Sabtu, 20 November 2010

Nabila's Diary Of Broken Hearted

Catatan:
-Cerpen ini aku tulis sekitar tahun 2006.
-Hehehe. Lagi-lagi cerpen ini terinspirasi oleh kisahku *malu*. Tapi, plot dan karakternya sudah diubah sedemikian rupa sehingga cukup layak dibaca oleh publik. Aku tidak bermaksud untuk menyudutkan siapapun apalagi mencemarkan nama baik karakter-karakater yang menginspirasiku menulis cerpen ini. Yang aku tulis hanyalah fiksi, meskipun inspirasinya dari kisah nyata. Hehehe.
-Cerpen ini terkesan cengeng? Well, I just wrote what I may felt. He's my first boyfriend and that was my first broken hearted experience. What else I could say? I was like broken hearted girl who mourning over her first love life ending. But now that girl can only laugh it loud. Love may end, but life must go on. Hahaha. Wish someday true love and good life will come to me.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis: 
Dengan alasan klise hubungan sepasang kekasih harus berakhir. Herlambang dijodohkan dengan orang lain oleh kedua orang tuanya. Nabila benar-benar tak habis pikir. Kenapa kedua orang tua Herlambang yang tahu tentang hubungan mereka dan sepertinya tidak keberatan bisa membuat keputusan seperti itu? Kenapa Herlambang lebih memilih menerima keputusan kedua orang tuanya dan memutuskan hubungan mereka yang sudah terjalin selama lima tahun? Nabila mengenang semua itu lewat diary-nya.

Maharani Menulis:



NABILA'S DIARY OF BROKEN HEARTED



Nobody wants to be lonely
Nobody wants to cry
My body’s longing to hold you
So bad it hurts inside
Time is precious then it’s slipping away
And I’ve been waiting for you all of my life
Nobody wants to be lonely
So, why don’t you let me love you?
(Nobody Wants To Be Lonely—Ricky Martin & Christina Aguilera)



28 November 2006, pukul 22.10 WIB

Suara merdu milik si macho Ricky Martin dan si seksi Christina Aguilera yang mengalun melalui program winamp di notebook-nya malah membuat batin Nabila semakin nelangsa. Bagaimana tidak? Nobody wants to be lonely, but she is now. Nobody wants to cry, but she does now. My body’s longing to hold you. Yes, her body does. So bad it hurts inside. Yes, it is. Time is precious then it’s slipping away. Yes, it is. And I’ve been waiting for you all of my life. Yes, she has been. Nobody wants to be lonely, but she is now. So, why don’t you let me love you? Exactly, why can’t we be together?

Nabila. Sambil memandangi form blank document di layar notebook-nya, air matanya mulai mengalir. Membasahi kedua pipinya yang putih. Membentuk sepasang aliran anak sungai di wajahnya. Dan sedetik kemudian isak tangisnya pun terdengar meningkahi alunan lagu sendu itu. Nabila menangis. Bukan tanpa alasan. Air matanya tumpah. Bukan tanpa sebab. Itu semua karena Herlambang. Karena rasa cintanya pada lelaki itu.

Herlambang. Lelaki yang sudah menjadi kekasihnya selama lima tahun ini. Lelaki yang sudah menjadi bagian dalam hidupnya selama lima tahun ini. Sekaligus juga lelaki yang telah menjadi mantan kekasihnya sejak lima jam yang lalu. Sekaligus juga lelaki yang telah memutuskan untuk tidak lagi jadi bagian dalam hidupnya sejak lima jam yang lalu.

28 November 2006, pukul 16.00 WIB

Seperti hari-hari sebelumnya. Seperti hari-hari biasanya. Hari ini pun selepas kerja Nabila dijemput pulang oleh Herlambang. Meskipun mereka tidak bekerja di kantor yang sama—Nabila bekerja di sebuah biro perjalanan wisata, sedangkan Herlambang bekerja di sebuah perusahaan properti—tapi karena tujuan tempat kerja mereka sejalan dan jadwal kerja mereka yang hampir bersamaan, jadi hampir setiap hari mereka selalu berangkat dan pulang kerja bersama-sama dan itu secara otomatis sudah menjadi kebiasaan mereka selama hampir dua tahun ini.

Seperti hari-hari sebelumnya. Seperti hari-hari biasanya. Hari ini pun Herlambang tidak menunjukkan sikap yang berbeda. Ia tetap terlihat tenang dan wajar. Tidak ada gelagat atau gerak-geriknya yang memancing kecurigaan akan adanya sesuatu yang tidak beres. Tidak ada tanda-tanda yang mengindikasikan bahwa akan terjadi sesuatu. Semuanya tampak biasa-biasa saja sampai akhirnya Nabila menyadari suara Herlambang terdengar sedikit bergetar ketika mereka berbincang-bincang di teras rumah Nabila.



28 November 2006, pukul 17.10 WIB

Herlambang menatap Nabila lebih lekat dari yang sebelumnya. Dan Nabila pun segera tahu bahwa akan ada sesuatu yang ingin disampaikan kekasihnya itu padanya, sebentar lagi.

Benar saja. Tak berapa lama kemudian terdengar Herlambang menarik napas sebelum akhirnya ia mengatakannya. “Nabila, maafkan aku. Sepertinya aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita.”

Seperti ada petir yang menyambar di sore yang cerah itu. Nabila terperanjat mendengarnya. Jujur saja ia tidak bisa mempercayai pendengarannya. Terus terang ia menganggap telinganya telah salah dengar. Namun, kelanjutan ucapan Herlambang membuatnya mau tak mau harus mempercayai pendengarannya bahwa telinganya memang telah mendengar apa yang diucapkannya dengan sangat jelas. “Maafkan aku, Nabila. Ternyata tanpa sepengetahuanku kedua orang tuaku telah menjodohkanku dengan wanita lain. Kedua orang tuaku ingin aku menikah dengan wanita pilihan mereka.”

“Kenapa, Her?” Suara Nabila tercekat di tenggorakannya. Rasanya ia sudah ingin menangis seketika itu juga.

“Entahlah,” jawab Herlambang, tidak menjawab pertanyaannya.

“Dan kamu mau saja menerima perjodohan itu?”

“Aku bingung,”

“Bukankah kedua orang tuamu sudah mengetahui hubungan kita selama lima tahun ini?”

“Iya, mereka tahu,”

“Dan mereka juga tidak menunjukkan sikap tidak menyukaiku,”

“Iya, aku tahu,”

“Lalu kenapa mereka malah menjodohkanmu dengan wanita lain, sedangkan mereka tahu kalau kita berdua adalah sepasang kekasih?”

“Aku tidak tahu,”

“Bukankah kamu mencintaiku?”

“Aku mencintaimu, Nabila. Dengan sepenuh hatiku.”

Nabila tidak bisa berkata apa-apa lagi untuk beberapa lama.

Herlambang juga membisu saja.

Lalu lamat-lamat terdengar isak tangis keluar dari mulut Nabila. Herlambang buru-buru mengulurkan tangannya menyentuh bahunya, mengusapnya lembut.

“Maafkan aku, Nabila. Aku terpaksa mengambil keputusan ini. Dan asal kamu tahu saja, bukan hanya kamu yang terluka dan sakit hati karenanya, aku juga merasakan hal yang sama.”

Tangis Nabila terdengar semakin kentara.

“Mungkin kamu menganggapku tidak gentleman karena aku tidak berani mengatakan tidak pada orang tuaku tentang rencana mereka. Namun, yakinlah satu hal bahwa aku mengambil keputusan ini bukan karena aku sudah tidak mencintaimu lagi. Aku masih mencintaimu, Nabila. Amat sangat.”

“La—lalu, ke—kenapa kamu mau saja menerima perjodohan itu? Ke—kenapa kamu tidak menolaknya saja?” Suara Nabila tersendat-sendat.

Agak lama Herlambang terdiam, pasti ia sedang berusaha menyusun kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Sedangkan Nabila, dengan air mata yang masih menggenangi matanya, terus memandangnya.

“Aku tidak ingin mengecewakan orang tuaku, Nabila,” jawab Herlambang. “Aku hanya ingin berbakti pada mereka yang sudah membesarkan aku. Aku hanya ingin membalas kebaikan mereka selama ini. Aku hanya ingin membahagiakan mereka dengan cara yang sudah mereka pilihkan.”

“Meskipun untuk itu kamu harus mengorbankan kebahagiaanmu?”

“Aku tidak punya pilihan lain,”

“Bukankah orang tua akan merasa lebih bahagia kalau melihat anaknya bahagia? Meskipun dalam meraih kebahagian itu, cara yang ditempuh antara orang tua dan anak tidaklah sama, tapi asalkan itu cara yang baik dan bisa dipertanggungjawabkan, aku rasa mereka tidak akan keberatan.” Nabila tidak tahan untuk tidak mengeluarkan pendapatnya. Untungnya tangisnya sudah mereda sehingga suaranya bisa terdengar dengan jelas.

“Nabila,”

“Kenapa kamu secepat itu menyerah, Her? Apakah hubungan kita selama ini tidak berarti apa-apa bagimu? Bagi orang tuamu? Tidakkah mereka juga melihat bagaimana hubungan kita selama lima tahun ini? Keseriusan kita?”

“Bukannya aku tidak mau berusaha,” Herlambang ingin menyela.

“Tapi, kamu tidak bisa melanjutkan hubungan kita, kan?” potong Nabila cepat. “Kamu tidak berusaha mempertahankannya. Apa itu bukan menyerah namanya? Seharusnya kamu memberikan penjelasan dan pengertian kepada orang tuamu, Her. Meskipun kamu tidak memenuhi keinginan mereka, itu bukan berarti kamu bermaksud durhaka kepada mereka. Meskipun kamu menolak perjodohan itu, itu bukan berarti kamu tidak berbakti kepada mereka. Meskipun kamu tetap menikah denganku, itu bukan berarti kamu tidak menyayangi mereka. Sebenarnya kamu punya pilihan, Her, dan memilih untuk mengakhiri hubungan kita adalah pilihanmu.” Kalimat terakhir Nabila terdengar parau.

Sesaat hening. Bahkan tak terdengar lagi isak tangis Nabila.

“Nabila,” Suara Herlambang terdengar meminta pengertian.

“Sudahlah, Her.” Nabila menyelanya. “Aku tidak ingin mendengar apa-apa lagi darimu. Karena apa yang aku dengar sudah lebih dari cukup. Karena apa yang kamu katakan sudah mewakili segalanya.” Nabila berusaha tegar meskipun sebenarnya kalau boleh memilih, saat ini ia ingin menangis lagi sekeras-kerasnya untuk sekedar meluapkan kesedihannya. Tapi, ia hanya menundukkan wajahnya, memandangi lantai teras rumahnya dengan pandangan mata yang kembali berkabut tergenang air mata.

“Nabila,” Herlambang masih berusaha bicara.

“Sebaiknya kamu pulang, Her. Tidak ada gunanya kamu berlama-lama di sini. Tidak baik untuk kita.” Nabila masih menunduk.

Terdengar Herlambang mendesah. Sebelum kemudian akhirnya dia beranjak dari kursinya. Memandang sejenak ke arah Nabila yang tertunduk, berharap gadis itu akan mendongakkan wajahnya untuk balas memandangnya, tapi ternyata tidak.

“I am really sorry, Nabila, but you know I do love you,” ucap Herlambang lirih kemudian berlalu pergi. Meninggalkan Nabila yang masih duduk terdiam di kursinya. Meninggalkan kisah cintanya yang baru saja berakhir. Melangkah dengan berat, tapi pasti ke arah mobilnya yang terparkir di luar pagar rumah Nabila. Tanpa menoleh lagi ke belakang, apalagi berhenti, meskipun untuk sekedar memastikan apakah Nabila berkenan mengantarkan kepergiannya dengan pandangan matanya atau tidak.

29 November 2006, pukul 00.10 WIB

Tak terasa sudah dua jam Nabila duduk di kursinya menghadapi notebook-nya. Layar form blank document-nya kini tak lagi kosong, melainkan sudah berisi deretan huruf-huruf yang merangkai kata-kata yang membentuk kalimat-kalimat. Ada dua belas halaman nyaris penuh tertampang di depannya. Dan itu adalah curahan hatinya.

Menulis diary. Mencurahkan segala isi hatinya. Mengungkapkan seluruh perasaannya. Itulah salah satu kebiasaan Nabila sejak ia berusia dua belas tahun hingga kini di usianya yang menginjak dua puluh lima tahun—meskipun ia tidak menulisnya setiap hari. Dulu ketika ia belum mengenal komputer, ia masih menuliskan curahan hatinya pada sebuah buku harian dengan tulisan tangan, tapi sekarang seiring kecanggihan teknologi, ia jadi terbiasa mencurahkan semua perasaannya lewat tuts-tuts komputer yang hasilnya ia cetak dan kumpulkan menjadi satu bendel rapi setiap akhir bulan yang kemudian ia simpan di tempat yang aman. Dan bayangkan, sudah berapa banyak buku harian atau bendel curhatnya selama tiga belas tahun ini? Pastinya sudah lebih dari tiga puluh buah. Dan dari sekian banyak diary yang pernah ditulisnya selama tiga belas tahun ini, diary-nya malam ini sepertinya adalah diary-nya yang paling sedih.

Sedih. Nelangsa. Menderita. Putus asa. Kesal. Marah. Menyesal. Perasaan seperti itulah yang sekarang campur aduk berkecamuk dalam hati Nabila. Membuat batinnya tersiksa. Membuatnya merana. Apakah memang begini rasanya patah hati karena putus cinta? Kalau putus cinta rasanya akan sesengsara ini, mungkin ia tidak akan mau jatuh cinta.

Tapi, begitulah cinta. Dengan segala rasanya. Kadang suka kadang sedih. Kadang senang kadang susah. Kadang bahagia kadang menderita. Bila dulu ia pernah begitu suka, senang, dan bahagia karena jatuh cinta. Kini ia pun mesti merasa sedih, susah, dan menderita karena putus cinta.

Dan teriring lagu melankolis dari boysband favoritnya Backstreet Boys, Nabila mengakhiri diary-nya malam ini. Menyudahi curahan hatinya. Untuk saat ini. Untuk malam ini.

I’ve tried to go on like I never knew you
I’m awake but my world is half asleep
I pray for this heart to be unbroken
But without you all I’m going to be is incomplete
(Incomplete—Backstreet Boys)




TAMAT

3 komentar: