunggu untuk dimuat. Itupun karena Mas Latief dari Minggu Pagi menanyakan apakah honor cerpen sudah diambil atau belum. Hahaha.
-Aku tidak punya copy edisi koran yang memuat cerpenku. Uhm... Never mind.

Sinopsis: 
Ryan meminta bantuan Rere untuk memilihkan sebuah kalung perak yang kata Ryan akan diberikannya pada seorang cewek yang sangat berarti baginya. Mengetahui hal itu, Rere merasa resah, tapi ia sudah terlanjur berjanji untuk membantu Ryan. Setelah kejadian itu, Rere pun mulai menjaga jarak dengan Ryan. Namun, Ryan yang sadar bahwa Rere menjauhinya segera bertindak cepat. Akhirnya Ryan pun memberitahu Rere siapa cewek yang sangat berarti baginya yang berhak atas seuntai kalung perak itu.


Maharani Menulis:



SEUNTAI KALUNG PERAK*


“Rere!” Langkah Rere terhenti. Dia membalikkan badannya dan melihat Ryan yang berlari-lari kecil menghampirinya.

Setelah berhasil mengatur napasnya, Ryan lalu tersenyum manis padanya dan Rere pun langsung bisa mencium bahwa pasti ada sesuatu di balik senyuman itu apalagi kemudian Ryan mengeluarkan kesaktiannya. “Halo, Rere yang baik hati. Kamu makin cantik aja, ya? Ryan jadi tambah suka deh melihatnya.”

To the point saja, deh. Apa yang bisa kulakukan untukmu hari ini?” Rere yang sudah hapal dengan kebiasaan Ryan yang satu itu—pujian Ryan sama dengan permintaan bantuan—langsung memberinya umpan balik.

Ryan tampak cengar-cengir dan salah tingkah. Digaruk-garuknya kepalanya yang memang sedikit gatal karena sudah saatnya keramas. Ryan tampak malu-malu mengatakannya, “Begini, Re, kamu kan cewek…”

“Kamu baru sadar, ya?” Rere malah jadi tidak sabar melihat kelakuannya. Akhir-akhir ini Ryan memang jadi kelihatan semakin aneh. Suka malu-malu kalau lagi bicara padanya. Kadang wajahnya malah sampai memerah. Tapi, yang lebih aneh lagi, Ryan jadi suka senyum-senyum sendiri tanpa sebab yang jelas.

“Jangan menyela, dong. Aku kan belum selesai ngomongnya.” Ryan tampak kesal padahal Rere tahu itu hanya pura-pura saja.

Rere tersenyum geli. “Oke, deh. Bantuan apa?”

***


Di sinilah mereka sekarang. Di depan sebuah toko bernama Silver Shop. Sebuah toko yang menyediakan segala macam pernak-pernik kerajinan dan perhiasan dari perak. Mulai dari pajangan, aksesories, souvenir, dan tentu saja perhiasan dengan berbagai macam model dan bentuk.

“Kamu lagi jatuh cinta, ya, Yan?” Lagi-lagi Rere menebaknya tanpa basa-basi. Ryan pun lagi-lagi tampak malu-malu, wajahnya juga tampak sedikit memerah meskipun dia matian-matian menutup-nutupinya dengan berkali-kali mengusap-usap rambutnya untuk mengalihkan perhatian Rere agar tidak memandangi wajahnya dengan penuh rasa ingin tahu karena curiga.



“Memangnya yang boleh masuk toko ini hanya orang-orang yang sedang jatuh cinta, Re?” Ryan balik bertanya, melucu. “berarti kamu juga sedang jatuh cinta, dong. Ayo, ngaku. Kamu lagi jatuh cinta sama siapa?”

Rere langsung mencubit lengan Ryan karena gemas sehingga cowok itu meringis kesakitan. “Sadis amat, sih.” Ryan menggerutu.

“Perlu bantuanku atau cubitanku?” Rere cemberut.

“Bantuanmu, dong, Re.” Ryan setengah tersenyum setengah meringis sambil mengusap-usap lengannya yang terasa panas.

Lalu Ryan mengajak Rere mendatangi salah satu counter untuk meminta katalog. Setelah mendapatkannya, Ryan kemudian mengajak Rere melihat-lihat katalog itu sambil duduk di salah satu kursi panjang yang tersedia di salah satu sudut ruangan.

“Aku ingin membeli sebuah kalung perak dan aku ingin kamu yang memilihkannya.” ujar Ryan.

“Untuk siapa, sih?” Rere ingin tahu. Penasaran sekaligus heran.

“Seseorang,” jawab Ryan kalem.

“Cewek, ya?” Rere makin penasaran.

“Yang sangat berarti bagiku,” Ryan melanjutkan.

Rere memandang Ryan, sedikit lebih lama—benar-benar penasaran. Ryan balas menatapnya, memberinya senyum paling manis. Tiba-tiba Rere merasa ada yang aneh dalam dirinya sendiri. Ada yang berdenyut-denyut sakit. Hatinya.

***



“Rere!” Lagi-lagi langkah Rere terhenti gara-gara panggilan Ryan. Tapi, kali ini dia tampak malas-malasan untuk melihat Ryan yang tampak tergesa-gesa berjalan ke arahnya. Dia enggan melihat senyum Ryan.

“Sorry, Yan. Aku harus menghadap Pak Sanusi,” kata Rere. “kalau kamu tidak keberatan nanti saja kita ngobrol, ya? Mumpung Pak Sanusi ada waktu untuk mendengarkan hasil seminarku kemarin. Oke?” Dan Rere pun berjalan meninggalkan Ryan yang bahkan belum sempat mengatakan apa-apa dan hanya bengong sekaligus bingung memandangi punggung Rere yang semakin menjauh.

Sebenarnya Rere juga bingung. Dia sendiri bahkan tidak tahu kenapa akhir-akhir ini dia jadi malas ketemu Ryan. Dia jadi kurang semangat kalau mengobrol dengan Ryan. Sejak kejadian itu. Di toko perhiasan itu. Sejak Ryan meminta bantuannya memilihkan seuntai kalung perak. Untuk seseorang. Cewek. Yang sangat berarti bagi Ryan. Yang Ryan tidak mau memberitahu siapa dia. Dan entah kenapa, sejak saat itu hati Rere terasa sakit bila mengingatnya.

***


Ryan menuruti kata-kata Rere. Ditunggunya Rere sampai urusannya dengan Pak Sanusi selesai. Dan begitu melihat Rere keluar dari ruangan Pak Sanusi, Ryan pun bergegas menyongsongnya.

“Kita harus bicara, Re. Sekarang juga. Ayo, ikut aku,” Ryan tanpa menunggu persetujuan Rere langsung menarik tangan cewek itu. Rere tentu saja terkejut dengan tindakan Ryan yang tiba-tiba itu, tapi dia menurut saja—meskipun dengan hati yang berdebar-debar. Ternyata Ryan mengajaknya ke taman.

“Akhir-akhir ini kamu aneh, Re,” ucapan Ryan terdengar sedih. “Kamu sepertinya sengaja menghindariku, ya? Kamu marah padaku, ya?”

Rere malah balik bertanya, “Bukannya akhir-akhir ini yang aneh itu kamu? Tiba-tiba saja memintaku memilihkan kalung yang bahkan aku tidak tahu untuk siapa kalung itu.” Rere akhirnya tidak tahan untuk tidak peduli siapa cewek itu.

“Jadi, itu alasanmu marah padaku dan menghindariku? Karena aku tidak memberitahumu siapa cewek itu?” Ryan tersenyum, sedikit terkesan misterius. “Baiklah. Sekarang balikkan badanmu dan lihat baik-baik.”

Rere tentu saja bingung, tapi ketika dilihatnya Ryan tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya, Rere pun menurutinya. Rere membalikkan badannya, membelakangi Ryan. Sekilas Rere bisa merasakan kedua tangan Ryan bergerak di atas kepalanya ke arah depan wajahnya dan kemudian Rere pun tercekat. Rere bisa melihatnya dengan baik karena ia tertampang dengan jelas di depan matanya. Seuntai kalung perak dengan rantai gilig, dengan liontin hati, dengan hiasan batu-batuan kecil berwarna putih yang merangkai sebuah kata. Sebuah nama. RERE.

TAMAT

*Dimuat di Koran Minggu Pagi, 29 Maret 2009

2 komentar:

  1. Cerpen yang bagus. Selamat ya, sudah pernah dimuat. Sebuah prestasi, lho. :-

    ... Xixixi.. ternyata si Rere salah tafsir. Kemarahannya juga salah sasaran. :D

    Salam,

    -Afi-

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas komennya. ^^

    BalasHapus