Senin, 15 November 2010

Balada Cinta Julia

Catatan:
-Cerpen ini aku tulis sekitar tahun 2001 -- kalau ingatanku tidak salah, hehehe.
-Cerpen ini tidak bermaksud untuk menyudutkan siapapun meskipun ceritanya terinspirasi oleh kisah seorang teman bernama Vinsensia Julia.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis: 
Flashback. Tiba-tiba menemukan kembali gelang rotan berinisial JJ membuat Julia terkenang akan Joey, laki-laki yang pernah menjadi kekasihnya. Joey memberikan gelang itu padanya saat mereka jadian. Tapi sayang, kisah cinta mereka yang berawal manis, harus berakhir pahit karena kehadiran Dewi yang ternyata masih berstatus kekasih Joey dan bukan mantan kekasih seperti yang disangka Julia selama ini.

Maharani Menulis:


BALADA CINTA JULIA



Aku baru saja hendak memungut pulpenku yang terjatuh di lantai ketika pandangan mataku membentur sebuah benda kecil yang tergeletak di belakang kaki meja belajarku. Sebuah gelang rotan. Perlahan tanganku terulur meraih benda mungil itu. Hatiku bergetar. Kupandangi gelang itu lekat-lekat. Kuusapkan jemariku untuk membersihkan debu yang menempel pada gelang itu. Ah, aku jadi tersenyum sendiri. Kulihat dua buah huruf kembar terukir di bagian dalam gelang itu. JJ. Hatiku semakin bergetar.

“JJ,” Aku mengeja dua huruf yang terukir di gelang itu.

“Joey dan Julia,” Aku tersenyum lagi.

Lalu ingatanku pun kembali pada peristiwa beberapa bulan yang lalu saat aku bertemu dengan Joey untuk pertama kalinya.

***


“Joey, ini Julia. Julia, ini Joey,” Sinta, sahabatku, mengenalkan kami.

Kami bersalaman. Aku dan Joey. Saling tersenyum dan menatap.

“Nah, bagaimana kalau kita lanjutkan ngobrolnya di kafe saja? Sekalian makan siang. Oke, Joey?" 

Kulihat Joey mengangguk.

“Setuju, Julia?”

Aku tidak menjawab, masih memandangi Joey.

“Julia,” Sinta menyenggol lenganku.

“Ya?” Aku terkesiap. Duh! Kenapa aku jadi gugup begini? Karena Joey?

Lalu kami bertiga pergi ke kafe untuk makan siang. Sambil menikmati makan siang, kami pun melanjutkan obrolan. Sebenarnya yang mengobrol adalah Joey dan Sinta. Sinta yang sudah kenal cukup lama dengan Joey di tempat kursus bahasa Inggris, tentu saja terlihat akrab dengan Joey. Sedangkan aku, yang baru saja kenal dengan Joey—yang memang rada susah mengobrol dengan orang baru—cenderung tidak banyak bicara. Kalau Sinta atau Joey tidak melibatkanku dalam pembicaraan mereka, aku pun akan diam saja. Dan Joey yang agaknya menyadarinya, malah menggodaku.

“Kok diam saja, Julia? Lagi sariawan, ya?” candanya.

“Tidak,” jawabku singkat.

“Atau lagi memikirkan sang pujaan hati?” selidiknya.

“Tidak juga,” Aku spontan menggeleng.

“Julia ini masih single, Joey,” timpal Sinta cepat. “She is single and available.”

Are you really?” Joey menatapku penuh arti, tapi sayangnya aku tidak tahu apa arti tatapannya itu. Tapi, yang pasti hatiku bergetar karenanya. Ada apa ini? Hatiku sibuk bertanya-tanya.

***



Begitulah awal perkenalanku dengan Joey. Meski terkesan agak kaku, tapi aku menikmatinya. Apalagi ternyata Joey orangnya sangat supel dan enak diajak ngobrol. Ya, setidaknya itu kesan pertama yang tercipta di benakku tentang Joey. Karena sifatnya itulah, tidak sedikit cewek yang naksir Joey, baik di tempat kursus maupun di kampusnya, begitu kata Sinta. Tapi, kalau cewek yang ditaksir Joey, Sinta tidak tahu. Yang pasti, selama Sinta kenal dengan Joey, ia belum pernah mendengar Joey membicarakan cewek secara special.

Ah, Joey! Aku jadi penasaran. Masa, sih cowok sekeren Joey tidak punya pacar? Aku tidak percaya. Dan yang membuatku lebih tidak percaya lagi adalah kemunculan Joey yang tiba-tiba di depan pintu kosku pada sabtu sore itu, selang tiga hari setelah kami berkenalan.

“Kok malah bengong?” tegur Joey saat melihatku hanya mendiamkannya saja. Aku buru-buru tersenyum, berusaha menyembunyikan keterkejutanku. “Aku tidak dipersilakan masuk, nih, atau kamu sedang menunggu seseorang, jadi aku tidak boleh masuk?” katanya lagi sambil menatapku lekat.

“Oh, silakan,” Kupersilakan Joey masuk ke ruang tamu.

“Teman kosmu ada berapa orang? Kok sepertinya sepi-sepi saja, Julia. ” tanyanya setelah ia duduk.

“Teman kosku ada lima orang, Joey. Lalu kenapa sepi? Karena Fifi dan Umi sedang pulang kampung. Terus, Ella dan Sari sedang keluar dengan pacar mereka masing-masing. Maklum, ini kan malam minggu. Sementara Dina, ada di kamarnya sedang istirahat karena kurang sehat,” aku memberitahu.

“Dan Julia?” Joey menatapku lagi.

“Julia sedang mengobrol dengan Joey,” Aku balas menatapnya.

Kami tertawa.

By the way, tidak apa-apa, nih, aku datang malam ini? Maksudku, ini kan malam minggu, kalau cowokmu datang, apa aku tidak akan mengganggu kalian?”

“Jangan menyindirku. Apa kamu tidak ingat apa yang dikatakan Sinta waktu itu?” Sebenarnya aku agak malu mengakuinya. “I’m still single.”

And available?” Joey tersenyum.

Aku ikut tersenyum. “Kalau kamu?” tanyaku memberanikan diri. “Don’t tell me you don’t have somebody yet,”

Joey tidak segera menjawabku.

“Maaf, kalau aku terlalu ingin tahu,” sesalku pada akhirnya. “Seharusnya aku memang tidak menanyakan hal yang terlalu pribadi seperti itu. Apalagi kita baru bertemu dua kali. That’s impolite, I guess.

Joey tersenyum lagi lalu menggeleng pelan.   

That’s okay,” katanya. “Hanya saja aku bingung mesti menjawab apa,”

“Kok?” Sekarang malah aku yang bingung mendengar jawaban Joey. “Kan tinggal dijawab, ya atau tidak. Gampang, kan?” lanjutku enteng.

Joey diam lagi. Apa omonganku salah, ya? Aku jadi merasa tidak enak. Tapi, aku benar-benar ingin tahu.

I have one, but it is confusing me now,” jawab Joey pada akhirnya.

Why?” Aku benar-benar tidak bisa menahan diriku untuk mengetahui segala apa tentang Joey. Entah kenapa, semakin lama berbincang dengannya, aku jadi semakin ingin tahu lebih banyak tentang dia. Oh, what is happening to me?

“Apa kamu tidak keberatan mendengar ceritaku?” tanya Joey.

“Kamu sendiri, apa tidak keberatan menceritakannya padaku?” Aku balik bertanya.

I don't mind it,” Joey menggeleng.

***


Joey memang sudah punya pacar, namanya Dewi. Tapi dari cerita Joey malam itu sepertinya hubungan mereka kurang begitu lancar. Dibilang pacaran, tapi sudah tiga bulan mereka kehilangan komunikasi. Tapi, dianggap tidak pacaran, nyatanya belum ada kata putus di antara mereka. Jadi, hubungan mereka memang membingungkan—seperti yang dikatakan Joey. Entah apa yang sebenarnya sedang terjadi pada hubungan mereka, aku tidak tahu pasti—meski sebenarnya aku ingin tahu. Tapi, yang pasti sejak malam itu hubunganku dengan Joey jadi semakin akrab. Kami jadi sering bertemu. Sering menghabiskan waktu bersama-sama, entah itu sekedar mengobrol, makan malam, atau nonton film di bioskop—meski Sinta kadang-kadang pergi bersama kami.

Hingga pada suatu hari tiba-tiba Joey mengatakan kalau dia menyukaiku. Oh, My God. Aku tentu saja kaget mendengarnya.

“Joey?” Aku masih tak percaya. “Kamu serius?”

I like you, Julia. Yes, I do,” katanya mantap.

Joey mengambil sesuatu dari dalam saku celananya. Lalu ia meraih tanganku dan meletakkan benda itu di sana. Sebuah gelang rotan.

“Untukku?” Aku ragu.

Joey mengangguk.

Sejenak kuamati gelang itu rotan. Di bagian dalam gelang rotan itu terukir dua buah huruf kembar, JJ.

“JJ. Apa artinya?” tanyaku penasaran.

“Oh, itu,” Joey agak tersipu. “Itu inisial nama kita. Joey dan Julia,”

Aku tercengang. “Joey dan Julia? Apa ini tidak terlalu berlebihan, Joey?”

“Tentu saja tidak, Julia,” Joey tersenyum. “Memangnya kenapa? Apa kamu keberatan? Kamu tidak suka, ya?”

“Bukan begitu, Joey,” Aku buru-buru menjawab, agak takut Joey akan marah melihat reaksiku. “Tentu saja aku tidak keberatan. Aku suka sekali. Malah aku sangat tersanjung, Joey. Terima kasih,”

Don’t mention it,” Joey tersenyum lagi, menatapku.

Meskipun aku juga menyukai Joey, tapi aku tidak langsung mengiyakan saat Joey memintaku jadi kekasihnya. Alasannya apa lagi kalau bukan karena status Joey yang masih belum jelas. Maksudku, bagaimana hubungannya dengan Dewi. Apakah mereka masih pacaran atau sudah putus. Karena tentu saja aku tidak mau dianggap mereka merebut pacar orang nantinya. Atau karena aku tidak mau dijadikan pelabuhan sementara bagi Joey. Jadi, aku memintanya untuk memberiku waktu untuk mempertimbangkan permintaannya. Selama itu aku pun mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada hubungan Joey dan Dewi. Bahkan aku meminta Sinta untuk ikut mencari tahu. Tapi, baik Sinta maupun aku sama-sama tidak mendapatkan informasi yang memuaskan. Sampai suatu hari Joey sendiri yang memberikannya.

“Aku sudah putus dengan Dewi,” cerita Joey saat kami sepakat bertemu dua minggu kemudian. “Seminggu yang lalu aku bertemu dengannya. Ternyata menghilangnya dia selama ini karena dia merasa bingung dengan rencana kedua orang tuanya yang ingin menjodohkannya dengan pria lain. Jadi, daripada dia bertambah bingung dan hubungan kami tidak ada kepastian yang jelas, akhirnya aku pun memilih berpisah saja. Lagipula aku sudah terlanjur jatuh hati padamu dan ingin kamu jadi kekasihku. Bagaimana, Julia? Apa kamu sudah bisa memberiku jawabanmu sekarang? Terus terang aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi,”

“Joey,” Aku mendadak gugup. “Aku—aku rasa, sepertinya aku—aku tidak punya jawaban lain kecuali—kecuali iya,”

“Jadi?” Mata Joey berbinar.

Yes, I do,” Aku mengangguk.

Kami pun jadian. Joey yang keren, baik, dan romantis itu akhirnya jadi kekasihku. Sinta bahkan sempat tak percaya saat kuberitahu.

Benar kata orang bijak: To love and being loved is the greatest thing in the world. Mencintai dan dicintai adalah hal yang paling indah dan aku telah merasakannya. Bersama Joey yang kucintai dan mencintaiku aku lalui hari demi hari dengan penuh warna. Dengan kata lain, menyenangkan.

Namun, lagi-lagi benar kata orang bijak: apa yang terjadi terkadang tak seperti yang kita inginkan. Begitu pula yang kemudian terjadi padaku atau lebih tepatnya pada hubunganku dengan Joey. Memasuki bulan keempat kami jadian, di luar dugaan apalagi keinginanku sesuatu tiba-tiba saja terjadi. Dewi—yang selama ini hanya aku dengar ceritanya saja dari Joey dan itu pun cuma sekali dua kali karena jujur saja untuk urusan yang satu itu aku tidak ingin tahu—mendadak muncul di hadapanku. Membawa sebuah misi yaitu mengambil kembali apa yang pernah menjadi miliknya: Joey. Dan hal itu tentu saja membuatku heran sekaligus kaget. Ada apa sebenarnya? Apa maksudnya?

Menurut Dewi, hubungannya dengan Joey belum benar-benar berakhir atau putus seperti yang pernah dikatakan Joey padaku. Sebenarnya mereka hanya ‘take a break bukan break up’. Memang benar, orang tua Dewi punya rencana menjodohkannya dengan pria lain. Memang benar, Dewi dilanda kebingungan menghadapinya. Memang benar, Joey memilih untuk berpisah dengannya. Tapi, itu adalah keputusan sepihak dari Joey. Karena Dewi belum pernah menyepakatinya. Karena Dewi malah meminta Joey memberinya waktu sedikit lebih lama lagi untuk memikirkan semuanya. Tapi, rupanya Joey tidak bisa bersabar. Segera saja dia meninggalkannya, untukku.

Sebenarnya aku tidak ingin mempercayai cerita Dewi karena aku pikir dia hanya cemberu saja melihat kebersamaanku dengan Joey. Tapi, ketika hal itu aku konfirmasikan pada Joey—di hadapan Dewi, tentu saja—akhirnya Joey mengakuinya. Oh, no. Jadi, selama kami menjalin kasih, status Joey masih pacar Dewi? Jadi, selama itu Joey sudah tidak jujur padaku? Oh, love had blinded me. How fool I was. Dan hari itu juga aku putuskan untuk mengakhiri semuanya. Pergi dari Joey sebelum aku semakin terluka.


***


Gelang rotan dengan ukiran inisial dua huruf kembar di dalamnya, JJ, masih berada di tanganku. Aku seperti terbius memandanginya. Membuat rekaman-rekaman kebersamaanku dengan Joey seperti kembali bermunculan di depan mataku.

“Joey,” gumamku.

Kuletakkan gelang itu di atas meja. Lalu kuambil lagi pulpenku. Dan kubuka lagi buku harianku. Tiba-tiba aku ingin bercerita kembali tentang Joey pada diary-ku. Dan kemudian aku pun mulai menuliskannya.

Dan di akhir coretanku, dengan tangan yang agak gemetar aku menulis:

    Joey, wherever you are, whatever you do, and whoever you are with, I hope happiness is always being around you. And for me, I hope so.

Kuletakkan pulpenku. Kututup diary-ku. Lalu kuraih kembali gelang rotan itu.  Kemudian kupejamkan mataku. Dan dua buah kristal bening itu jatuh membasahi pipiku.



TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar