-Cerpen ini pertama kali aku tulis sekitar tahun 1999 dan telah mengalami beberapa kali revisi sampai akhirnya jadi seperti ini.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya (termasuk majalah sekolahku) dan akhirnya aku publish di blog ini.
Sinopsis:
Rangga tidak suka dengan sikap Sandra yang menurutnya terlalu mencampuri urusannya, seperti memaksanya ikut lomba melukis, meskipun sebenarnya ia juga ingin ikut. Mereka bertengkar. Rangga jadi serba salah apalagi setelah ia tahu Sandra yang selalu menyemangatinya ternyata menyayanginya. Akhirnya setelah cukup lama mempertimbangkannya, untuk membalas kebaikan dan perasaan Sandra, Rangga memberinya kejutan.
Maharani Menulis:
MAWAR MERAH BUAT SANDRA
Untuk kesekian kalinya Rangga mendesah. Melihat apa isi secarik kertas putih di tangannya membuatnya teringat percakapannya dengan Sandra siang tadi.
“Bagaimana, Rangga? Sudah kamu pertimbangkan saranku kemarin?” tanya Sandra. “Soal lomba lukis itu. Kamu akan ikut, kan?”
“Aku rasa tidak,” Rangga menggeleng cepat.
“Bukankah kamu sudah lama menginginkannya?”
“Itu dulu, tapi sekarang aku sudah tidak tertarik lagi,”
“Kenapa?”
“Tidak tertarik ya tidak tertarik,”
“Kamu tidak tertarik lagi atau tidak berani?”
“Siapa bilang aku tidak berani?” Suara tiba-tiba Rangga meninggi.
“Kalau begitu, buktikan!” tantang Sandra.
Rangga tak lagi menimpali, hanya memandang Sandra yang menatapnya.
“Bagaimana, Rangga? Sudah kamu pertimbangkan saranku kemarin?” tanya Sandra. “Soal lomba lukis itu. Kamu akan ikut, kan?”
“Aku rasa tidak,” Rangga menggeleng cepat.
“Bukankah kamu sudah lama menginginkannya?”
“Itu dulu, tapi sekarang aku sudah tidak tertarik lagi,”
“Kenapa?”
“Tidak tertarik ya tidak tertarik,”
“Kamu tidak tertarik lagi atau tidak berani?”
“Siapa bilang aku tidak berani?” Suara tiba-tiba Rangga meninggi.
“Kalau begitu, buktikan!” tantang Sandra.
Rangga tak lagi menimpali, hanya memandang Sandra yang menatapnya.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Rangga sudah meluncur bersama sepeda motornya ke sekolah. Dia berharap udara pagi yang sejuk dapat menjernihkan pikirannya yang masih kacau.
“Selamat pagi, Rangga,” Sandra menyapanya begitu dia masuk kelas.
“Pagi, Sandra,” balas Rangga tersenyum, meski terkesan dipaksakan.
“Semalam kamu pasti kurang tidur,” Sandra mengikuti langkah Rangga menuju bangkunya. “Kamu terlihat lesu dan kurang bersemangat.”
Rangga duduk di bangkunya, sedangkan Sandra tetap berdiri di sebelah mejanya, menghadapnya. “Kamu tahu kenapa? Karena aku sedang memikirkan sesuatu dan itu membuatku susah sekali tidur nyenyak,”
“Apa itu?” Sandra terdengar antusias. “Apa ada hubungannya dengan lomba lukis itu? Apa kamu sudah memutuskan akan melukis apa? Meskipun tema lukisannya bebas, tapi aku yakin kamu bisa membuat sebuah lukisan yang istimewa karena kamu punya bakat melukis yang luar biasa. Tapi, karena batas waktu penyerahan karya hanya tinggal 3 minggu lagi, jadi kamu harus segera mengerjakannya. Dan yang tidak kalah paling penting, jangan lupa mengisi formulir pendaftaran lomba lukis itu untuk diserahkan bersama lukisan karyamu. Bagaimana, Rangga? Kamu sudah siap, kan?”
“Sandra,” potong Rangga. Senyum tipis di bibirnya sudah lenyap. Tapi, tatapan matanya yang tajam tak beranjak dari wajah Sandra sedetikpun saat Sandra mengucapkan kata-katanya tadi.
“Ya?” Sandra tersenyum.
“Ikut lomba itu atau tidak bukanlah urusanmu, melainkan urusanku. Jadi, sebaiknya kamu tidak perlu ikut mengurusi apalagi mencampuri sesuatu yang bukan urusanmu. Apa kamu mengerti?”
“Aku hanya ingin membantumu, Rangga”
“Aku hargai itu. Tapi, tolong hargai juga keputusanku,”
“Jadi, kamu tidak akan ikut lomba itu?” Mata indah Sandra menatapnya, ia tampak kecewa. “Tapi, Rangga, lomba itu adalah kesempatanmu. Dengan mengikutinya kamu bisa mengasah atau setidaknya bisa tahu sejauh mana bakat melukismu. Soal menang atau kalah itu urusan nanti. Yang utama kamu harus mencobanya dulu. Tidak ada salahnya, kan? Apa ruginya? Lagipula bukankah kita tidak akan tahu akan seperti apa hasilnya bila kita tidak pernah mencobanya. Jadi, jangan menyerah sebelum bertanding karena itu hanyalah sikap seorang pengecut.”
“Cukup!” Rangga spontan berdiri dari duduknya dan balas menatapnya, marah. “Jangan pernah menyebutku pengecut. Kamu tak berhak, Sandra,”
“Oh, ya?” Sandra berubah sinis. “Bagaimana kalau pecundang?”
“Sandra!”
“Kenapa? Kamu marah? Silakan. Tapi, bila melihat sikapmu sekarang, aku rasa sebutan pengecut atau pencundang pantas untukmu. Jadi, sia-sia saja selama ini aku mendukungmu. Tidak ada gunanya aku peduli padamu. Kamu bahkan tidak mengerti kalau semua itu aku lakukan karena aku sayang padamu,”
“Apa katamu?” Rangga terkejut.
Sandra sendiri juga kaget. Tapi, untunglah bel tanda masuk berbunyi sehingga ia tidak perlu mengulangi ucapannya dan segera menuju ke bangkunya sendiri yang berjarak dua lajur dari bangku Rangga.
Rangga hanya menatap kepergiannya, tak berusaha memanggilnya.
“Rangga,” Anto, teman sebangkunya yang tahu-tahu sudah duduk di sampingnya, menegurnya. “Sampai kapan kamu akan berdiri terus? Pak Burhan sudah masuk, tuh.” Tapi, Rangga tak bereaksi. “Kamu sedang memandangi siapa, sih?” Anto mengikuti arah pandangan Rangga. “Sandra, ya? Pantas saja. Dia memang cantik dan baik hati. Seandainya dia mau sedikit saja memperhatikanku, aku pasti tidak akan melepaskannya,” Kali ini Rangga menoleh padanya. “Sorry, Rangga. Aku cuma bercanda,” Anto gelagapan. “Dia milikmu, kok. Jadi, jangan khawatir, ya?”
“Apa kamu bilang?” Rangga melotot padanya. Anto menggeleng kikuk.
“Ada apa, Rangga?” Pak Burhan melemparkan pandangannya ke arah bangku Rangga dan Anto.
“Tidak ada apa-apa, Pak. Maaf,” Rangga buru-buru duduk karena ternyata hampir semua temannya juga memandangnya, kecuali seorang, Sandra.
Sudah hampir satu jam berlalu, tapi kain kanvas yang terpampang di depan Rangga masih bersih. Tidak ada goresan apapun di sana, tak juga setetes cat lukis. Dan hal itu sudah berlangsung selama satu minggu ini. Ia mencoba melukis, tapi tidak tahu hendak melukis apa. Padahal biasanya goresan-goresan yang meski hanya asal saja, akan menghasilkan sesuatu objek bahkan sebuah lukisan indah. Jadi, selama ini Rangga hanya terpaku memandangi kain kanvas itu seakan-akan ingin melukisnya dengan tatapan matanya.
Agaknya percakapannya dengan Sandra pagi itu dan sikapnya hari-hari berikutnya telah mempengaruhi Rangga. Ia jadi sulit berkonsentrasi terutama bila ingin melukis. Untungnya ia masih bisa menyimak pelajaran di sekolah dengan baik. Tapi, tetap saja ia merasa ada sesuatu yang kurang. Sepertinya ada sesuatu yang hilang. Dan itu adalah kebersamaannya dengan Sandra. Karena sejak pagi itu Sandra seperti menjauhinya. Meskipun sekelas, tapi mereka nyaris tidak pernah saling bicara lagi. Kalaupun ada pembicaraan, itupun hanya sekedar sapaan selamat pagi atau selamat siang. Sandra mendadak jadi sering datang sesaat sebelum bel tanda masuk berbunyi dan segara pulang begitu bel akhir sekolah berdering. Kalau jam istirahat pun, Sandra bisa mendadak menghilang dan baru kembali ke kelas ketika pelajaran berikutnya akan dimulai.
“Rangga,” Ibunya menghampirinya. Rangga membuat reaksi terkejut. “Kalau perutmu kosong, bagaimana kamu punya semangat untuk melukis? Yang ada malah bengong. Sejak pagi kamu belum makan, kan?” Ibunya tersenyum memandang kain kanvas kosong itu.
“Ibu,” Rangga memandang ibunya yang berdiri di sampingnya. “Apa menurut ibu, Rangga ini pengecut? Atau pecundang?”
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Ibunya balas memandangnya.
Sejenak Rangga ragu-ragu, tapi akhirnya ia menceritakan perihal lomba lukis yang disarankan Sandra untuk diikutinya dan percakapannya dengan Sandra. Setelah mendengar ceritanya, Ibunya menepuk pundaknya. “Pantas saja akhir-akhir ini Ibu jarang mendengarmu membicarakan Sandra. Hari ini dia juga tidak datang padahal biasanya kalau hari minggu seperti ini dia main ke rumah. Ternyata kalian sedang bertengkar, ya?”
“Ibu,” Rangga terkesan keberatan digoda seperti itu.
Ibunya tersenyum.
“Rangga, menurut ibu apa yang dikatakan Sandra ada benarnya. Seorang ksatria sejati tidak akan meninggalkan medan pertempuran sebelum pertempuran itu dimulai. Tak peduli ia akan kalah atau menang nantinya, dengan usaha terbaiknya, ia akan tetap bertempur sampai akhir. Jika ia menang, ia pasti akan merasa bangga. Kalaupun ia kalah, ia tidak akan menyesal. Karena ia sudah bertempur menggunakan seluruh kemampuan yang dimilikinya dengan sebaik-baiknya.”
Rangga masih memandang ibunya.
“Jadi, kalau ibu boleh memberi saran, Rangga, karena kamu suka melukis dan ibu lihat kamu punya bakat melukis, kenapa tidak mencoba ikut lomba itu? Sandra benar, kalau kamu tidak mencobanya, kamu tidak akan tahu hasilnya. Menang kalah itu hal yang biasa dalam sebuah kompetisi. Yang penting kamu sudah berusaha. Dan satu lagi yang harus kamu ingat, Rangga. Tidak perlu merasa malu mengakui kalau kamu ingin orang lain memperhatikan kemampuanmu dan jangan pula sungkan meminta dukungan mereka. Sikap pesimis hanya akan membuatmu tidak percaya diri dan sikap egois akan membuatmu berjuang sendirian. Keduanya bukanlah sikap yang terpuji. Kamu mengerti maksud ibu, Rangga?”
Rangga mengangguk. “Terima kasih, Bu,”
“Nah, sekarang sebaiknya kamu makan dulu,” Ibu Rangga mengusap rambut Rangga. “Oh, ya, kalau besok kamu bertemu Sandra, tolong sampaikan padanya bahwa bunga mawar merah yang ditanamnya di taman sebentar lagi mekar. Mungkin dua atau tiga hari lagi. Dia pasti akan sedih kalau sampai melewatkannya,” lanjutnya sebelum berlalu pergi.
Rangga mengangguk lagi.
Sepeninggal ibunya Rangga kembali memandangi kain kanvasnya yang masih kosong sambil merenungkan perkataan ibunya dan tiba-tiba saja mata indah Sandra dan bunga mawar merahnya seolah-olah terlukis di sana.
Rangga sengaja menunggu Sandra yang baru saja masuk toilet wanita yang terletak di samping ruang perpustakaan sambil menyandarkan badannya di tembok. Meskipun merasa tidak enak karena bisa saja ia disangka sedang berbuat yang tidak-tidak, tapi ia mencoba tidak peduli. Karena sudah dua hari ia mencoba mencari kesempatan bicara dengan Sandra, tapi selalu gagal. Jadi, hari ini ia harus berhasil.
Tak sampai sepuluh menit, akhirnya Sandra keluar dari toilet dan Rangga tidak mau buang-buang waktu lagi. Segera saja ia menghadang langkah Sandra.
“Rangga?” Sandra tentu saja kaget melihat Rangga mendadak muncul di hadapannya, di depan toilet wanita pula. “Apa…apa yang kamu lakukan di sini? Ini toilet wanita. Apa kamu tidak membaca tandanya?”
“Aku tahu tindakanku mungkin tidak sopan,” Rangga tampak gugup. “Tapi, aku terpaksa melakukannya. Karena kamu harus ikut denganku sekarang,”
“Sekarang? Kemana?”
“Ayo pergi,” Rangga meraih tangan kanan Sandra, menggenggam jemarinya, dan membawanya keluar dari toilet wanita. Sandra yang tak bisa lagi menghindar, akhirnya menurut saja. Diikutinya langkah kaki Rangga yang tergesa-gesa dengan dada berdebar-debar.
Rangga menghentikan langkahnya di pelataran tempat parkir sekolah. “Kamu tunggu di sini, ya? Aku ambil motorku dulu,” Rangga sudah keburu pergi sebelum Sandra menyetujuinya. Mau tak mau Sandra menunggunya.
Rangga muncul lima menit kemudian dengan sepeda motornya. “Nih, pakai helm-mu,” Rangga menyerahkan sebuah helm pada Sandra. “Ayo, naik,” lanjutnya setelah melihat Sandra sudah mengenakan helm-nya. Lagi-lagi Sandra tidak bisa menolak.
“Memangnya kamu mau aku ikut kemana?” tanya Sasha setelah duduk di belakang Rangga yang mulai melajukan sepeda motornya meninggalkan sekolah.
“Nanti kamu juga tahu,” jawab Rangga.
Sepeda motor itu melaju dengan kecepatan cukup tinggi sehingga Sandra tidak punya pilihan lain kecuali memeluk pinggang Rangga erat-erat agar tidak terjatuh, meskipun tindakannya itu membuat wajahnya terasa panas karena malu. Padahal ia biasa melakukannya bila Rangga memboncengkannya saat mereka berangkat atau pulang sekolah.
Dua puluh menit kemudian mereka sampai di halaman gedung kabupaten. Setelah memarkir sepeda motornya Rangga segera mengajak Sandra masuk ke dalam aula gedung kabupaten yang terlihat ramai, sebuah pameran lukisan sedang berlangsung di sana. Sandra yang menyadarinya terlihat surprise.
“Rangga, apa ini artinya...,” Sandra tidak bisa meneruskan kata-katanya ketika Rangga menghentikan langkah mereka di depan sebuah lukisan dengan objek sebuket bunga mawar merah yang menutupi hampir seraut wajah sehingga yang terlihat hanyalah sepasang mata indahnya. Sandra sempat ternganga melihatnya. Seakan-akan ia melihat dirinya sedang memandang balik padanya melalui sebuket bunga mawar merah. Sandra mencari-cari judul lukisan itu dan menemukannya: Mawar merah Buat Sandra karya Rangga Warsita (SMU Harapan), Juara berbakat I. “Jadi, ini lukisanmu? Oh, indah sekali,” Sandra refleks menggenggam kedua tangan Rangga. “Apa…apa itu benar-benar aku? Maksudku, Mataku apa seperti itu?” Sandra memandangnya tak percaya.
“Setidaknya begitulah yang bisa kulukiskan,” Rangga sedikit tersipu. “Sebenarnya aku ingin melukis senyummu, tapi belakangan ini aku tidak pernah lagi melihat senyummu,”
Sandra tersenyum mendengar ucapan Rangga. “Terima kasih, ya, kamu sudah bersedia ikut lomba lukis ini. Dapat juara berbakat pula. Selamat, ya. Dan maafkan aku kalau ucapanku waktu itu sudah membuatmu marah,” Sandra hendak melepaskan genggaman tangannya, tapi Rangga justru balas menggenggamnya.
“Akulah yang harus berterima kasih padamu karena telah mendukungku. Juga atas sikapku waktu itu yang mungkin kurang berkenan di hatimu, aku minta maaf,” Rangga balas tersenyum. “Dan sepertinya mulai sekarang aku akan selalu membutuhkan dukunganmu, Sandra. Apa kamu bersedia memberikannya?”
“Apa itu artinya kamu tidak lagi keberatan kalau aku…aku peduli padamu, kalau aku menyayangimu?”
“Sama sekali tidak. Karena ternyata aku merasa kehilangan saat kamu tak peduli padaku. Karena aku juga menyayangimu, Sandra,”
Keduanya bertatapan. Masih tersenyum dan bergenggaman.
“Oh, ya, hampir saja aku lupa,” kata Rangga. “Bunga mawar merah yang kamu tanam di taman rumahku sekarang sudah mekar,”
“Oh, ya? Pasti indah sekali,”
“Ya, aku sudah melihatnya. Dan sebenarnya tadi pagi aku sudah berniat membawanya ke sekolah untuk kutunjukkan padamu, tapi itu berarti aku harus membawanya bersama potnya dan itu merepotkan. Jadi, aku mengurungkannya dan kuputuskan untuk mengajakmu ke rumahku. Bagaimana, Sandra? Kamu mau melihatnya?
“Dengan senang hati,”
“Kalau begitu, ayo ke rumahku,”
Rangga melepaskan genggamannya dan sebagai gantinya ia merangkul pundak Sandra dan membawanya meninggalkan aula gedung kabupaten itu.
TAMAT
“Selamat pagi, Rangga,” Sandra menyapanya begitu dia masuk kelas.
“Pagi, Sandra,” balas Rangga tersenyum, meski terkesan dipaksakan.
“Semalam kamu pasti kurang tidur,” Sandra mengikuti langkah Rangga menuju bangkunya. “Kamu terlihat lesu dan kurang bersemangat.”
Rangga duduk di bangkunya, sedangkan Sandra tetap berdiri di sebelah mejanya, menghadapnya. “Kamu tahu kenapa? Karena aku sedang memikirkan sesuatu dan itu membuatku susah sekali tidur nyenyak,”
“Apa itu?” Sandra terdengar antusias. “Apa ada hubungannya dengan lomba lukis itu? Apa kamu sudah memutuskan akan melukis apa? Meskipun tema lukisannya bebas, tapi aku yakin kamu bisa membuat sebuah lukisan yang istimewa karena kamu punya bakat melukis yang luar biasa. Tapi, karena batas waktu penyerahan karya hanya tinggal 3 minggu lagi, jadi kamu harus segera mengerjakannya. Dan yang tidak kalah paling penting, jangan lupa mengisi formulir pendaftaran lomba lukis itu untuk diserahkan bersama lukisan karyamu. Bagaimana, Rangga? Kamu sudah siap, kan?”
“Sandra,” potong Rangga. Senyum tipis di bibirnya sudah lenyap. Tapi, tatapan matanya yang tajam tak beranjak dari wajah Sandra sedetikpun saat Sandra mengucapkan kata-katanya tadi.
“Ya?” Sandra tersenyum.
“Ikut lomba itu atau tidak bukanlah urusanmu, melainkan urusanku. Jadi, sebaiknya kamu tidak perlu ikut mengurusi apalagi mencampuri sesuatu yang bukan urusanmu. Apa kamu mengerti?”
“Aku hanya ingin membantumu, Rangga”
“Aku hargai itu. Tapi, tolong hargai juga keputusanku,”
“Jadi, kamu tidak akan ikut lomba itu?” Mata indah Sandra menatapnya, ia tampak kecewa. “Tapi, Rangga, lomba itu adalah kesempatanmu. Dengan mengikutinya kamu bisa mengasah atau setidaknya bisa tahu sejauh mana bakat melukismu. Soal menang atau kalah itu urusan nanti. Yang utama kamu harus mencobanya dulu. Tidak ada salahnya, kan? Apa ruginya? Lagipula bukankah kita tidak akan tahu akan seperti apa hasilnya bila kita tidak pernah mencobanya. Jadi, jangan menyerah sebelum bertanding karena itu hanyalah sikap seorang pengecut.”
“Cukup!” Rangga spontan berdiri dari duduknya dan balas menatapnya, marah. “Jangan pernah menyebutku pengecut. Kamu tak berhak, Sandra,”
“Oh, ya?” Sandra berubah sinis. “Bagaimana kalau pecundang?”
“Sandra!”
“Kenapa? Kamu marah? Silakan. Tapi, bila melihat sikapmu sekarang, aku rasa sebutan pengecut atau pencundang pantas untukmu. Jadi, sia-sia saja selama ini aku mendukungmu. Tidak ada gunanya aku peduli padamu. Kamu bahkan tidak mengerti kalau semua itu aku lakukan karena aku sayang padamu,”
“Apa katamu?” Rangga terkejut.
Sandra sendiri juga kaget. Tapi, untunglah bel tanda masuk berbunyi sehingga ia tidak perlu mengulangi ucapannya dan segera menuju ke bangkunya sendiri yang berjarak dua lajur dari bangku Rangga.
Rangga hanya menatap kepergiannya, tak berusaha memanggilnya.
“Rangga,” Anto, teman sebangkunya yang tahu-tahu sudah duduk di sampingnya, menegurnya. “Sampai kapan kamu akan berdiri terus? Pak Burhan sudah masuk, tuh.” Tapi, Rangga tak bereaksi. “Kamu sedang memandangi siapa, sih?” Anto mengikuti arah pandangan Rangga. “Sandra, ya? Pantas saja. Dia memang cantik dan baik hati. Seandainya dia mau sedikit saja memperhatikanku, aku pasti tidak akan melepaskannya,” Kali ini Rangga menoleh padanya. “Sorry, Rangga. Aku cuma bercanda,” Anto gelagapan. “Dia milikmu, kok. Jadi, jangan khawatir, ya?”
“Apa kamu bilang?” Rangga melotot padanya. Anto menggeleng kikuk.
“Ada apa, Rangga?” Pak Burhan melemparkan pandangannya ke arah bangku Rangga dan Anto.
“Tidak ada apa-apa, Pak. Maaf,” Rangga buru-buru duduk karena ternyata hampir semua temannya juga memandangnya, kecuali seorang, Sandra.
***
Sudah hampir satu jam berlalu, tapi kain kanvas yang terpampang di depan Rangga masih bersih. Tidak ada goresan apapun di sana, tak juga setetes cat lukis. Dan hal itu sudah berlangsung selama satu minggu ini. Ia mencoba melukis, tapi tidak tahu hendak melukis apa. Padahal biasanya goresan-goresan yang meski hanya asal saja, akan menghasilkan sesuatu objek bahkan sebuah lukisan indah. Jadi, selama ini Rangga hanya terpaku memandangi kain kanvas itu seakan-akan ingin melukisnya dengan tatapan matanya.
Agaknya percakapannya dengan Sandra pagi itu dan sikapnya hari-hari berikutnya telah mempengaruhi Rangga. Ia jadi sulit berkonsentrasi terutama bila ingin melukis. Untungnya ia masih bisa menyimak pelajaran di sekolah dengan baik. Tapi, tetap saja ia merasa ada sesuatu yang kurang. Sepertinya ada sesuatu yang hilang. Dan itu adalah kebersamaannya dengan Sandra. Karena sejak pagi itu Sandra seperti menjauhinya. Meskipun sekelas, tapi mereka nyaris tidak pernah saling bicara lagi. Kalaupun ada pembicaraan, itupun hanya sekedar sapaan selamat pagi atau selamat siang. Sandra mendadak jadi sering datang sesaat sebelum bel tanda masuk berbunyi dan segara pulang begitu bel akhir sekolah berdering. Kalau jam istirahat pun, Sandra bisa mendadak menghilang dan baru kembali ke kelas ketika pelajaran berikutnya akan dimulai.
“Rangga,” Ibunya menghampirinya. Rangga membuat reaksi terkejut. “Kalau perutmu kosong, bagaimana kamu punya semangat untuk melukis? Yang ada malah bengong. Sejak pagi kamu belum makan, kan?” Ibunya tersenyum memandang kain kanvas kosong itu.
“Ibu,” Rangga memandang ibunya yang berdiri di sampingnya. “Apa menurut ibu, Rangga ini pengecut? Atau pecundang?”
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Ibunya balas memandangnya.
Sejenak Rangga ragu-ragu, tapi akhirnya ia menceritakan perihal lomba lukis yang disarankan Sandra untuk diikutinya dan percakapannya dengan Sandra. Setelah mendengar ceritanya, Ibunya menepuk pundaknya. “Pantas saja akhir-akhir ini Ibu jarang mendengarmu membicarakan Sandra. Hari ini dia juga tidak datang padahal biasanya kalau hari minggu seperti ini dia main ke rumah. Ternyata kalian sedang bertengkar, ya?”
“Ibu,” Rangga terkesan keberatan digoda seperti itu.
Ibunya tersenyum.
“Rangga, menurut ibu apa yang dikatakan Sandra ada benarnya. Seorang ksatria sejati tidak akan meninggalkan medan pertempuran sebelum pertempuran itu dimulai. Tak peduli ia akan kalah atau menang nantinya, dengan usaha terbaiknya, ia akan tetap bertempur sampai akhir. Jika ia menang, ia pasti akan merasa bangga. Kalaupun ia kalah, ia tidak akan menyesal. Karena ia sudah bertempur menggunakan seluruh kemampuan yang dimilikinya dengan sebaik-baiknya.”
Rangga masih memandang ibunya.
“Jadi, kalau ibu boleh memberi saran, Rangga, karena kamu suka melukis dan ibu lihat kamu punya bakat melukis, kenapa tidak mencoba ikut lomba itu? Sandra benar, kalau kamu tidak mencobanya, kamu tidak akan tahu hasilnya. Menang kalah itu hal yang biasa dalam sebuah kompetisi. Yang penting kamu sudah berusaha. Dan satu lagi yang harus kamu ingat, Rangga. Tidak perlu merasa malu mengakui kalau kamu ingin orang lain memperhatikan kemampuanmu dan jangan pula sungkan meminta dukungan mereka. Sikap pesimis hanya akan membuatmu tidak percaya diri dan sikap egois akan membuatmu berjuang sendirian. Keduanya bukanlah sikap yang terpuji. Kamu mengerti maksud ibu, Rangga?”
Rangga mengangguk. “Terima kasih, Bu,”
“Nah, sekarang sebaiknya kamu makan dulu,” Ibu Rangga mengusap rambut Rangga. “Oh, ya, kalau besok kamu bertemu Sandra, tolong sampaikan padanya bahwa bunga mawar merah yang ditanamnya di taman sebentar lagi mekar. Mungkin dua atau tiga hari lagi. Dia pasti akan sedih kalau sampai melewatkannya,” lanjutnya sebelum berlalu pergi.
Rangga mengangguk lagi.
Sepeninggal ibunya Rangga kembali memandangi kain kanvasnya yang masih kosong sambil merenungkan perkataan ibunya dan tiba-tiba saja mata indah Sandra dan bunga mawar merahnya seolah-olah terlukis di sana.
***
Rangga sengaja menunggu Sandra yang baru saja masuk toilet wanita yang terletak di samping ruang perpustakaan sambil menyandarkan badannya di tembok. Meskipun merasa tidak enak karena bisa saja ia disangka sedang berbuat yang tidak-tidak, tapi ia mencoba tidak peduli. Karena sudah dua hari ia mencoba mencari kesempatan bicara dengan Sandra, tapi selalu gagal. Jadi, hari ini ia harus berhasil.
Tak sampai sepuluh menit, akhirnya Sandra keluar dari toilet dan Rangga tidak mau buang-buang waktu lagi. Segera saja ia menghadang langkah Sandra.
“Rangga?” Sandra tentu saja kaget melihat Rangga mendadak muncul di hadapannya, di depan toilet wanita pula. “Apa…apa yang kamu lakukan di sini? Ini toilet wanita. Apa kamu tidak membaca tandanya?”
“Aku tahu tindakanku mungkin tidak sopan,” Rangga tampak gugup. “Tapi, aku terpaksa melakukannya. Karena kamu harus ikut denganku sekarang,”
“Sekarang? Kemana?”
“Ayo pergi,” Rangga meraih tangan kanan Sandra, menggenggam jemarinya, dan membawanya keluar dari toilet wanita. Sandra yang tak bisa lagi menghindar, akhirnya menurut saja. Diikutinya langkah kaki Rangga yang tergesa-gesa dengan dada berdebar-debar.
Rangga menghentikan langkahnya di pelataran tempat parkir sekolah. “Kamu tunggu di sini, ya? Aku ambil motorku dulu,” Rangga sudah keburu pergi sebelum Sandra menyetujuinya. Mau tak mau Sandra menunggunya.
Rangga muncul lima menit kemudian dengan sepeda motornya. “Nih, pakai helm-mu,” Rangga menyerahkan sebuah helm pada Sandra. “Ayo, naik,” lanjutnya setelah melihat Sandra sudah mengenakan helm-nya. Lagi-lagi Sandra tidak bisa menolak.
“Memangnya kamu mau aku ikut kemana?” tanya Sasha setelah duduk di belakang Rangga yang mulai melajukan sepeda motornya meninggalkan sekolah.
“Nanti kamu juga tahu,” jawab Rangga.
Sepeda motor itu melaju dengan kecepatan cukup tinggi sehingga Sandra tidak punya pilihan lain kecuali memeluk pinggang Rangga erat-erat agar tidak terjatuh, meskipun tindakannya itu membuat wajahnya terasa panas karena malu. Padahal ia biasa melakukannya bila Rangga memboncengkannya saat mereka berangkat atau pulang sekolah.
Dua puluh menit kemudian mereka sampai di halaman gedung kabupaten. Setelah memarkir sepeda motornya Rangga segera mengajak Sandra masuk ke dalam aula gedung kabupaten yang terlihat ramai, sebuah pameran lukisan sedang berlangsung di sana. Sandra yang menyadarinya terlihat surprise.
“Rangga, apa ini artinya...,” Sandra tidak bisa meneruskan kata-katanya ketika Rangga menghentikan langkah mereka di depan sebuah lukisan dengan objek sebuket bunga mawar merah yang menutupi hampir seraut wajah sehingga yang terlihat hanyalah sepasang mata indahnya. Sandra sempat ternganga melihatnya. Seakan-akan ia melihat dirinya sedang memandang balik padanya melalui sebuket bunga mawar merah. Sandra mencari-cari judul lukisan itu dan menemukannya: Mawar merah Buat Sandra karya Rangga Warsita (SMU Harapan), Juara berbakat I. “Jadi, ini lukisanmu? Oh, indah sekali,” Sandra refleks menggenggam kedua tangan Rangga. “Apa…apa itu benar-benar aku? Maksudku, Mataku apa seperti itu?” Sandra memandangnya tak percaya.
“Setidaknya begitulah yang bisa kulukiskan,” Rangga sedikit tersipu. “Sebenarnya aku ingin melukis senyummu, tapi belakangan ini aku tidak pernah lagi melihat senyummu,”
Sandra tersenyum mendengar ucapan Rangga. “Terima kasih, ya, kamu sudah bersedia ikut lomba lukis ini. Dapat juara berbakat pula. Selamat, ya. Dan maafkan aku kalau ucapanku waktu itu sudah membuatmu marah,” Sandra hendak melepaskan genggaman tangannya, tapi Rangga justru balas menggenggamnya.
“Akulah yang harus berterima kasih padamu karena telah mendukungku. Juga atas sikapku waktu itu yang mungkin kurang berkenan di hatimu, aku minta maaf,” Rangga balas tersenyum. “Dan sepertinya mulai sekarang aku akan selalu membutuhkan dukunganmu, Sandra. Apa kamu bersedia memberikannya?”
“Apa itu artinya kamu tidak lagi keberatan kalau aku…aku peduli padamu, kalau aku menyayangimu?”
“Sama sekali tidak. Karena ternyata aku merasa kehilangan saat kamu tak peduli padaku. Karena aku juga menyayangimu, Sandra,”
Keduanya bertatapan. Masih tersenyum dan bergenggaman.
“Oh, ya, hampir saja aku lupa,” kata Rangga. “Bunga mawar merah yang kamu tanam di taman rumahku sekarang sudah mekar,”
“Oh, ya? Pasti indah sekali,”
“Ya, aku sudah melihatnya. Dan sebenarnya tadi pagi aku sudah berniat membawanya ke sekolah untuk kutunjukkan padamu, tapi itu berarti aku harus membawanya bersama potnya dan itu merepotkan. Jadi, aku mengurungkannya dan kuputuskan untuk mengajakmu ke rumahku. Bagaimana, Sandra? Kamu mau melihatnya?
“Dengan senang hati,”
“Kalau begitu, ayo ke rumahku,”
Rangga melepaskan genggamannya dan sebagai gantinya ia merangkul pundak Sandra dan membawanya meninggalkan aula gedung kabupaten itu.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar