Sabtu, 20 November 2010

Indah Pada Waktunya

Catatan:
-Aku memilih judul “Indah Pada Waktunya” karena apapun itu pasti akan terasa indah bila sudah tiba pada waktunya. Everything has its time, right?
-Cerpen ini aku tulis tahun 2009.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis:  
Sudah jatuh tertimpa tangga pula, begitulah kira-kira ungkapan yang tepat untuk menggambarkan apa yang sedang dialami Indah. Di-PHK dari tempatnya bekerja, diputus oleh kekasihnya, Adrian, tidak bisa mengikuti wawancara kerja karena surat undangannya menghilang, tidak lolos seleksi kerja, dan lembaran draft novel yang sedang ditulisnya juga raib. Peristiwa itu beruntun menimpa Indah. Namun, keberuntungan akhirnya berkenan menghampirinya bersamaan dengan kedatangan Adrian suatu hari.

Maharani Menulis:


INDAH PADA WAKTUNYA



Dalam hal mencari pekerjaan, Indah, meski sudah berbekal selembar ijazah berlabel sarjana strata satu dengan predikat cum laude, beberapa sertifikat prestasi, sertifikat keterampilan komputer, dan juga sertifikat kecakapan berbicara dalam bahasa Inggris lisan dan tulisan, ternyata belum membuatnya mampu menaklukkan dunia kerja—padahal ia juga tidak pilih-pilih pekerjaan. Kalau pun ia bisa sampai ikut dalam tahap-tahap tes kualifikasi sebagaimana mestinya, tapi akhirnya selalu tidak lolos alias gagal. Sehingga selama enam bulan pasca lulus ia pun harus berbesar hati menikmati suramnya dunia pengangguran.

Barulah pada bulan ketujuh Indah mendapatkan pekerjaan pertamanya, sebagai assistant manager di sebuah perusahaan asuransi. Tapi, ternyata ia hanya mampu bertahan tiga bulan training saja dan akhirnya resign. Alasannya adalah ketidakcocokan. Ternyata setelah menjalani pekerjaannya, ia merasa tidak bisa mengikuti pola kerja perusahaan. Mungkin alasan itu kedengarannya klise atau terkesan dibuat-buat. Tapi bila kita sudah merasa tidak nyaman atau kurang enjoy dalam bekerja, bukankah kita hanya akan bekerja dengan setengah hati saja? Dan bila kita tidak bekerja dengan sepenuh hati, bukankah hasilnya juga tidak bagus?

Selang dua bulan kemudian, Indah mendapatkan pekerjaan lagi. Kali ini sebagai administration staff di sebuah perusahaan elektronika. Dibandingkan pekerjaannya yang sebelumnya, posisinya kali ini memang lebih rendah. Gajinya pun lebih kecil. Tapi, ia tetap mensyukurinya. Ia terima pekerjaan itu dengan suka cita dan menjalaninya dengan senang hati. Tapi sayang, pada bulan ketiga belas, ia malah menerima surat PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karena perusahaan mengharuskan adanya pengurangan karyawan.

Dalam urusan mencari pasangan pun Indah bisa dikatakan cukup sulit mendapatkannya. Ia baru menemukan Mr. Right di saat usianya menginjak dua puluh enam tahun. Padahal selama enam tahun terakhir ada beberapa pria yang dekat dengannya, tapi tak satupun dari mereka yang statusnya lebih dari sekedar teman baginya. Baru setelah ia bertemu Adrian, Indah merasa he is the one. Mungkin karena Adrian orangnya kalem dan tidak neko-neko sehingga Indah jatuh hati padanya dan ingin menjalin kasih dengannya—dan bahagianya, Adrian juga merasakan hal yang sama.

Namun sayangnya, percintaan mereka yang adem ayem itu ternyata harus berakhir dengan tidak bahagia. Karena keegoisan orang tua—begitu Indah menyebutnya—jalinan kasih mereka yang baru berusia enam bulan itu pun terpaksa terputus. Sebenarnya Adrian tidak ingin mengakhiri hubungan mereka, tapi ia pun tak kuasa menolak keinginan orang tuanya yang menginginkannya menikah dengan Icha, wanita pilihan mereka. Indah pun sebenarnya masih ingin mempertahankan hubungan mereka, tapi ia juga tidak mau hubungan Adrian dan orang tuanya jadi tidak harmonis karena keinginannya. Maka, akhirnya Adrian terpaksa menuruti permintaan orang tuanya dan Indah pun dipaksa menerima PHK alias Pemutusan Hubungan Kekasih dari Adrian.

***



“Nomor antrian tiga belas, silakan ke depan,” suara resepsionis itu mengejutkan Indah yang tampak sedang merapikan berkas-berkas lamarannya. Serta merta ia memandang nomor antrian yang dipegangnya, 13.

Cepat-cepat Indah bangkit dari kursinya dan melangkah menuju ke meja resepsionis. Di tangannya tampak sebuah amplop berwarna coklat berisi berkas-berkas keperluan melamar pekerjaan yang sudah ia persiapkan sebelumnya. Hari ini, Indah berkesempatan untuk mengikuti walk interview yang diadakan oleh sebuah perusahaan yang bergerak di bidang ekspor import.

“Bisa tolong diperlihatkan surat undangannya, Mbak?” tanya resepsionis itu beberapa saat setelah ia memeriksa isi amplop Indah.

“Maaf?” Indah bingung. “Oh, surat undangannya pasti masih ada di dalam tas saya. Sebentar saya cari dulu,” Lalu Indah tampak mencari-cari surat undangan yang dimaksudkan itu dalam tasnya, tapi hasilnya nihil.

“Bagaimana, Mbak?” tanya resepionis itu lagi.

“Maaf, sepertinya surat undangan itu hilang,” Indah tampak lesu.

“Kalau begitu, dengan menyesal saya katakan bahwa Mbak tidak bisa mengikuti walk interview,”

“Tapi, berkas-berkas saya lengkap, kan?”

“Ya, saya tahu itu. Saya melihatnya. Tapi, Mbak juga tahu peraturannya, kan? Setiap peserta diwajibkan menunjukkan surat undangan bila ingin mengikuti walk interview. Jadi, tanpa surat undangan itu, Mbak tidak bisa ikut.”

“Tapi?” Indah bersikeras.

“Maaf, Mbak. Di sini begitulah peraturannya,” tegas resepsionis itu.

Indah yang tahu bahwa mendebat resepsionis itu tidak ada gunanya, akhirnya menerima amplopnya kembali dengan pasrah.

Gagal dan kecewa adalah hal yang biasa terjadi pada para job seeker yang tidak berhasil mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan. Bahkan Indah yang sudah terbiasa gagal berkali-kali dan baru dua kali berhasil, masih saja merasa kecewa saat usahanya mencari pekerjaan tidak membuahkan hasil.

Dan kekecewaannya semakin besar saat ia membaca surat pemberitahuan dari perusahaan yang beberapa waktu yang lalu memanggilnya untuk mengikuti final test selection of recruitments di kamarnya. Ada dua surat pemberitahuan dari dua buah perusahaan yang berbeda, tapi dengan isi yang sama. Kedua surat itu sama-sama menyatakan bahwa ia tidak diterima bekerja di perusahaan mereka.

Indah meletakkan kedua surat itu di atas meja di samping tempat tidurnya. Lalu ia meraih tasnya dan menumpahkan isinya di atas kasur. Sebuah amplop coklat berisi berkas-berkas lamaran kerja, block note, kotak pena, dompet, ponsel, tisu, dan beberapa lembar kertas.

“Oh, no,” gumam Indah cemas sambil mencari-cari ke dalam tasnya lagi yang ternyata sudah tak berisi. “Di mana yang lainnya?” Ia memeriksa lembar-lembar kertas di tangannya lagi, menghitung jumlahnya. Hanya ada lima lembar, bukannya tujuh lembar seperti yang seharusnya. Yang dua lembar lagi hilang.

Kertas-kertas itu berisi draft bab terakhir novel yang sedang ditulisnya. Sudah beberapa lama ini Indah kembali menekuni hobi menulisnya yang sedikit terabaikan sejak ia bekerja. Padahal baginya menulis adalah cara yang praktis dan efektif untuk mengekspresikan diri, mencurahkan perasaan, menuangkan pikiran, dan juga menyalurkan emosi. Bahkan ia pun diam-diam ingin menjadi penulis, di samping ingin menjadi manajer seperti keinginan kedua orang tuanya.

Indah menghela napas. Tanpa sengaja pandangan matanya tertuju pada kalender mejanya, tanggal 13 April. Lalu beralih pada jam duduknya yang terletak di samping kalender, pukul 13.13 WIB. Lalu teringat akan nomor antrian untuk walk interview-nya yang gagal, 13. Apa kutukan angka 13 itu benar-benar ada dan saat ini sedang berlaku padanya?

Indah menghela napas lagi. Tiba-tiba ia teringat. Tadi pagi begitu ia keluar dari lift, ia sempat menerima telepon dari mamanya. Karena sedang tergesa-gesa, ia lupa menutup tasnya kembali setelah mengambil ponselnya. Bahkan di koridor ia sempat bertabrakan dengan seseorang—saat itu ia masih berbicara di telepon—hingga tasnya terjatuh dan nyaris menghamburkan semua isinya. Jadi, kemungkinan besar surat undangan walk interview dan dua lembar draft novelnya ikut terjatuh dan tidak masuk lagi ke dalam tasnya.

***


“Adrian?” Indah tampak surprise melihat siapa yang sedang berdiri di depan pintu rumahnya dua hari kemudian.

“Hai, Indah,” Adrian menyapanya, tersenyum.

Indah dan Adrian hanya saling pandang dalam diam dari posisi duduk mereka yang berseberangan. Agaknya suasana canggung dan kikuk masih menyelimuti mereka meski sudah hampir sepuluh menit berlalu. Rupanya sebulan tidak bertatap muka telah menciptakan semacam dinding tak terlihat di antara mereka.

“Kok malah diam?” Indah memecah keheningan.

“Maaf, sebenarnya ada banyak hal yang ingin aku sampaikan padamu, tapi aku bingung harus mulai dari mana,” Adrian tersenyum lagi.

“Dari mana saja, terserah. Tidak urutan, juga tidak masalah. Kita kan tidak sedang berada di kelas bahasa,” Indah balas tersenyum.

Dinding yang tak terlihat sepertinya mulai melenyap.

“Baiklah, akan aku coba,” Adrian mengambil sebuah tas plastik berwarna hitam dari kursi di sampingnya—Indah tampaknya juga baru menyadari kalau Adrian membawa tas plastik itu. “Pertama-tama aku ingin mengembalikan surat dan kertas ini,” Adrian mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih dan dua lembar kertas putih dari dalam tas plastik hitam itu.

“Ini,” Indah memeriksanya. “Ini kan surat undangan walk interview-ku dan draft novelku yang hilang itu. Kenapa bisa ada padamu?”

“Ceritanya cukup panjang dan sedikit unik,” kata Adrian. “Ternyata orang yang bertabrakan denganmu waktu itu adalah temanku, Hendra. Dialah yang menemukan surat dan kertas itu. Ketika dia cerita padaku dan aku bilang aku mengenal siapa pemiliknya, dia pun memintaku untuk mengembalikannya. Ya, meskipun surat undangan itu sudah tidak lagi berguna, tapi aku yakin kertas-kertas itu masih sangat berharga bagimu,”

“Kamu benar, Adrian,” ujar Indah. “Terima kasih, ya?”

“Jangan berterima kasih padaku. Aku hanya menyampaikan pesan Hendra. Dan ngomong-ngomong soal pesan, Hendra juga titip pesan lain untukmu,” Kali ini Adrian mengeluarkan sebuah amplop coklat dari dalam tas plastik hitamnya.

“Untukku?” Indah melihat namanya tertera di amplop coklat yang dipegangnya. “Ini surat panggilan wawancara. Hendra memintaku hadir dalam seleksi karyawan untuk posisi manajer pemasaran di kantornya besok pagi.” Indah memberitahu Adrian setelah membaca isi surat itu.

“Baguslah,” Adrian ikut senang. “Kamu tidak bisa ikut walk interview waktu itu, tapi sebagai gantinya kamu diberi kesempatan untuk mencoba interview lainnya. Dan bicara soal kesempatan, aku rasa sebaiknya kamu juga mencoba kesempatan ini, Indah,” Lagi-lagi Adrian mengeluarkan sesuatu dari dalam tas plastik hitamnya, selembar kartu nama berwarna krem.

Indah membaca kartu nama itu. Septian Rahardja. Editor.

“Septian Rahardja, dia kenalan Hendra. Editor di sebuah penerbitan. Setelah membaca draft novelmu mendadak Hendra teringat akan Septian dan langsung saja dia memberikan kartu namanya padaku agar disampaikan padamu. Mungkin kamu bisa meminta pendapat Septian bila kamu berminat menerbitkan novelmu.”

“Oh,”

“Dan satu lagi. Ini adalah yang terpenting di antara semuanya,”

“Apa lagi?”

Untuk sekian detik lamanya Adrian hanya menatap Indah. Sebelum akhirnya ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas plastik hitamnya lagi, untuk yang keempat kalinya.

Jantung Indah mendadak berdegup kencang. Di tangannya tampak sebuah kartu bertuliskan The Wedding—kartu undangan pernikahan. Berwarna biru langit (warna kesukaannya). Berhiaskan susunan bunga mawar putih (bunga favoritnya) yang membentuk hati. Berinisialkan nama yang ditulis dengan tinta emas. AI.

AI. Adrian-Icha? Indah menebak dalam hati sambil membuka kartu itu.

“Bagaimana, Indah?” Suara Adrian mengusiknya. “Kamu suka desainnya, sayang? Kalau kamu tidak suka, kita bisa menggantinya. Masih ada waktu.”

“Adrian?” Indah tak percaya. “Bukankah orang tuamu…”

“Ya, orang tuaku dan orang tua Icha boleh saja berencana menikahkan kami, tapi sepertinya Tuhan berencana lain. Ternyata Icha juga tidak menyetujui perjodohan itu karena ia sudah punya kekasih. Jadi, ketika kami bertemu dan saling bercerita tentang pasangan kami masing-masing, kami pun sepakat untuk menolak perjodohan itu. Awalnya kedua orang tua kami tetap bersikeras dengan rencana mereka, tapi setelah kami yakinkan bahwa keputusan kami adalah yang terbaik untuk semuanya, akhirnya mereka bisa mengerti.”

“Jadi?”

“Jadi, maukah Indah Wulandari menikah dengan Adrian Lesmana?”

Sekali lagi Indah melihat ke dalam kartu undangan itu. The Wedding. AI. Adrian Lesmana - Indah Wulandari. Sebuah senyum kembali merekah di bibirnya. Lalu dengan anggukan mantap ia menjawab, “Iya, bersedia.”



TAMAT

2 komentar: