Senin, 15 November 2010

Bila Cinta Telah Memilih

Catatan:
-Judulnya terlalu klise, but i had no choice that time. Hahaha.
-Aku tidak ingat kapan tepatnya cerpen ini kutulis.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.


Sinopsis:
Kenyataan bahwa Gilang, kekasihnya, adalah tunangan Marisa, baru diketahui Yolanda saat mereka bertiga tanpa sengaja bertemu di supermarket. Yolanda pun meminta putus, tapi Gilang menolaknya. Kepada Yolanda Gilang menceritakan hal yang sebenarnya tentang pertunangannya dengan Marisa. Di lain pihak, Marisa juga punya sesuatu yang ingin dikatakannya pada Gilang sehubungan dengan pertunangan mereka.


Maharani Menulis:


BILA CINTA TELAH MEMILIH


“Marisa,”

“Yolanda,”

Kedua cewek itu saling berjabatan tangan dan berkenalan.

“Maaf, tadi aku tidak melihatmu,” ujar Marisa sambil menyerahkan barang belanjaan Yolanda yang terjatuh ketika dia tanpa sengaja menabrak lengannya.

“Tidak apa-apa,” Yolanda tersenyum menerima barang belanjaannya. “Terima kasih.”

“Sendirian saja?” tanya Marisa tampak akrab.

“Ya,” Yolanda mengangguk lalu memeriksa keranjang belanjaannya.

“Kau sudah selesai, Marisa?” Seorang laki-laki muda datang menghampiri Marisa.

Marisa menoleh dan tersenyum padanya, “Iya, sayang,” sahutnya lalu memeluk lengan cowok itu. “Oh, ya, mari, kuperkenalkan kau dengan teman baruku,” katanya kemudian. Tepat di saat itu Yolanda mengangkat wajahnya dan memandang ke arah mereka. ”Perkenalkan, ini tunanganku.” Marisa melanjutkan ucapannya dengan mantap.

“Gilang?!” Yolanda terkejut sejenak melihat siapa gerangan cowok yang berada di samping Marisa. Namun begitu, dia cepat-cepat menarik sudut bibirnya dan tersenyum meski dengan perasaan yang tiba-tiba terasa aneh. Tunangan Marisa adalah Gilang?

“Yolanda?!!” Gilang tak kalah terkejutnya ketika pandangan matanya bertemu dengan tatapan Yolanda. “Hai, apa kabar, Yo..landa?” Sapaan Gilang terdengar terbata-bata karena gugup. Cowok itu tampak berusaha keras untuk terlihat tenang, tapi sepertinya gagal.

“Kalian saling kenal?” Marisa tampak bingung. Dipandangnya Gilang dan Yolanda bergantian.

“Iya,” Yolanda yang menjawab. “Kami teman satu kampus,”

“Oh, ya?” Marisa tampak surprise. Masih memeluk lengan Gilang, ia kembali memandangi Gilang dan Yolanda bergantian. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya melihat apa yang sedang terjadi di hadapannya.

Marisa memandang Gilang. Gilang memandang Yolanda. Yolanda memandang Marisa.
    
***

“Yolanda, please! Dengarkan dulu penjelasanku,” Gilang menghadang langkah Yolanda. Mau tak mau Yolanda berhenti meskipun dengan berat hati.

“Ada apa lagi, Lang?” tanya Yolanda mencoba menguasai gejolak hatinya. “Bukankah semuanya sudah jelas? Hubungan kita sudah berakhir,”

“Yolanda?” Gilang menyentuh wajah Yolanda. Cewek itu memalingkan wajahnya, tapi Gilang meraihnya kembali.

“Dengar, Lang,”

“Kamu yang harus dengarkan aku,”

“Hubungan kita sudah berakhir,”

“Itu keputusan sepihak darimu, bukan keputusan kita,”

Yolanda hanya mendesah.

“Aku...masih…mencintaimu!” Gilang menekankan kalimatnya kata per kata. “Aku masih mencintaimu, Yoli.”

Hati Yolanda berdesir halus saat Gilang memanggilnya dengan panggilan sayang itu. Yoli.

Yolanda menatap Gilang yang juga tengah menatapnya.

“Tidak, Lang. Kamu sudah punya tunangan. Kamu sudah punya Marisa. Jadi, tidak mungkin kita terus berhubungan, Lang. Hubungan kita mesti berakhir, Lang,” Yolanda menurunkan tangan Gilang yang masih menyentuh wajahnya.     

“Yoli?” Kali ini Gilang mengusap rambut Yolanda. Dada Yolanda makin berdebar-debar. Panggilan sayang itu benar-benar membuatnya tidak berdaya.

“Tidak mungkin, Lang. Aku tidak bisa.” Yolanda memalingkan wajahnya lagi.
   
“Aku tahu kamu juga masih mencintaiku,” ujar Gilang yakin. Disentuhnya pipi Yolanda lembut. “Iya, kan?” Gilang menatapnya lagi.    



“Jangan mendesakku, Lang!” Mata Yolanda tampak berkaca-kaca. Hatinya bergejolak. Ada perang di sana.
    
“Katakanlah, Yoli.”    

Yolanda memejamkan matanya. “Aku...aku tidak tahu, Lang.” ujarnya dengan suara parau. Bersamaan dengan itu, tampak dua butir air mata berguliran jatuh membasahi kedua pipinya.   
    
“Oh, Yoli,” Gilang merengkuh tubuh Yolanda ke dalam pelukannya dan mendekapnya erat seakan tak ingin melepasnya lagi. Hatinya begitu pedih. “Aku mencintaimu, Yoli. Aku mencintaimu.”
   
“Aku benar-benar tidak tahu, Lang,” Yolanda terisak di dadanya.
   
“Aku hanya mencintaimu, Yoli.” Gilang tampak bersungguh-sungguh dan tulus saat mengucapkan kata-kata itu dan pelukannya pun semakin erat.

***



“Sebenarnya pertunangan ini bukan kemauanku, melainkan kedua orang tua kami,” Gilang mulai bercerita. “Keluargaku dan keluarga Marisa sudah kenal sejak lama. Karena papaku dan papanya Marisa adalah sahabat karib sejak kecil. Mungkin pertunangan kami adalah bagian dari upaya mereka untuk semakin mempererat tali persahabatan mereka. Bahkan sejak kecil aku dan Marisa sudah akrab. Bayangkan saja, dari SD sampai SMU kelas 2, kami selalu bersama-sama, sama-sama satu sekolah, bahkan pernah juga satu kelas. Hanya karena papaku dipindahtugaskan ke sini saja, akhirnya kami berpisah,” Gilang menghentikan ceritanya sejenak. Tampak ia menghela napas pelan. Yolanda yang duduk di sebelahnya memandang ke arahnya.
   
“Aku memang sangat menyayangi Marisa. Bagiku ia sudah seperti adikku sendiri. Namun, aku tidak bisa membayangkan seandainya aku benar-benar hidup bersamanya sementara aku tidak mencintainya.” Gilang menatap Yolanda.
   
“Tapi, Marisa mencintaimu, Lang! Meskipun aku baru sekali bertemu dengannya dan berbicara hanya beberapa menit saja, tapi dari sikapnya padamu aku bisa melihat kalau dia sangat menyayangimu dan membutuhkanmu. Dia juga baik dan anggun.”    

“Aku tahu, Marisa memang sangat baik, ramah, dan pengertian. Dia tidak hanya cantik dan menarik, tapi juga punya kepribadian yang mengagumkan Dia benar-benar tipe wanita yang boleh dibilang dambaan hampir semua laki-laki. Dia memang istimewa dan sempurna, atau setidaknya, nyaris sempurna,” komentar Gilang tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada Marisa, gadis yang ditunangkan padanya.    

Yolanda masih menatapnya.
   
“Tapi, sekali lagi kukatakan padamu, Yoli, aku tidak mencintainya. Aku tidak bisa mencintainya seperti aku mencintaimu. Aku tidak bisa!” Gilang sepertinya begitu tertekan ketika mengucapkan kalimat itu.    

“Kenapa?” Yolanda masih saja tidak bisa mengerti dan tidak habis pikir kenapa Gilang berkata seperti itu. “Aku rasa kamu berlebihan, Lang. Marisa, ah, menurutku tidak ada alasan bagimu untuk tidak mencintainya.”
   
“Yah, mungkin aku bodoh,” kata Gilang tiba-tiba. “Aku tidak tahu, Yoli. Pertunangan ini sebenarnya menyiksaku. Menyakitiku. Dan secara tidak langsung aku juga telah menyakiti Marisa. Yah, dengan berpura-pura mencintainya.” Gilang mendesah lagi.

“Tapi, aku tidak tahu harus berbuat apalagi. Terkadang aku ingin sekali mengatakan perasaanku yang sebenarnya pada Marisa, tapi aku tidak sanggup. Aku tidak bisa menyakitinya. Setiap kali muncul keinginan itu, setiap itu pula aku merasa ada yang melarangku untuk melakukannya. Dan bila aku melihat sorot matanya yang begitu teduh, aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Niat dan keberanianku seketika itu juga lenyap. Aku tidak tega. Yah, seperti katamu, Marisa tampaknya sangat membutuhkanku. Dia sangat menyayangiku.”
   
Mereka terdiam sesaat.

“Kalau boleh aku tahu, sejak kapan kalian bertunangan?” tanya Yolanda memecah keheningan. Nada bicaranya terdengar sangat berhati-hati.

“Sejak satu setengah tahun yang lalu.”    

“Jadi, selama ini…,”    

“Ya,” angguk Gilang pasrah seakan dapat membaca apa yang ada di benak Yolanda, “Maafkan aku, Yoli. Selama ini aku memang telah berbohong tentang pertunanganku dengan Marisa, tapi aku tidak berbohong kalau aku mencintaimu.”

Pandangan mereka kembali beradu. Yolanda merasakan dadanya berdebar.
   
“Tidak, Lang!” Yolanda menggeleng, “Itu tidak benar. Kamu tidak bisa berbuat seperti ini. Kamu tidak saja menyakiti Marisa, tapi juga menyakitiku.” ujar Yolanda dengan suara lirih. “Kenapa kamu lakukan semua ini, Lang?”

“Yoli,” Gilang menggenggam tangan Yolanda. “karena aku mencintaimu. Aku ingin selalu bersamamu.” Gilang menarik jemari Yolanda ke bibirnya dan menciumnya lembut.
   
“Gilang, jangan begitu! Apa kata orang nanti? Apa kamu mau aku dianggap sebagai perebut pacar orang? Aku tidak mau, Lang.” Yolanda berusaha tegar, “Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Marisa kalau ia tahu tunangannya ternyata menjalin hubungan dengan cewek lain. Pasti dia akan sangat sedih dan kecewa.”
   
“Yoli,”    

“Aku merasa bersalah pada Marisa, Lang!”
   
“Jangan merasa bersalah pada Marisa. Akulah yang seharusnya merasa demikian. Akulah yang bersalah. Pada kalian berdua. Tapi, mencintai dan tidak mencintai apakah itu suatu kesalahan?” tanya Gilang, “Apakah mencintaimu dan tidak mencintai Marisa adalah suatu kesalahan?” tegasnya. “Justru menurutku, bila aku harus hidup dengan orang yang tidak kucintai itulah yang merupakan suatu kesalahan.”
   
Yolanda terdiam.
   
“Aku ingin hidup bersama dengan orang yang kucintai, Yoli, dan itu adalah dirimu.”

“Tapi, Lang?”    

“Kamu masih mencintaiku, kan?”

“Aku...,”

“Jawablah! Katakanlah! Kalau kamu memang masih mencintaiku dan kita masih saling mencintai, aku yakin kita berdua akan bisa melalui semua ini.” Gilang tersenyum tipis.
   
“Kamu yakin?” Yolanda tampak ragu-ragu.
   
“Ya,” Kali ini Gilang mengangguk mantap.

***

“Terima kasih, Lang,” kata Marisa pada Gilang saat mereka selesai makan malam dan kini duduk di ruang tengah rumah Marisa di Surabaya. “sudah meluangkan waktu untuk menemuiku,” Kemarin Marisa menelepon Gilang dan tak sampai dua puluh empat jam kemudian Gilang yang berada di Jakarta sudah muncul di hadapan Marisa.

Gilang tersenyum,”Sebenarnya ada apa, sih? Sepertinya urgent sekali.”

Marisa balas tersenyum, “Ya, begitulah.” Cewek itu mendesah, “Oh, ya, apa kabar Yolanda?” tanyanya tiba-tiba membuat Gilang mengerutkan keningnya. Ditatapnya Marisa yang duduk di sampingnya dengan tatapan mata yang menyiratkan bingung dan cemas. Jantungnya mulai berdegup kencang.

“Yoli, eh, maksudku, Yolanda, dia…dia baik. Ya, dia baik-baik saja.” Lagi-lagi Gilang gagal menyembunyikan kegugupannya.

Marisa tersenyum lagi, disentuhnya lengan Gilang dengan lembut, seperti menenangkannya. “Kamu gugup, Lang? Kenapa? Apa pertanyaanku salah?”

“Ya, kurasa, aku memang sedikit gugup,” Gilang mengakuinya dengan malu-malu, “tapi pertanyaanmu tidak salah, kok. Aku hanya merasa aneh saja karena kamu tiba-tiba menanyakan Yolanda. Aku kira kamu tidak ingat padanya.”

“Bagaimana aku bisa lupa pada cewek semanis dan secantik dia. Kamu tahu, setelah pertemuan kami waktu itu aku selalu kepikiran dia,”

“Apakah itu alasanmu memintaku datang? Karena kamu selalu kepikiran Yolanda?” Gilang menatap Marisa dengan hati yang semakin berdebar-debar.

“Ya,” Marisa mengangguk. ”dan itu membuatku ingin menanyakan sesuatu padamu. Tapi kamu harus jujur, ya?”

“Jangan membuatku penasaran, Marisa.”  Gilang mengacak rambut Marisa pelan dan lembut penuh rasa sayang.

Marisa tersenyum lagi.

“Apakah kamu benar-benar mencintaiku?”

Gilang menatapnya.

“Apakah kamu ingin kita berdua menikah?”

Marisa balas menatapnya.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”

“Aku hanya ingin tahu pendapatmu. Jawabanmu,”

“Tentu saja aku menyayangimu bahkan sangat menyayangimu.”

“Aku tahu kamu sangat menyayangiku bahkan sudah ribuan kali kamu mengatakannya,” kata Marisa. “Tapi belum pernah satu kali pun kamu mengatakan kalau kamu mencintaiku. Belum pernah, Lang,”

Gilang terdiam lagi bahkan sekarang kepalanya tertunduk.

“Kamu memang menyayangi Marisa, tapi kamu mencintai Yolanda,” kata Marisa lagi membuat Gilang kembali memandangnya.

“Marisa?” Gilang tidak tahu mesti berkata apa untuk menyangkalnya karena apa yang dikatakan Marisa adalah benar.

“Sudahlah, kamu tidak perlu lagi menutupinya. Aku bisa mengerti, kok.” Marisa berhenti sejenak. “karena aku juga mengalami hal yang sama. Aku mencintai orang lain, Lang,”

“Kamu juga mencintai orang lain? Siapa?”

“Andika. Dia teman kuliahku. Kamu memang belum mengenalnya.”

Gilang merasa lega. “Jadi, kita tidak harus menikah, kan?” tanyanya.

“Tentu saja kita harus menikah,” Marisa menatapnya lagi. “Dengan pasangan kita masing-masing tentunya,”

Gilang tertawa.

“Oh, ya, aku sudah bicara pada orang tuaku tentang hal ini. Pada awalnya mereka memang tidak bisa menerima keputusanku, tapi aku bisa menyakinkan mereka bahwa meskipun kita tidak jadi menikah, kita akan tetap saling menyayangi dan hubungan keluarga kita akan tetap dekat seperti sebelumnya.” ujar Marisa, “Dan kamu juga harus melakukan hal yang sama pada orang tuamu. Yakinkan mereka bahwa apa yang kita putuskan adalah yang terbaik untuk kebahagiaan kita dan juga orang tua kita.”

“Marisa,” Gilang menggenggam tangan cewek itu. “Aku tidak tahu harus bilang apa dan aku juga tidak tahu harus membalas kebaikanmu dengan cara bagaimana. Kamu benar-benar membuatku malu karena ternyata kamu lebih berani mengutarakan kejujuran itu dari pada aku.”

“Tidak juga, Lang, aku juga perlu waktu yang lama dan juga keberanian yang besar untuk bisa mengungkapkan hal ini. Sebenarnya aku sudah ingin mengatakannya saat aku menemuimu di Jakarta beberapa bulan yang lalu, tapi aku belum siap.”

“Oh, kamu juga membuatku merasa semakin bersalah pada Yolanda.”

“Apa maksudmu?”

“Sebenarnya dia baru tahu aku punya tunangan pada saat kita bertemu dengannya di supermarket padahal kami sudah berhubungan selama satu tahun.”

“Gilang?” Marisa tidak percaya. “Kamu sungguh kejam padanya. Kenapa kamu tidak berterus terang saja sejak awal? Pantas saja dia sangat kaget ketika aku memperkenalkanmu sebagai tunanganku. Begitu juga denganmu, kamu kelihatan sangat gugup waktu itu. Ah, Gilang! Kamu memang keterlaluan. Berani-beraninya kamu berbuat sekejam itu pada cewek sebaik Yolanda.”

“Kamu juga yang jadi penyebabnya.”

“Kenapa menyalahkan aku?”

“Karena kamu tidak berterus terang.”

“Kamu sendiri yang tidak berani berterus terang”

Mereka terdiam dan berpandangan lalu tertawa bersama-sama.

***

“Jadi,” Yolanda memandang Gilang yang sejak tadi memperhatikannya, “Marisa juga mencintai orang lain?”

Gilang mengangguk. “Iya, sayang, ternyata Marisa juga mencintai orang lain.” Gilang meraih tangan Yolanda. “Apakah sekarang kamu sudah bisa menjalin hubungan lagi denganku?” Gilang lalu melingkarkan kedua lengannya di pinggang Yolanda dan membawanya mendekat.

“Aku,” Yolanda tersipu. Wajahnya tertunduk, tapi dengan cepat Gilang meraihnya sehingga mereka bertatapan.

“Katakan padaku kalau kamu juga mencintaiku. Katakanlah, Yoli.”

“Aku mencintaimu, Gilang,” Yolanda mengalungkan kedua lengannya di leher Gilang.

Mereka saling bertatapan dan tersenyum.


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar