Minggu, 28 November 2010

Obrolan? atau Curhat?

Hello,

Tak terasa sudah 10 cerpenku yang aku publish di blog ini. 10 cerpen yang sebagian besar lupa kapan aku tulis karena memang sudah lama. Dari 10 cerpen tersebut, manakah yang paling kalian suka? Kenapa?

1. Maafkan Aku Bila Mencintaimu
2. Mawar Merah Buat Sandra
3. Seperti Elang
4. Semua Karena Cinta
5. Bila Cinta Telah Memilih
6. Balada Cinta Julia
7. Bukan Cinta Sesaat
8. Hatiku Bukan Pualam
9. Nabila's Diary Of Broken Hearted
10. Indah Pada Waktunya

Kalau aku, paling suka dengan cerpen Indah Pada Waktunya. Seperti yang pernah aku katakan, everything has its time atau setiap hal ada saatnya. Dan setiap hal itu akan terasa indah bila waktunya sudah tiba. Benar, tidak?

Seperti misalnya, cerpen-cerpenku yang akhirnya bisa dimuat setelah berapa lama. Rasanya benar-benar menyenangkan saat membaca namaku dan tulisanku muncul di halaman majalah atau koran meskipun aku perlu menunggu sekian waktu untuk melihatnya.

Maunya sih, begitu dikirim, tidak lama kemudian tulisanku bisa dimuat. Tapi, kenyataannya tidak demikian. Aku perlu menunggu lama atau malah lebih sering tidak bisa dimuat karena sesuatu dan banyak hal. Padahal menurutku, tulisanku sudah bagus atau minimal layak muat, tapi kenyataannya tidak demikian menurut para redaktur.

Sabtu, 20 November 2010

Indah Pada Waktunya

Catatan:
-Aku memilih judul “Indah Pada Waktunya” karena apapun itu pasti akan terasa indah bila sudah tiba pada waktunya. Everything has its time, right?
-Cerpen ini aku tulis tahun 2009.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis:  
Sudah jatuh tertimpa tangga pula, begitulah kira-kira ungkapan yang tepat untuk menggambarkan apa yang sedang dialami Indah. Di-PHK dari tempatnya bekerja, diputus oleh kekasihnya, Adrian, tidak bisa mengikuti wawancara kerja karena surat undangannya menghilang, tidak lolos seleksi kerja, dan lembaran draft novel yang sedang ditulisnya juga raib. Peristiwa itu beruntun menimpa Indah. Namun, keberuntungan akhirnya berkenan menghampirinya bersamaan dengan kedatangan Adrian suatu hari.

Maharani Menulis:


INDAH PADA WAKTUNYA



Dalam hal mencari pekerjaan, Indah, meski sudah berbekal selembar ijazah berlabel sarjana strata satu dengan predikat cum laude, beberapa sertifikat prestasi, sertifikat keterampilan komputer, dan juga sertifikat kecakapan berbicara dalam bahasa Inggris lisan dan tulisan, ternyata belum membuatnya mampu menaklukkan dunia kerja—padahal ia juga tidak pilih-pilih pekerjaan. Kalau pun ia bisa sampai ikut dalam tahap-tahap tes kualifikasi sebagaimana mestinya, tapi akhirnya selalu tidak lolos alias gagal. Sehingga selama enam bulan pasca lulus ia pun harus berbesar hati menikmati suramnya dunia pengangguran.

Barulah pada bulan ketujuh Indah mendapatkan pekerjaan pertamanya, sebagai assistant manager di sebuah perusahaan asuransi. Tapi, ternyata ia hanya mampu bertahan tiga bulan training saja dan akhirnya resign. Alasannya adalah ketidakcocokan. Ternyata setelah menjalani pekerjaannya, ia merasa tidak bisa mengikuti pola kerja perusahaan. Mungkin alasan itu kedengarannya klise atau terkesan dibuat-buat. Tapi bila kita sudah merasa tidak nyaman atau kurang enjoy dalam bekerja, bukankah kita hanya akan bekerja dengan setengah hati saja? Dan bila kita tidak bekerja dengan sepenuh hati, bukankah hasilnya juga tidak bagus?

Selang dua bulan kemudian, Indah mendapatkan pekerjaan lagi. Kali ini sebagai administration staff di sebuah perusahaan elektronika. Dibandingkan pekerjaannya yang sebelumnya, posisinya kali ini memang lebih rendah. Gajinya pun lebih kecil. Tapi, ia tetap mensyukurinya. Ia terima pekerjaan itu dengan suka cita dan menjalaninya dengan senang hati. Tapi sayang, pada bulan ketiga belas, ia malah menerima surat PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karena perusahaan mengharuskan adanya pengurangan karyawan.

Dalam urusan mencari pasangan pun Indah bisa dikatakan cukup sulit mendapatkannya. Ia baru menemukan Mr. Right di saat usianya menginjak dua puluh enam tahun. Padahal selama enam tahun terakhir ada beberapa pria yang dekat dengannya, tapi tak satupun dari mereka yang statusnya lebih dari sekedar teman baginya. Baru setelah ia bertemu Adrian, Indah merasa he is the one. Mungkin karena Adrian orangnya kalem dan tidak neko-neko sehingga Indah jatuh hati padanya dan ingin menjalin kasih dengannya—dan bahagianya, Adrian juga merasakan hal yang sama.

Namun sayangnya, percintaan mereka yang adem ayem itu ternyata harus berakhir dengan tidak bahagia. Karena keegoisan orang tua—begitu Indah menyebutnya—jalinan kasih mereka yang baru berusia enam bulan itu pun terpaksa terputus. Sebenarnya Adrian tidak ingin mengakhiri hubungan mereka, tapi ia pun tak kuasa menolak keinginan orang tuanya yang menginginkannya menikah dengan Icha, wanita pilihan mereka. Indah pun sebenarnya masih ingin mempertahankan hubungan mereka, tapi ia juga tidak mau hubungan Adrian dan orang tuanya jadi tidak harmonis karena keinginannya. Maka, akhirnya Adrian terpaksa menuruti permintaan orang tuanya dan Indah pun dipaksa menerima PHK alias Pemutusan Hubungan Kekasih dari Adrian.

***


Nabila's Diary Of Broken Hearted

Catatan:
-Cerpen ini aku tulis sekitar tahun 2006.
-Hehehe. Lagi-lagi cerpen ini terinspirasi oleh kisahku *malu*. Tapi, plot dan karakternya sudah diubah sedemikian rupa sehingga cukup layak dibaca oleh publik. Aku tidak bermaksud untuk menyudutkan siapapun apalagi mencemarkan nama baik karakter-karakater yang menginspirasiku menulis cerpen ini. Yang aku tulis hanyalah fiksi, meskipun inspirasinya dari kisah nyata. Hehehe.
-Cerpen ini terkesan cengeng? Well, I just wrote what I may felt. He's my first boyfriend and that was my first broken hearted experience. What else I could say? I was like broken hearted girl who mourning over her first love life ending. But now that girl can only laugh it loud. Love may end, but life must go on. Hahaha. Wish someday true love and good life will come to me.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis: 
Dengan alasan klise hubungan sepasang kekasih harus berakhir. Herlambang dijodohkan dengan orang lain oleh kedua orang tuanya. Nabila benar-benar tak habis pikir. Kenapa kedua orang tua Herlambang yang tahu tentang hubungan mereka dan sepertinya tidak keberatan bisa membuat keputusan seperti itu? Kenapa Herlambang lebih memilih menerima keputusan kedua orang tuanya dan memutuskan hubungan mereka yang sudah terjalin selama lima tahun? Nabila mengenang semua itu lewat diary-nya.

Maharani Menulis:



NABILA'S DIARY OF BROKEN HEARTED



Nobody wants to be lonely
Nobody wants to cry
My body’s longing to hold you
So bad it hurts inside
Time is precious then it’s slipping away
And I’ve been waiting for you all of my life
Nobody wants to be lonely
So, why don’t you let me love you?
(Nobody Wants To Be Lonely—Ricky Martin & Christina Aguilera)



28 November 2006, pukul 22.10 WIB

Suara merdu milik si macho Ricky Martin dan si seksi Christina Aguilera yang mengalun melalui program winamp di notebook-nya malah membuat batin Nabila semakin nelangsa. Bagaimana tidak? Nobody wants to be lonely, but she is now. Nobody wants to cry, but she does now. My body’s longing to hold you. Yes, her body does. So bad it hurts inside. Yes, it is. Time is precious then it’s slipping away. Yes, it is. And I’ve been waiting for you all of my life. Yes, she has been. Nobody wants to be lonely, but she is now. So, why don’t you let me love you? Exactly, why can’t we be together?

Nabila. Sambil memandangi form blank document di layar notebook-nya, air matanya mulai mengalir. Membasahi kedua pipinya yang putih. Membentuk sepasang aliran anak sungai di wajahnya. Dan sedetik kemudian isak tangisnya pun terdengar meningkahi alunan lagu sendu itu. Nabila menangis. Bukan tanpa alasan. Air matanya tumpah. Bukan tanpa sebab. Itu semua karena Herlambang. Karena rasa cintanya pada lelaki itu.

Herlambang. Lelaki yang sudah menjadi kekasihnya selama lima tahun ini. Lelaki yang sudah menjadi bagian dalam hidupnya selama lima tahun ini. Sekaligus juga lelaki yang telah menjadi mantan kekasihnya sejak lima jam yang lalu. Sekaligus juga lelaki yang telah memutuskan untuk tidak lagi jadi bagian dalam hidupnya sejak lima jam yang lalu.

28 November 2006, pukul 16.00 WIB

Seperti hari-hari sebelumnya. Seperti hari-hari biasanya. Hari ini pun selepas kerja Nabila dijemput pulang oleh Herlambang. Meskipun mereka tidak bekerja di kantor yang sama—Nabila bekerja di sebuah biro perjalanan wisata, sedangkan Herlambang bekerja di sebuah perusahaan properti—tapi karena tujuan tempat kerja mereka sejalan dan jadwal kerja mereka yang hampir bersamaan, jadi hampir setiap hari mereka selalu berangkat dan pulang kerja bersama-sama dan itu secara otomatis sudah menjadi kebiasaan mereka selama hampir dua tahun ini.

Seperti hari-hari sebelumnya. Seperti hari-hari biasanya. Hari ini pun Herlambang tidak menunjukkan sikap yang berbeda. Ia tetap terlihat tenang dan wajar. Tidak ada gelagat atau gerak-geriknya yang memancing kecurigaan akan adanya sesuatu yang tidak beres. Tidak ada tanda-tanda yang mengindikasikan bahwa akan terjadi sesuatu. Semuanya tampak biasa-biasa saja sampai akhirnya Nabila menyadari suara Herlambang terdengar sedikit bergetar ketika mereka berbincang-bincang di teras rumah Nabila.


Senin, 15 November 2010

Hatiku Bukan Pualam

Catatan:
-Judulnya terkesan puitis. Tapi, bukankah demikian adanya sebuah hati? Hati adalah perasaan yang bisa merasakan semua hal yang terjadi pada diri seseorang. Sedangkan pualam adalah sejenis batu yang merupakan benda mati dan tidak bisa merasakan apapun. Hehehe. Semoga sok puitis-ku masih bisa diterima.
-Aku tidak ingat kapan cerpen ini kutulis.
-Cerpen ini mengalamai berkali-kali revisi sampai akhirnya aku merasa cukup puas dengan hasilnya yang seperti ini.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis:
Arel dan Rico adalah sepasang kekasih. Kalau Rico bisa pergi dengan cewek lain, Arel pun bisa pergi dengan cowok lain. Kasih, begitu pikir Arel. Namun, ketika Arel pergi dengan Deni, Rico marah besar. Mereka lagi-lagi berdebat. Arel yang sudah lelah menghadapi sikap Rico akhirnya berinisiatif mengambil keputusan yang sebenarnya berat dilakukannya.



Maharani Menulis:



HATIKU BUKAN PUALAM


“Kamu serius mau pergi dengan Deni, Rel?” tanya Vina setelah merebahkan tubuhnya di kasur Arel yang empuk.

Arel yang sedang menyisir rambutnya menoleh ke arah teman satu kosnya itu sekilas. “Seriuslah,” jawabnya. “Apa kamu tidak melihat aku sedang bersiap-siap?”

“Tapi, Rel,” Vina ingin protes, tapi ragu-ragu.

“Tapi, apa, Vi? Kamu keberatan?” tanya Arel sambil memoleskan lipstik di bibirnya tipis-tipis.

“Hah? Aku keberatan? Yang benar saja,” Vina tidak terima.

“Ya, siapa tahu kamu diam-diam naksir Deni. Jadi, wajar saja kan kamu keberatan kalau aku pergi dengannya?”

“Aurelita, sayang,” Vina memandang sahabatnya yang kini tampak sedang mematut-matut dirinya di depan cermin. “Aku hanya khawatir,”

“Khawatir kalau aku akan jatuh cinta padanya?” sela Arel. “Oh, tenang saja, Vina sayang. Aku akan menjaga perasaanku dengan sebaik-baiknya agar tidak jatuh cinta padanya. Tapi, aku tidak bisa menjamin kalau Deni tidak akan jatuh cinta padaku, ya?”

“Bukan itu. Aku tahu kamu bukan tipe cewek yang mudah jatuh cinta. Tapi kalau Deni, aku tidak tahu. Ini soal Rico,” Vina tiba-tiba seraya memandang serius ke arah Vina yang sedang memeriksa tas tangannya. “Aku khawatir soal kekasihmu itu. Kalau dia tahu kamu pergi dengan Deni, kira-kira bagaimana reaksinya, ya? Dia pasti akan menghajar Deni dan mungkin saja akan marah padamu,”

Arel membalas tatapan Vina. “Kalau dia akan menghajar Deni, aku bisa memakluminya. Tapi, kalau dia marah padaku, rasanya itu tidak adil. Aku saja tidak pernah marah bila dia pergi dengan cewek lain. Jadi, kenapa dia mesti marah kalau aku pergi dengan cowok lain?” Dia saja bisa pergi dengan cewek lain, kenapa aku tidak bisa?”

Vina melongo mendengar perkataan Arel. Sementara Arel tersenyum manis padanya.

“Sudah ya, aku pergi dulu,” Arel melihat arloji di tangan kanannya. “Sebentar lagi Rico datang. Aku tidak mau membuatnya terlalu lama menunggu. See you,”

Vina tersenyum lagi. “Take care,”

Arel mengangguk. Lalu pergi meninggalkan kamarnya.

***

Bukan Cinta Sesaat

Catatan:
-Judulnya lagi-lagi klise. Bila sedang mengantuk judulnya bisa-bisa dibaca “bukan cinta sesat”, hahahaha.
-Aku tidak ingat kapan cerpen ini kutulis.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis:  
Alvin meminta Adinda berpura-pura menjadi kekasihnya di hadapan Eyang Rosma karena ia tak mau eyangnya menjodohkannya dengan cewek pilihannya. Sementara Adinda bersedia menjalankan perannya demi persahabatan mereka. Namun, siapa sangka kalau kepiawaian Adinda dalam menjalani perannya membuat Alvin menyadari satu hal yang selama ini tidak pernah terpikirkan olehnya.

Maharani Menulis:


BUKAN CINTA SESAAT



“Halo,” Adinda menjawab dering ponselnya dengan malas-malasan sambil tetap berbaring di kasurnya yang empuk. Matanya masih terasa berat untuk dibuka.

Good morning, girlfriend.” Terdengar sapaan dari seberang.

“Alvin,” Adinda langsung bisa menebak siapa gerangan yang sudah berani mengganggu tidurnya. “Kalau mau curhat, nanti siang saja, deh. Aku masih ngantuk, nih.” Adinda menguap.

“Adinda, sayang,” suara Alvin terdengar begitu lembut. “Pagi ini kita kan harus menjemput Eyang Rosma di stasiun. So, get up, honey."

What?” Adinda sampai memekik karena kaget. Matanya pun langsung melebar. Seketika itu juga dia bangun dari posisi tidurnya untuk duduk. Lalu cepat-cepat memanggil memorinya dan mencoba mengingat-ingat. Namun, hasilnya nihil. Seingatnya Alvin tidak pernah atau belum pernah mengatakan kalau Eyang Rosma, eyang putri Alvin yang tinggal di Jakarta, akan datang ke Yogyakarta pagi ini.

“Bukannya—bukannya kamu bilang kalau beliau baru akan datang besok pagi, Al?” tanya Adinda kemudian antara gugup dan ragu-ragu.

Sorry, honey, semalam aku lupa memberitahumu kalau kedatangan eyang Rosma dipercepat satu hari.” Lalu terdengar tawa kecil Alvin. Adinda buru-buru menjauhkan ponselnya dari telinganya.

Adinda tertegun sejenak. Dia tidak menyangka kalau dirinya akan menjadi ‘aktris’ satu hari lebih cepat dari waktu yang seharusnya.

“Halo, Dinda? Kamu masih di situ?”

“Hm…”

“Can I pick you up in twenty minutes?”

“Okay, Adinda pasrah.

***


Balada Cinta Julia

Catatan:
-Cerpen ini aku tulis sekitar tahun 2001 -- kalau ingatanku tidak salah, hehehe.
-Cerpen ini tidak bermaksud untuk menyudutkan siapapun meskipun ceritanya terinspirasi oleh kisah seorang teman bernama Vinsensia Julia.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis: 
Flashback. Tiba-tiba menemukan kembali gelang rotan berinisial JJ membuat Julia terkenang akan Joey, laki-laki yang pernah menjadi kekasihnya. Joey memberikan gelang itu padanya saat mereka jadian. Tapi sayang, kisah cinta mereka yang berawal manis, harus berakhir pahit karena kehadiran Dewi yang ternyata masih berstatus kekasih Joey dan bukan mantan kekasih seperti yang disangka Julia selama ini.

Maharani Menulis:


BALADA CINTA JULIA



Aku baru saja hendak memungut pulpenku yang terjatuh di lantai ketika pandangan mataku membentur sebuah benda kecil yang tergeletak di belakang kaki meja belajarku. Sebuah gelang rotan. Perlahan tanganku terulur meraih benda mungil itu. Hatiku bergetar. Kupandangi gelang itu lekat-lekat. Kuusapkan jemariku untuk membersihkan debu yang menempel pada gelang itu. Ah, aku jadi tersenyum sendiri. Kulihat dua buah huruf kembar terukir di bagian dalam gelang itu. JJ. Hatiku semakin bergetar.

“JJ,” Aku mengeja dua huruf yang terukir di gelang itu.

“Joey dan Julia,” Aku tersenyum lagi.

Lalu ingatanku pun kembali pada peristiwa beberapa bulan yang lalu saat aku bertemu dengan Joey untuk pertama kalinya.

***


“Joey, ini Julia. Julia, ini Joey,” Sinta, sahabatku, mengenalkan kami.

Kami bersalaman. Aku dan Joey. Saling tersenyum dan menatap.

“Nah, bagaimana kalau kita lanjutkan ngobrolnya di kafe saja? Sekalian makan siang. Oke, Joey?" 

Kulihat Joey mengangguk.

“Setuju, Julia?”

Aku tidak menjawab, masih memandangi Joey.

“Julia,” Sinta menyenggol lenganku.

“Ya?” Aku terkesiap. Duh! Kenapa aku jadi gugup begini? Karena Joey?

Lalu kami bertiga pergi ke kafe untuk makan siang. Sambil menikmati makan siang, kami pun melanjutkan obrolan. Sebenarnya yang mengobrol adalah Joey dan Sinta. Sinta yang sudah kenal cukup lama dengan Joey di tempat kursus bahasa Inggris, tentu saja terlihat akrab dengan Joey. Sedangkan aku, yang baru saja kenal dengan Joey—yang memang rada susah mengobrol dengan orang baru—cenderung tidak banyak bicara. Kalau Sinta atau Joey tidak melibatkanku dalam pembicaraan mereka, aku pun akan diam saja. Dan Joey yang agaknya menyadarinya, malah menggodaku.

“Kok diam saja, Julia? Lagi sariawan, ya?” candanya.

“Tidak,” jawabku singkat.

“Atau lagi memikirkan sang pujaan hati?” selidiknya.

“Tidak juga,” Aku spontan menggeleng.

“Julia ini masih single, Joey,” timpal Sinta cepat. “She is single and available.”

Are you really?” Joey menatapku penuh arti, tapi sayangnya aku tidak tahu apa arti tatapannya itu. Tapi, yang pasti hatiku bergetar karenanya. Ada apa ini? Hatiku sibuk bertanya-tanya.

***

Bila Cinta Telah Memilih

Catatan:
-Judulnya terlalu klise, but i had no choice that time. Hahaha.
-Aku tidak ingat kapan tepatnya cerpen ini kutulis.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.


Sinopsis:
Kenyataan bahwa Gilang, kekasihnya, adalah tunangan Marisa, baru diketahui Yolanda saat mereka bertiga tanpa sengaja bertemu di supermarket. Yolanda pun meminta putus, tapi Gilang menolaknya. Kepada Yolanda Gilang menceritakan hal yang sebenarnya tentang pertunangannya dengan Marisa. Di lain pihak, Marisa juga punya sesuatu yang ingin dikatakannya pada Gilang sehubungan dengan pertunangan mereka.


Maharani Menulis:


BILA CINTA TELAH MEMILIH


“Marisa,”

“Yolanda,”

Kedua cewek itu saling berjabatan tangan dan berkenalan.

“Maaf, tadi aku tidak melihatmu,” ujar Marisa sambil menyerahkan barang belanjaan Yolanda yang terjatuh ketika dia tanpa sengaja menabrak lengannya.

“Tidak apa-apa,” Yolanda tersenyum menerima barang belanjaannya. “Terima kasih.”

“Sendirian saja?” tanya Marisa tampak akrab.

“Ya,” Yolanda mengangguk lalu memeriksa keranjang belanjaannya.

“Kau sudah selesai, Marisa?” Seorang laki-laki muda datang menghampiri Marisa.

Marisa menoleh dan tersenyum padanya, “Iya, sayang,” sahutnya lalu memeluk lengan cowok itu. “Oh, ya, mari, kuperkenalkan kau dengan teman baruku,” katanya kemudian. Tepat di saat itu Yolanda mengangkat wajahnya dan memandang ke arah mereka. ”Perkenalkan, ini tunanganku.” Marisa melanjutkan ucapannya dengan mantap.

“Gilang?!” Yolanda terkejut sejenak melihat siapa gerangan cowok yang berada di samping Marisa. Namun begitu, dia cepat-cepat menarik sudut bibirnya dan tersenyum meski dengan perasaan yang tiba-tiba terasa aneh. Tunangan Marisa adalah Gilang?

“Yolanda?!!” Gilang tak kalah terkejutnya ketika pandangan matanya bertemu dengan tatapan Yolanda. “Hai, apa kabar, Yo..landa?” Sapaan Gilang terdengar terbata-bata karena gugup. Cowok itu tampak berusaha keras untuk terlihat tenang, tapi sepertinya gagal.

“Kalian saling kenal?” Marisa tampak bingung. Dipandangnya Gilang dan Yolanda bergantian.

“Iya,” Yolanda yang menjawab. “Kami teman satu kampus,”

“Oh, ya?” Marisa tampak surprise. Masih memeluk lengan Gilang, ia kembali memandangi Gilang dan Yolanda bergantian. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya melihat apa yang sedang terjadi di hadapannya.

Marisa memandang Gilang. Gilang memandang Yolanda. Yolanda memandang Marisa.
    
***

“Yolanda, please! Dengarkan dulu penjelasanku,” Gilang menghadang langkah Yolanda. Mau tak mau Yolanda berhenti meskipun dengan berat hati.

“Ada apa lagi, Lang?” tanya Yolanda mencoba menguasai gejolak hatinya. “Bukankah semuanya sudah jelas? Hubungan kita sudah berakhir,”

“Yolanda?” Gilang menyentuh wajah Yolanda. Cewek itu memalingkan wajahnya, tapi Gilang meraihnya kembali.

“Dengar, Lang,”

“Kamu yang harus dengarkan aku,”

“Hubungan kita sudah berakhir,”

“Itu keputusan sepihak darimu, bukan keputusan kita,”

Yolanda hanya mendesah.

“Aku...masih…mencintaimu!” Gilang menekankan kalimatnya kata per kata. “Aku masih mencintaimu, Yoli.”

Hati Yolanda berdesir halus saat Gilang memanggilnya dengan panggilan sayang itu. Yoli.

Yolanda menatap Gilang yang juga tengah menatapnya.

“Tidak, Lang. Kamu sudah punya tunangan. Kamu sudah punya Marisa. Jadi, tidak mungkin kita terus berhubungan, Lang. Hubungan kita mesti berakhir, Lang,” Yolanda menurunkan tangan Gilang yang masih menyentuh wajahnya.     

“Yoli?” Kali ini Gilang mengusap rambut Yolanda. Dada Yolanda makin berdebar-debar. Panggilan sayang itu benar-benar membuatnya tidak berdaya.

“Tidak mungkin, Lang. Aku tidak bisa.” Yolanda memalingkan wajahnya lagi.
   
“Aku tahu kamu juga masih mencintaiku,” ujar Gilang yakin. Disentuhnya pipi Yolanda lembut. “Iya, kan?” Gilang menatapnya lagi.    

Semua Karena Cinta

Catatan:
-Judulnya klise dan ceritanya mungkin juga biasa, tapi aku suka dengan cerpen ini. Hehehe.
-Aku lupa kapan persisnya cerpen ini kutulis. 
-Cerpen ini mengalamai berkali-kali revisi sampai akhirnya aku merasa cukup puas dengan hasilnya yang seperti ini.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis:
Sejak Rey mengalami kecelakaan yang membuatnya kehilangan kekasihnya, Astrid, untuk selamanya dan terpaksa menggunakan kursi roda untuk berjalan, Farah selalu menemaninya. Di mata mama Rey semua kebaikan Farah adalah wujud rasa cinta Farah pada Rey. Tapi, Rey malah tidak mau tahu. Ketika tiba-tiba Farah tidak pernah datang lagi, barulah Rey tersadar ada yang sesuatu yang hilang. Meskipun ia belum tahu pasti apakah yang dirasakannya sama dengan yang dirasakan Farah terhadapnya, akhirnya Rey memutuskan untuk menemui Farah. 



Maharani Menulis:


SEMUA KARENA CINTA



Dengan langkah perlahan Farah mendorong kursi roda yang diduduki Rey. Saat itu mereka sedang berjalan-jalan di taman kota.

“Kita istirahat dulu, Rey,” usul Farah.

“Baiklah,” Rey mengangguk tanda setuju.

Farah memilih tempat duduk yang teduh di bawah naungan dua pohon besar nan rindang. “Kamu sering kemari, Rey?” tanyanya setelah duduk di sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu. Sementara Rey tentu saja tetap duduk di kursi rodanya, menghadap padanya.

“Begitulah,” sahut Rey “tapi setelah kecelakaan itu, baru sekarang aku mengunjungi tempat ini lagi. Kamu tahu sendiri, kan, sejak aku memakai kursi roda, aku hampir-hampir tidak bisa pergi sendirian. Untung ada kamu yang selalu menemaniku.” Rey tersenyum menatapnya. “Terima kasih, Farah.”

“Ah, sudahlah. Jangan terlalu dibesar-besarkan nanti bisa-bisa kepalaku tambah besar.” Farah agak tersipu, mengusap rambut ikalnya yang tertiup angin.

”Farah,” Rey masih menatapnya.

“Ya,” Farah balas memandangnya, tersenyum.

“Kamu tidak keberatan kan pergi denganku? Maksudku, kamu tidak malu kan jalan-jalan dengan cowok cacat sepertiku?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Rey. Ada nada getir di sana.

“Rey,” Farah masih tersenyum—sedikit tidak enak hati mendengar pertanyaan itu. “Kenapa aku mesti keberatan apalagi malu bila bersamamu? Jangan tidak percaya diri begitu, dong.” Farah masih memandangnya. “Kamu sama, kok, seperti yang lain. Kamu punya dua mata, dua telinga, satu hidung, satu mulut, dua tangan juga dua kaki. Sama seperti yang lain. Hanya bedanya mereka bisa berjalan dengan kaki mereka sendiri, sedangkan kamu masih harus menggunakan kursi roda. Tapi aku yakin, kok, tidak lama lagi kamu akan seperti mereka. Bisa berjalan normal dengan kakimu sendiri. Tadi kamu dengar sendiri kan apa kata dokter Burhan? Kalau kamu patuh menjalani segala terapi yang disarankan dokter, kamu pasti akan segera bisa berjalan lagi seperti sedia kala dengan kedua kakimu. Percayalah.” Kata-kata itu terdengar tulus dan apa adanya.

Gantian Rey yang tersenyum mendengar ucapan Farah yang terdengar sangat melegakan dan menenangkan hatinya. Farah memang pandai menghibur sekaligus menyenangkan hatinya. Dan Farah pula satu-satunya sahabatnya yang paling bersemangat memberikan dukungan padanya—sahabatnya yang lain juga memberinya perhatian hanya saja tidak sebesar yang diberikan Farah—pasca kecelakaan yang dialaminya empat bulan yang lalu. Farah yang senantiasa menyemangatinya untuk tetap tabah dan tegar dalam menerima keadaannya yang seperti sekarang—tidak bisa berjalan dan harus menggunakan kursi roda bila hendak kemana-mana. Dan Farah pula yang berhasil membujuknya untuk mau melakukan kemoterapi pada kedua kakinya. Sebuah terapi pengobatan yang harus dijalaninya agar dia bisa berjalan seperti sedia kala. Tadinya dia sudah pasrah saja dengan keadaannya yang harus kemana-mana menggunakan kursi roda—bahkan dia juga sudah rela bila seumur hidupnya harus bergantung pada benda itu.

***



Seperti Elang


Catatan:
-Cerpen ini adalah cerpen keduaku yang berhasil dimuat di majalah, yaitu di ANITA Cemerlang No. 11/XXII/1 – 14 Juni 2001. Meskipun tidak menjadi cerita utama pada edisi itu, tapi aku sangat senang. Aku lebih senang lagi karena waktu yang aku perlukan untuk melihat cerpen ini dimuat hanya kira-kira 6 bulan.
-Sayang sekali, majalah ANITA Cemerlang sudah tidak terbit lagi sekarang. Tapi aku masih menyimpan edisi majalah yang memuat cerpen ini. My precious treasure. Hehehe.

Sinopsis: 
Kirana bingung karena Dewa, kekasihnya, susah sekali dihubungi. Sudah satu minggu Dewa menghilang tanpa kabar. Ketika akhirnya Dewa muncul di hadapan Kirana, ia malah membuat keputusan yang mengejutkannya. Dan Kirana sepertinya tidak punya pilihan lain, kecuali menerima kenyataan itu; bahwa Dewa ingin bebas, lepas, dan tak terikat seperti elang.


Maharani Menulis:


SEPERTI ELANG*



“Uh, sebel,” gerutu Kirana kesal sambil meletakkan gagang telepon. Wajahnya makin cemberut aja. Ini sudah yang ketiga kalinya ia mencoba menghubungi Dewa lewat handphone-nya, tapi tetap saja tidak berhasil. Handphone-nya lagi-lagi tidak aktif.

“Sudahlah, Na. mungkin Dewa memang sedang tidak ingin diganggu,” kata Laras mencoba menghibur hati sahabatnya yang sedang risau. “Lagian, baru satu minggu nggak ketemu, kamu sudah kalang kabut. Bagaimana kalau nggak ketemu satu bulan atau satu tahun, wah, bisa-bisa kamu masuk rumah sakit jiwa saking risaunya,” candanya lagi.

“Laras,” Kirana melotot, dilemparkannya sebuah bantal sofa ke arah Laras yang duduk berseberangan dengannya, tapi luput. Cewek centil itu berhasil menghindar. “Kamu senang, ya, kalau aku susah?” ujarnya sewot.

“Tentu saja tidak. Jelek-jelek begini aku sahabat yang baik, lho.” Laras tersenyum bangga. “Kalau kamu senang, aku ikut senang dan kalau kamu susah, aku tambah senang, he…he…he….” Laras cekikikan sambil memungut bantal sofa yang tadi terjatuh dan meletakkannya di pangkuannya.

“Apa?” Kirana makin sewot. Bola mata pingpongnya nyaris keluar dari kelopak matanya mendengar perkataan Laras barusan.

“Ups, sorry. Maksudku, kalau kamu susah, aku tambah susah. Begitu, Na.” Laras buru-buru meralat ucapannya sebelum Kirana tambah marah nggak karuan.

“Dasar sinting!” Kirana melemparkan sebuah bantal sofa lagi ke arah Laras dan kali ini benda empuk itu tepat mendarat di muka Laras dengan sukses. Gantian Laras yang melotot sedang Kirana cuma nyengir. Laras balas melempar. Sedetik kemudian, mereka resmi main lempar-lemparan bantal sofa. Seru.


***



“Kirana!”

Kirana menoleh ke arah datangnya suara. Tampak seulas senyum tersungging di bibir mungilnya. Tak jauh dari tempatnya duduk, tampak Dewa berdiri sambil melambaikan tangan ke arahnya. Kirana bangkit lalu bergegas menyongsong Dewa yang juga berjalan ke arahnya.

“Hai, apa kabar?” sapa Kirana kemudian, sebenarnya ia ingin sekali memeluk cowok itu demi menumpahkan rasa rindunya, tapi itu tidak dilakukannya, lagian nggak enak juga sama orang-orang yang berseliweran di tempat itu.

“Baik,” senyum Dewa. “Kita mesti bicara, Na,” kata Dewa lagi, lalu diraihnya tangan Kirana, cewek itu nurut aja.

Mereka menuju taman tempat biasa mereka ngobrol bila bertemu di kampus.

“Ada apa, Wa?” tanya Kirana sudah tidak sabar.

Ditatapnya kekasih pujaan hatinya itu lekat-lekat. Dewa balas menatapnya. Ia tersenyum.

Mawar Merah Buat Sandra

Catatan:
-Cerpen ini pertama kali aku tulis sekitar tahun 1999 dan telah mengalami beberapa kali revisi sampai akhirnya jadi seperti ini.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya (termasuk majalah sekolahku) dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis:
Rangga tidak suka dengan sikap Sandra yang menurutnya terlalu mencampuri urusannya, seperti memaksanya ikut lomba melukis, meskipun sebenarnya ia juga ingin ikut. Mereka bertengkar. Rangga jadi serba salah apalagi setelah ia tahu Sandra yang selalu menyemangatinya ternyata menyayanginya. Akhirnya setelah cukup lama mempertimbangkannya, untuk membalas kebaikan dan perasaan Sandra, Rangga memberinya kejutan.


Maharani Menulis:


MAWAR MERAH BUAT SANDRA



Untuk kesekian kalinya Rangga mendesah. Melihat apa isi secarik kertas putih di tangannya membuatnya teringat percakapannya dengan Sandra siang tadi.

“Bagaimana, Rangga? Sudah kamu pertimbangkan saranku kemarin?” tanya Sandra. “Soal lomba lukis itu. Kamu akan ikut, kan?”

“Aku rasa tidak,” Rangga menggeleng cepat.

“Bukankah kamu sudah lama menginginkannya?”

“Itu dulu, tapi sekarang aku sudah tidak tertarik lagi,”

“Kenapa?”

“Tidak tertarik ya tidak tertarik,”

“Kamu tidak tertarik lagi atau tidak berani?”

“Siapa bilang aku tidak berani?” Suara tiba-tiba Rangga meninggi.

“Kalau begitu, buktikan!” tantang Sandra.

Rangga tak lagi menimpali, hanya memandang Sandra yang menatapnya.

***




Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Rangga sudah meluncur bersama sepeda motornya ke sekolah. Dia berharap udara pagi yang sejuk dapat menjernihkan pikirannya yang masih kacau.


“Selamat pagi, Rangga,” Sandra menyapanya begitu dia masuk kelas.


“Pagi, Sandra,” balas Rangga tersenyum, meski terkesan dipaksakan.


“Semalam kamu pasti kurang tidur,” Sandra mengikuti langkah Rangga menuju bangkunya. “Kamu terlihat lesu dan kurang bersemangat.”


Rangga duduk di bangkunya, sedangkan Sandra tetap berdiri di sebelah mejanya, menghadapnya. “Kamu tahu kenapa? Karena aku sedang memikirkan sesuatu dan itu membuatku susah sekali tidur nyenyak,”


“Apa itu?” Sandra terdengar antusias. “Apa ada hubungannya dengan lomba lukis itu? Apa kamu sudah memutuskan akan melukis apa? Meskipun tema lukisannya bebas, tapi aku yakin kamu bisa membuat sebuah lukisan yang istimewa karena kamu punya bakat melukis yang luar biasa. Tapi, karena batas waktu penyerahan karya hanya tinggal 3 minggu lagi, jadi kamu harus segera mengerjakannya. Dan yang tidak kalah paling penting, jangan lupa mengisi formulir pendaftaran lomba lukis itu untuk diserahkan bersama lukisan karyamu. Bagaimana, Rangga? Kamu sudah siap, kan?”


“Sandra,” potong Rangga. Senyum tipis di bibirnya sudah lenyap. Tapi, tatapan matanya yang tajam tak beranjak dari wajah Sandra sedetikpun saat Sandra mengucapkan kata-katanya tadi.


“Ya?” Sandra tersenyum.


“Ikut lomba itu atau tidak bukanlah urusanmu, melainkan urusanku. Jadi, sebaiknya kamu tidak perlu ikut mengurusi apalagi mencampuri sesuatu yang bukan urusanmu. Apa kamu mengerti?”


“Aku hanya ingin membantumu, Rangga”


“Aku hargai itu. Tapi, tolong hargai juga keputusanku,”


“Jadi, kamu tidak akan ikut lomba itu?” Mata indah Sandra menatapnya, ia tampak kecewa. “Tapi, Rangga, lomba itu adalah kesempatanmu. Dengan mengikutinya kamu bisa mengasah atau setidaknya bisa tahu sejauh mana bakat melukismu. Soal menang atau kalah itu urusan nanti. Yang utama kamu harus mencobanya dulu. Tidak ada salahnya, kan? Apa ruginya? Lagipula bukankah kita tidak akan tahu akan seperti apa hasilnya bila kita tidak pernah mencobanya. Jadi, jangan menyerah sebelum bertanding karena itu hanyalah sikap seorang pengecut.”


“Cukup!” Rangga spontan berdiri dari duduknya dan balas menatapnya, marah. “Jangan pernah menyebutku pengecut. Kamu tak berhak, Sandra,”


“Oh, ya?” Sandra berubah sinis. “Bagaimana kalau pecundang?”


“Sandra!”


“Kenapa? Kamu marah? Silakan. Tapi, bila melihat sikapmu sekarang, aku rasa sebutan pengecut atau pencundang pantas untukmu. Jadi, sia-sia saja selama ini aku mendukungmu. Tidak ada gunanya aku peduli padamu. Kamu bahkan tidak mengerti kalau semua itu aku lakukan karena aku sayang padamu,”


“Apa katamu?” Rangga terkejut.