Jumat, 17 Desember 2010

Menikahlah Denganku, Mel - Bagian 1

Catatan:
-Cerbung ini aku tulis sekitar tahun 2007.
-Pernah aku ikutkan sayembara menulis cerpen dan cerbung Femina 2007, tapi tidak menang.
-Pernah aku kirimkan ke majalah, tapi tidak dimuat.
-Pernah juga aku kirimkan ke sebuah penerbit, tapi tidak ada kabarnya.
-Akhirnya cerbung ini aku publish di blog ini. Hehehe.

Sinopsis:
Amelia, Saskia, Elisa, dan Widia adalah empat sekawan semenjak kuliah hingga kini dimana mereka masing-masing telah bekerja di tempat berbeda. Untuk tetap menjaga tali silaturrahmi, mereka sepakat untuk bertemu dan berkumpul setiap jumat sore di kedai teh. Mereka mengobrol dan saling bertukar cerita. Saskia sedang mempersiapkan pernikahannya. Erika diajak menikah kekasihnya. Widia ternyata sudah hamil. Sedangkan kabar dari Amelia?


Maharani Menulis:


MENIKAHLAH DENGANKU, MEL



Menikah. Semua orang pasti ingin menikah, tak terkecuali aku, apalagi saat ini usiaku sudah menginjak 28 tahun. Usia yang menurut sebagian besar orang sudah sepantasnya dan sebaiknya sudah menikah, terutama untuk seorang wanita. Alasannya, apalagi kalau bukan alasan biologis bahwa semakin tua usia seorang wanita, dia akan semakin susah untuk hamil dan melahirkan.

Sedangkan alasanku ingin menikah bukan semata-mata karena alasan itu. Bukan karena teman-temanku yang sering bertanya: “Kapan, nih, kami menerima undangan pernikahanmu, Mel?” Bukan pula karena kedua orang tuaku yang akhir-akhir ini sering menodongku dengan pertanyaan yang intinya sama: “Kapan kamu akan menikah, Mel?” Atau, “Kapan Ferian akan melamarmu, Mel?” Ah. Aku tidak mungkin menyalahkan mereka dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Apalagi menyalahkan orang tuaku. Sebab pertanyaan seperti itu adalah wajar bila dilontarkan oleh orang tua manapun yang memiliki anak gadis yang sudah berumur dan punya pacar, tapi belum menikah atau dilamar juga.

Untungnya aku tidak tinggal lagi bersama dengan orang tuaku – karena jarak rumah dan tempat kerjaku lumayan jauh – jadi, aku tidak perlu merasa hidup di bawah tekanan, meskipun aku akui perasaan tertekan itu terkadang muncul juga menderaku. Dengan penghasilanku yang lumayan besar, aku bisa membeli sebuah rumah mungil tak jauh dari tempat kerjaku – meskipun dengan sistem kredit – dan menyewa seorang pembantu untuk mengurusi rumah dan juga kebutuhanku sehari-hari.

Dan alasanku ingin segera menikah sebenarnya adalah karena aku sudah siap untuk menikah. Wajar dan masuk akal, kan? Secara lahir dan batin? Secara moral dan material? Tentu saja. Aku sudah siap. Dengan apa yang sudah aku miliki sekarang, pokoknya aku sudah siap sekali.

“Non Amelia,” Suara Mbok Asih, pembantuku yang berusia hampir setengah abad, mengejutkanku.

Buru-buru aku menoleh dan tersenyum padanya. “Ada apa, Mbok Asih?” tanyaku kemudian.


“Maaf, saya mengganggu, Non. Di depan ada Non Saskia,” Mbok Asih menjawab pertanyaanku dengan tersenyum.

“Ya, ampun. Kenapa malah aku yang lupa?” Spontan aku menepuk dahiku sendiri karena teringat sesuatu. “Terima kasih, Mbok.”

Mbok Asih mengangguk kemudian berlalu pergi. Sementara aku segera bersiap-siap hendak pergi, bersama Saskia tentunya.

Sore ini aku ada janji bertemu dengan sahabat-sahabatku di kedai teh. Saskia, Elisa, dan Widia, adalah tiga orang sahabat baikku selama hampir tujuh tahun. Kami sudah mulai bersahabat sejak kami masih duduk di bangku kuliah. Setelah lulus kuliah dan bekerja, kami berempat jadi jarang sekali bisa bertemu satu sama lain karena kesibukan masing-masing.

Aku, Amelia, 28 tahun, bekerja sebagai public relations staff di sebuah hotel berbintang. Saskia, 28 tahun, bekerja sebagai editor di sebuah majalah wanita terbitan ibukota. Elisa, 27 tahun, bekerja sebagai sekretaris direktur di sebuah perusahaan elektronik. Sedangkan Widia, 29 tahun, bekerja sebagai account executive di sebuah perusahaan makanan dan minuman.

Jadi, untuk tetap menjalin tali silaturrahmi dan komunikasi, kami berempat tetap berhubungan via telepon, SMS, atau e-mail. Selain itu, setidaknya seminggu sekali setiap jumat sore kami akan meluangkan waktu sebentar untuk bertemu di kedai teh. Kenapa jumat sore? Karena di hari itu kami sama-sama punya waktu luang, sebab kalau sabtu sore biasanya kami sudah punya acara dengan pasangan kami masing-masing. Dan, kenapa di kedai teh? Karena tempat itu sudah menjadi tempat favorit kami untuk kumpul-kumpul sejak kuliah sebab di sana kami bisa mengobrol dan saling bertukar cerita mengenai apa saja sambil menikmati secangkir teh hangat dan berbagai macam kue dan biskuit sebagai cemilannya.

Namun, jumat minggu kemarin kami tidak bisa bertemu karena Widia dan Saskia tidak bisa datang karena ada keperluan. Widia – di antara kami berempat hanya dia yang sudah menikah – harus menemani Surya, suaminya, menghadiri sebuah acara di kantornya. Sedangkan Saskia, yang akan menikah dengan Hendri minggu depan masih harus mengurusi segala sesuatunya sehubungan dengan pernikahannya. Kalau Elisa, kemarin dia harus menyambut kedatangan bos besarnya yang berasal dari Amerika. Sementara aku, sebenarnya tidak melakukan apa-apa, kecuali bengong di rumah, karena Ferian ternyata harus bekerja lembur sehingga dia tidak bisa diganggu. Sebenarnya aku bisa saja pergi ke kedai teh itu sendirian, tapi rasanya sudah pasti akan sangat tidak menyenangkan karena tidak ada yang bisa aku ajak mengobrol atau pasti aku hanya akan melamun saja di sana.

“Kali ini kamu ketiduran atau lupa, Mel?” tanya Saskia ketika aku sudah naik mobilnya dan duduk di atas jok di sebelahnya. Sementara Saskia yang duduk di belakang setir tampaknya sudah siap untuk mengemudikan mobilnya.

Aku tersenyum, agak tidak enak hati. “Sorry, aku lupa.”

Tak lama kemudian, Saskia melajukan mobilnya meninggalkan rumahku menuju kedai teh.
   
“Belum juga jadi nenek-nenek kamu sudah pelupa, Mel. Bagaimana kalau kamu sudah jadi nenek-nenek betulan, bisa-bisa kamu lupa padaku, Elisa, dan Widia atau mungkin kamu bakal lupa sama nama kamu sendiri.” Saskia berkata dengan tenang, tidak seperti caranya mengemudi yang lumayan kencang karena kami sepertinya akan terlambat sampai ke kedai teh.
   
“Saskia?” Aku melotot mendengar ucapannya meskipun aku tahu dia hanya bercanda. “Kalau aku sampai lupa pada kalian atau bahkan namaku sendiri, itu bukan karena aku sudah tua atau jadi nenek-nenek, melainkan karena aku kena amnesia. Lagipula aku tidak mau jadi nenek-nenek sebelum menikah.” Kalimatku yang terakhir terdengar seperti gerutu sekaligus harapan. Tentu saja aku tidak mau keburu jadi nenek-nenek sebelum menikah. Lagipula siapa juga yang mau jadi nenek-nenek sebelum menikah? Aku berani jamin, tidak ada seorang wanita pun di belahan dunia manapun yang mau.
   
Saskia menoleh padaku sekilas sambil menahan tawanya. “Makanya, cepat minta Ferian melamarmu. Atau kamu mau jadi perawan tua?”
   
“Siapa yang mau jadi perawan tua? Enak saja. Mentang-mentang kamu sudah mau menikah minggu depan, Sas, jadi kamu seenaknya saja ngomong begitu? Uh. Harusnya kamu mendoakan aku supaya cepat dilamar, bukannya mendoakan biar aku jadi perawan tua.” Aku membuang muka memandang keluar jendela. Sedikit kesal. Siapa yang mau jadi perawan tua? Aku dan semua wanita di seluruh penjuru dunia, tentu saja tidak menginginkannya.
   
Saskia mungkin saja tersenyum geli atau malah prihatin mendengar ucapanku barusan, aku tidak peduli.


***



Kami sampai di kedai teh seperempat jam kemudian. Terlambat sepuluh menit dari waktu yang biasanya ditentukan yaitu pukul empat tepat. Ternyata Elisa dan Widia sudah datang dan sedang menunggu kami sambil menikmati teh dan hidangan kue-kue kering.
   
Setelah menyapa Elisa dan Widia, aku dan Saskia pun mengambil tempat duduk. Aku duduk berhadapan dengan Elisa dan Saskia duduk berhadapan dengan Widia. Kami berempat duduk melingkari meja bundar yang berada agak di sudut sebelah dalam di dekat jendela. Tempat favorit kami. Karena dari tempat itu kami bisa dengan leluasa memperhatikan apa yang sedang terjadi di dalam atau di luar kedai teh itu.
   
“Kok kalian baru datang, sih?” Elisa yang bertanya.
   
“Amelia, tuh, dia sendiri malah lupa, padahal kemarin dia sendiri yang mengingatkan kita untuk datang tepat waktu dan kalau bisa, datang lebih awal, karena hari jumat kemarin kita tidak bisa bertemu. Bagaimana, tuh? Yang mengingatkan malah yang melupakan. Dia sudah mulai pikun kali, ya?” Saskia menjawab dengan sedikit mencemoohku.
   
“Bukannya pikun, Sas, aku cuma lupa sedikit, kok. Buktinya, aku tetap bisa datang, meskipun telat.” Aku mencoba membela diri. “Lagipula Saskia, tuh, menjemputku mepet sekali.”
   
“Sebenarnya aku bisa saja tidak datang terlambat kalau aku tidak menjemputmu, Mel.” Sakia menjelaskan. “Tapi, karena tadi sewaktu aku sedang dalam perjalanan kemari, Elisa meneleponku dan mengatakan kalau kamu belum datang, makanya aku sekalian saja mampir ke rumahmu untuk menjemputmu. Siapa tahu kamu ketiduran seperti kemarin dulu.”
   
“Oh, jadi tadi kamu memang tidak berniat menjemputku, Sas? Atau kamu menjemputku dengan terpaksa, ya? Begitu?” Aku jadi sedikit sewot.
   
“Siapa yang terpaksa? Aku melakukannya dengan ikhlas, kok.” Saskia sepertinya tidak rela aku tuduh seperti itu.
   
“Sudah, sudah. Amelia, Saskia.” Widia yang sedari tadi terdiam buru-buru angkat bicara karena melihat dan mendengar kami mulai berdebat. Seperti biasa, Widia yang di antara kami berempat memang paling bijaksana selalu menjadi penengah kami bila kami berselisih pendapat atau ketika gurauan kami terkesan kelewatan dan bisa memicu pertengkaran. “Kalian berdua ini, kalau bertemu, pasti ribut. Sekali-sekali kalian bisa tenang dan akur tidak, sih? Kita berkumpul di sini bukan untuk melihat atau mendengar pertengkaran kalian, tapi untuk saling bersilaturrahmi. Ingat itu.”
   
Aku dan Saskia saling berpandangan. Kemudian sama-sama tersenyum malu. Sebenarnya kami bukannya suka atau senang bertengkar kalau bertemu, melainkan itu sudah menjadi semacam kebiasaan kami bila bertemu. Ada saja hal yang menjadi bahan cemoohan atau ejekan. Kami berdua sama-sama tahu dan sadar, kalau kami melakukannya tidak serius alias bercanda, meskipun terkadang rasa sakit hati itu pastinya pernah ada. Namun begitu, kami berdua juga sama-sama bisa saling mengerti, memaklumi dan memaafkan.
   
Lagipula aku memang cenderung lebih akrab dan terbuka pada Saskia dibandingkan pada Elisa dan Widia. Hal itu mungkin disebabkan karena aku dan Saskia sudah saling mengenal dan berteman lebih dahulu daripada dengan Elisa dan Widia. Jadi, aku merasa lebih nyaman ‘bercanda atau bertengkar’ dengan Saskia daripada dengan Elisa dan Widia. Saskia juga sepertinya merasa demikian. Dia bisa lebih enjoy dan ekspresif padaku dibandingkan pada Widia dan Elisa. Meskipun demikian, kami berempat tetap kompak dan akur-akur saja selama ini. Bila pun ada kesalahpahaman, perbedaan pendapat atau percekcokan, kami selalu berusaha untuk menyelesaikannya secara baik-baik dan secepat mungkin.
   
“Nah, sekarang sebaiknya kalian segera memesan minuman dan cemilan. Biar kalian ada kerjaan lain, yaitu minum dan ngemil. Biar kalian tidak saling makan satu sama lain alias berantem.” Elisa memberikan saran ditambahi nasehat.
   
Akhirnya Saskia pun memanggil pelayan kedai teh itu untuk menyajikan secangkir teh dan semangkuk kecil cemilan berupa biskuit untuknya dan untukku.

***


Banyak sekali bahan obrolan yang kami perbincangkan sore ini apalagi karena sudah dua minggu kami tidak bertemu. Mulai dari soal pekerjaan, kegiatan selama dua minggu ini, bagaimana kabar pasangan-pasangan kami, sampai hal-hal yang sedang ramai dibicarakan orang-orang akhir-akhir ini, recent issues, istilah kami.
   
“Bagaimana persiapan pernikahanmu, Sas?” Widia bertanya pada Saskia.
   
“Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar, Wid. Kartu undangan sudah selesai disebarluaskan. Gedung resepsi pernikahan beserta catering-nya juga sudah beres dan siap pakai. Hanya tinggal mengepas gaun pengantinku sekali lagi di butik. Siapa tahu masih kekecilan atau malah terlalu kebesaran sekarang.” Sakia menjelaskan.
   
“Memangnya kamu tidak melakukan diet seperti yang aku sarankan, Sas?” tanya Elisa ingin tahu. Elisa memang punya kebiasaan diet – yang menurutku sangat ketat – yang diimbangi dengan olah raga yang teratur dan hasilnya memang tidak main-main alias luar biasa. Di antara kami berempat, Elisa memang tampak paling cling dan seksi. Badannya yang tinggi dan langsing memang sangat menawan dan sudah pasti itu menjadi salah satu nilai plus dan daya tariknya sebagai seorang wanita.
   
Kalau Saskia, dia memang memiliki badan yang boleh dikatakan ‘subur’, tapi aku lebih senang menyebutnya montok. Sedangkan aku dan Widia memang mempunyai bentuk tubuh yang biasa-biasa saja alias standar wanita Indonesia, tidak terlalu langsing dan juga tidak terlalu gemuk. Tapi, cukup menariklah.
   
“Aku memang mencoba program diet yang kamu anjurkan, Lis, tapi mungkin karena aku kurang disiplin sehingga aku merasa penampilanku tidak jauh beda dengan yang sebelumnya.” sahut Saskia sepertinya kurang percaya diri.
   
“Masa, sih?” Elisa tampak tidak percaya. “Tapi, aku lihat dietmu lumayan sukses, Sas. Buktinya kamu sekarang tampak lebih langsing dan segar. Wajahmu juga tampak lebih berseri-seri.”
   
“Ah, itu sih, karena dia akan menikah minggu depan. Jadi, wajahnya tampak ceria sekali. Kebahagiaan seorang calon pengantin. Iya, kan, Wid? Dulu waktu kamu mau menikah, kamu juga tampak sangat amat gembira, kan? Bahkan sejuta senyum selalu menghiasi bibirmu sampai-sampai aku heran apa bibirmu tidak kaku dan pegal karena terus-menerus tersenyum.” kataku seakan tidak mau mengakui bahwa Saskia memang kelihatan lebih ‘kurus’ sekarang. Pipinya juga sudah tidak kelihatan tembem lagi seperti biasanya.
   
“Memang, menjadi pengantin adalah kebahagiaan yang tak terhingga bagi seorang wanita, seperti aku dan Saskia. Jadi, wajar saja kalau Saskia tampak ceria. Tapi, aku setuju dengan pendapat Elisa. Sekarang Saskia kelihatan lebih seksi daripada yang sebelumnya.” ucap Widia.
   
“Sudahlah. Kalian berdua jangan terlalu memujiku. Jangan membuatku besar kepala dan melambung, nanti gaun pengantinku malah jadi tidak muat karena aku terlalu senang dikatakan seksi.” Saskia tersipu malu. “Dan kamu, Mel, bilang saja kalau kamu iri padaku karena sekarang aku lebih seksi darimu.”
   
“Aku iri padamu? Oh, tidak. Meskipun kamu sekarang sudah bisa langsing dan seksi, tapi kamu masih kalah sama Elisa. Percaya, deh, kamu tidak bakalan bisa selangsing dan seseksi Elisa sampai kapan pun.” Kata-kataku mungkin terdengar pedas sekali di telinga, tapi sebenarnya aku tidak sungguh-sungguh mengatakannya. Aku hanya ingin membalas ucapan Saskia tadi saja, yang sudah mengataiku pikun.
   
“Amelia?!” Elisa dan Widia langsung menghujaniku dengan tatapan mata yang tajam – mereka sepertinya tidak suka dengan ucapanku – sedangkan Saskia malah terlihat cuek bebek – dia sepertinya tidak tersinggung sama sekali dengan apa yang aku katakan. Malah dengan rileks, dia menyeruput tehnya.
   
“Jangan bicara seperti itu, Mel. Tidak baik.” Widia memperingatkanku.
   
“Biar saja, Wid. Nanti kalau aku sudah menikah, baru tahu rasa dia. Tidak akan ada yang bisa diolok-oloknya lagi seperti aku. Juga, tidak akan ada yang bisa membalas cemoohannya lagi. Pokoknya dia tidak akan bisa menemukan partner berdebat seperti aku, deh.” kata Saskia enteng, lalu memakan biskuitnya.
   
“Apa hubungannya kamu belum menikah atau sudah menikah dengan aku tidak bisa berdebat denganmu lagi? Memangnya kalau kamu sudah menikah, aku jadi tidak berani mengajakmu bertengkar karena kamu sudah punya suami? Oh, belum tentu, Sas. Kita lihat saja nanti.” Aku menantangnya. Aku memang tidak tahu apa hubungan antara belum menikah atau sudah menikah dengan bisa diajak bertengkar atau tidak. Memangnya apa hubungannya? Kalau mau berdebat, ya, berdebat saja. Kalau mau bertengkar, ya, bertengkar saja.
   
“Jangan begitu, Mel.” Kini Elisa yang mengingatkan. “Kalau nanti kamu tidak punya partner bertengkar seperti Saskia, kamu bakalan kesepian karena kehilangan, lho. Lihat saja nanti.”
   
“Kan masih ada kamu, Lis. Kamu kan bisa jadi partner berdebatku setelah Saskia. Kamu kan masih punya banyak waktu luang sehingga bisa aku ajak berdebat. Benar, kan?” Aku mengambil cangkir tehku, bermaksud meminumnya.
   
“Kalau aku, sudah pasti tidak akan bisa mengimbangimu, Mel. Aku juga pasti tidak akan bisa menang darimu. Lagipula, aku tidak suka berdebat apalagi bertengkar. Buang-buang energi dan hanya akan membuat orang cepat tua saja dan terus terang aku tidak mau itu.” Elisa menjelaskan. “Dan lagi, aku juga punya alasan lain. Insyallah akhir tahun ini aku juga akan menikah.”
   
Aku hampir tersedak minumanku mendengar ucapan Elisa.
   
“Oh, ya?” Saskia tampak surprise. “Selamat, ya, Lis.”
   
“Selamat, ya, Lis.” Widia ikut mengucapkan selamat pada Elisa. “Aku turut senang mendengarnya.”
   
“Apa?” Malah kata itu yang keluar dari mulutku.
   
Wajah Elisa sedikit merona. Ia tampak tersipu.
   
“Semalam Bramantio memintaku untuk menikah dengannya.” Elisa mulai bercerita. “Aku sendiri juga terkejut mendengarnya. Aku tidak menyangka dia akan mengajukan lamaran secepat ini mengingat hubungan kami baru berjalan delapan bulan. Meskipun tidak bisa aku pungkiri, kalau aku senang sekali mendengarnya. Ternyata dia memang benar-benar serius dengan hubungan kami.”
   
“Biasanya kalau seorang laki-laki sudah merasa cocok dan yakin dengan dirinya dan juga dengan diri pasangannya, dia tidak akan menunggu terlalu lama untuk bisa memiliki pasangannya itu seutuhnya yaitu dengan cara menikahinya. Ya, setidaknya itu menurutku.” Saskia mengutarakan pendapatnya.
   
“Menurut Bramantio juga begitu. Katanya dia sudah merasa cocok dan sreg denganku. Katanya dia juga merasa sudah yakin kalau aku adalah pasangan yang tepat baginya. Dan, aku juga merasa seperti itu. Aku merasa dialah pria yang tepat yang ingin aku jadikan teman hidupku kelak. Makanya, semalam meskipun aku agak terkejut dengan ajakannya, tapi aku langsung menyetujuinya. Lagipula, kedua orang tua kami juga sudah mengetahui hubungan kami dan mereka juga merestuinya. Jadi, kami merasa tidak ada masalah sehingga tidak ada salahnya kalau kami berencana untuk segera mewujudkan itikad baik itu. Lagipula, menikah itu ibadah, kan?”
   
Saskia dan Widia tampak mengangguk-angguk.
   
Sesaat suasana hening. Dan aku baru menyadari kalau mereka bertiga, Saskia, Elisa, dan Widia, sama-sama sedang memandang ke arahku yang tiba-tiba saja terdiam dan tidak ikut menimpali seperti yang sebelumnya.
   
“Kamu kok diam saja, Mel?”
   
“Kamu kenapa, Mel?”
   
“Kamu tidak punya bahan cemoohan lagi?”
   
Elisa, Widia, dan Saskia bergantian menanyaiku.
   
Aku yang ternyata masih memegangi cangkir tehku, segera meletakkan cangkir itu di tempatnya semula. Aku tersenyum. “Aku tidak apa-apa. Aku hanya sedang berpikir, kenapa kalian begitu cepat meraih kebahagiaan kalian masing-masing. Sedangkan aku? Kapan aku bisa meraih kebahagiaanku sendiri?”
   
“Kebahagiaan menikah, maksudmu, Mel?” tanya Elisa.
   
“Ya, begitulah.” Aku mengangguk pelan dan tampak tidak bersemangat. “Widia sudah menikah setengah tahun yang lalu. Saskia akan menikah minggu depan, dan kamu, Lis, kamu juga akan menikah akhir tahun ini.”
   
“Makanya apa aku bilang tadi, Mel,” timpal Saskia. “Cepat minta Ferian untuk melamarmu. Hubungan kalian kan sudah cukup lama. Sudah hampir tiga tahun, kan? Kalau dia tetap tidak segera melamarmu juga, bagaimana kalau kamu mengancamnya dengan mengatakan bahwa kamu akan mencari pria lain yang bersedia menikahimu? Kalau dia benar-benar serius, dia pasti akan menuruti keinginanmu karena dia takut kehilanganmu.”
   
“Aku rasa itu bukan ide yang baik, Sas.” Widia memperingatkan Saskia. “Menurutku, sebaiknya bila seseorang ingin menikah, maka niat itu haruslah timbul dari hati seseorang itu. Bagaimana coba, rasanya menikah karena terpaksa atau dipaksa? Pasti tidak enak dan tidak nyaman, kan? Maaf, Mel, aku tidak bermaksud mengatakan kalau Ferian akan dan mau menikah denganmu karena terpaksa atau kamu yang memaksanya. Aku hanya memberikan perumpamaan saja.”
   
“Aku tahu, Wid.” Aku mencoba tersenyum. “Lagipula, aku memang tidak pernah berniat memaksa Ferian untuk menikahiku. Kalau aku berharap dia mau menikahiku, itu memang benar. Bagiku, kalau dia memang serius dan mencintaiku dengan tulus, cepat atau lambat dia pasti akan memintaku menikah dengannya dan mengajukan lamarannya pada keluargaku.” Aku berkata dengan suara yang sedikit parau karena tiba-tiba dadaku terasa sesak.
   
Saskia, Elisa, dan Widia masih memandangiku dengan penuh perhatian.

“Mungkin Ferian belum merasa siap dan yakin padaku seperti halnya aku yang sudah merasa siap dan yakin padanya. Mungkin aku saja yang harus lebih bersabar. Kalau Ferian memang jodohku, aku rasa dia tidak akan pergi kemana-mana. Benar, kan?” Mendadak aku jadi sedih sendiri.

Saskia menyentuh bahuku. “Maafkan aku, ya, Mel, sebenarnya aku tadi juga tidak bersungguh-sungguh menyuruhmu mengancam Ferian untuk menikahimu.” katanya meminta maaf. “Sebenarnya aku hanya merasa sedikit heran dengan Ferian. Dia sudah bekerja dan punya penghasilan. Dia sudah mapan. Usianya juga sudah cukup berumur. Tapi, kenapa dia belum juga mau menikah, ya? Apa hanya karena dia belum siap? Masa, sih?”
   
“Mungkin saja.” Elisa mencoba mengutarakan pendapatnya. “Meskipun secara materi dia sudah mampu untuk menikah, mungkin secara mental dia belum siap untuk membina rumah tangga. Menikah memang soal yang gampang-gampang susah. Kalau hanya menikah saja, mungkin itu hal yang mudah, tapi kalau menjalani kehidupan berumah tangga, mungkin itu hal yang sulit. Bagaimana menurutmu, Wid? Kamu pastinya sudah lebih berpengalaman dari kami, kan?”
   
Widia tersenyum arif. “Aku rasa ucapan Elisa memang ada benarnya. Bila kita sudah berani memutuskan untuk menikah, itu berarti kita juga harus berani menghadapi segala sesuatu yang berhubungan dengan perihal berumah tangga, seperti hak dan kewajiban suami-istri. Tidak hanya pertanggungjawaban suami-istri terhadap diri masing-masing pasangannya, tapi juga keluarganya dan bahkan lingkungannya. Tapi juga pertanggungjawaban suami-istri terhadap Tuhan. Itu pendapatku, lho. Dan satu lagi, Tuhan pasti punya rencana lan di balik semua yang terjadi pada diri kita.”
   
“Aku rasa kamu benar, Wid. Aku sependapat.” Elisa setuju. “Pokoknya, Mel, suatu hari nanti kebahagiaan menikah pasti akan datang juga padamu. Dan aku akan selalu mendoakanmu.”
   
“Iya, Mel.” Saskia ikut bicara. “Kamu tenang saja, aku tidak mungkin serius mendoakanmu biar jadi perawan tua atau jadi nenek-nenek sebelum menikah. Tapi, aku akan berdoa semoga kamu bisa cepat menikah seperti aku dan juga Elisa.”
   
“Terima kasih.” Aku merasa terharu. “Dan menurutku, kamu tidak perlu mengatakan perawan tua atau nenek-nenek padaku, Sas. Itu hanya membuatku merinding bila mendengarnya.”
   
Saskia tertawa. Elisa dan Widia hanya tersenyum kecil saja.
   
“Oh, ya, kalau tadi Elisa sudah menyampaikan kabar bahagia tentang rencana pernikahannya, aku juga ingin menyampaikan kabar gembira pada kalian bertiga.” Widia tampak serius. Dia memandang kami bertiga dengan wajah yang berseri-seri.
   
Aku, Saskia, dan Elisa menanti kelanjutan ucapannya dengan penasaran. Aku sendiri merasakan dadaku berdebar-debar.
   
“Saat ini aku sedang hamil. Sudah lima minggu.” Akhirnya kabar gembira itu pun kami dengar dari mulut Widia. Meskipun Widia dan Surya baru menikah setengah tahun yang lalu, tapi mereka ingin sekali bisa secepatnya diberi buah kasih cinta mereka alias momongan. Dan rupanya Tuhan mendengar doa mereka dan juga doa kami sebagai teman-temannya.
   
“Wah, selamat, ya, Wid.” Kami bertiga hampir berbarengan mengucapkan selamat pada Widia atas kehamilannya itu.
   
“Terima kasih.” Widia tampak senang sekali.
   
“Jadi, sebentar lagi kita bakalan jadi Tante, nih.” kata Saskia.
   
“Selamat sore, Tante Elisa, Tante Saskia, dan Tante Amelia. Apa Tante-tante ini mau minum teh?” sambung Elisa dengan suara yang dibuat cedal seperti suara anak kecil yang baru belajar bicara.
   
“Wah, mau sekali. Apalagi minum teh sambil makan biskuit.” Aku membalasnya.
   
Widia tergelak. “Kalian ada-ada saja.”

Aku, Sakia, dan Elisa juga ikut tertawa.

“Eh, Sas, nanti kalau kamu sudah resmi menikah, kamu juga harus cepat-cepat punya anak, ya? Biar anaknya Widia punya teman bermain.” ujar Elisa tiba-tiba membuat tawa kami terhenti.
   
“Kamu juga, Lis, jangan mau kalah sama Widia dan Saskia, ya? Kamu harus cepat-cepat punya anak juga begitu kamu menikah nanti. Biar kalau anaknya Widia dan anaknya Saskia berantem, anakmu bisa jadi penengahnya.” kataku menyemangati Elisa.

“Jadi, dalam waktu satu tahun ke depan, Amelia langsung bisa punya tiga keponakan sekaligus. Begitu? Apa kamu tidak akan kerepotan, Mel?” ujar Widia bertanya padaku.
   
“Mungkin saja akan merepotkan, tapi pasti juga akan menyenangkan.” jawabku tulus.

Pertemuan dan perbincangan kami sore ini memang terasa penuh kehangatan dan sangat menyenangkan. Apalagi dengan adanya kabar-kabar gembira yang disampaikan Elisa dan Widia. Tapi, aku tetap merasa masih ada yang kurang lengkap. Yaitu, kapan giliranku menyampaikan kabar gembira pada ketiga sahabatku? Kabar tentang pernikahanku dengan Ferian, misalnya?


4 komentar:

  1. salam kenal ^^
    sama-sama dari jogja ternyata...

    saya juga suka nulis tapi termasuk jarang yang dimuat di media =))

    ijin follow blognya mbak maharani yaa... ^^

    BalasHapus
  2. Salam kenal kembali ^^

    Saya tinggal di Yogya.
    Suka menulis juga? Semoga secepatnya tulisannya bisa dimuat. Tetap semangat ya :-)

    Silakan mem-follow saya dan saya juga minta ijin mem-follow mbak Putri, ya ^^

    BalasHapus
  3. maaf ya Maharani..sebelumnya salam kenal.:) sedikit kritik ya..sebenarnya cerbungmu bagus,tapi alur nya trlalu lama utk satu kejadian... Jadinya kurang greget... Org trlanjur bosan mbaca nya sebelum mengetahui inti ceritanya... Maaf ya hanya sekedar memberi masukan..salam kenal.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga :)
      Terima kasih atas masukannya. Semoga di lain kesempatan saya bisa menulis cerita yang lebih menarik lagi. Ditunggu komentarnya di tulisan-tulisan saya yang lain, ya.

      Hapus