Senin, 15 November 2010

Hatiku Bukan Pualam

Catatan:
-Judulnya terkesan puitis. Tapi, bukankah demikian adanya sebuah hati? Hati adalah perasaan yang bisa merasakan semua hal yang terjadi pada diri seseorang. Sedangkan pualam adalah sejenis batu yang merupakan benda mati dan tidak bisa merasakan apapun. Hehehe. Semoga sok puitis-ku masih bisa diterima.
-Aku tidak ingat kapan cerpen ini kutulis.
-Cerpen ini mengalamai berkali-kali revisi sampai akhirnya aku merasa cukup puas dengan hasilnya yang seperti ini.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis:
Arel dan Rico adalah sepasang kekasih. Kalau Rico bisa pergi dengan cewek lain, Arel pun bisa pergi dengan cowok lain. Kasih, begitu pikir Arel. Namun, ketika Arel pergi dengan Deni, Rico marah besar. Mereka lagi-lagi berdebat. Arel yang sudah lelah menghadapi sikap Rico akhirnya berinisiatif mengambil keputusan yang sebenarnya berat dilakukannya.



Maharani Menulis:



HATIKU BUKAN PUALAM


“Kamu serius mau pergi dengan Deni, Rel?” tanya Vina setelah merebahkan tubuhnya di kasur Arel yang empuk.

Arel yang sedang menyisir rambutnya menoleh ke arah teman satu kosnya itu sekilas. “Seriuslah,” jawabnya. “Apa kamu tidak melihat aku sedang bersiap-siap?”

“Tapi, Rel,” Vina ingin protes, tapi ragu-ragu.

“Tapi, apa, Vi? Kamu keberatan?” tanya Arel sambil memoleskan lipstik di bibirnya tipis-tipis.

“Hah? Aku keberatan? Yang benar saja,” Vina tidak terima.

“Ya, siapa tahu kamu diam-diam naksir Deni. Jadi, wajar saja kan kamu keberatan kalau aku pergi dengannya?”

“Aurelita, sayang,” Vina memandang sahabatnya yang kini tampak sedang mematut-matut dirinya di depan cermin. “Aku hanya khawatir,”

“Khawatir kalau aku akan jatuh cinta padanya?” sela Arel. “Oh, tenang saja, Vina sayang. Aku akan menjaga perasaanku dengan sebaik-baiknya agar tidak jatuh cinta padanya. Tapi, aku tidak bisa menjamin kalau Deni tidak akan jatuh cinta padaku, ya?”

“Bukan itu. Aku tahu kamu bukan tipe cewek yang mudah jatuh cinta. Tapi kalau Deni, aku tidak tahu. Ini soal Rico,” Vina tiba-tiba seraya memandang serius ke arah Vina yang sedang memeriksa tas tangannya. “Aku khawatir soal kekasihmu itu. Kalau dia tahu kamu pergi dengan Deni, kira-kira bagaimana reaksinya, ya? Dia pasti akan menghajar Deni dan mungkin saja akan marah padamu,”

Arel membalas tatapan Vina. “Kalau dia akan menghajar Deni, aku bisa memakluminya. Tapi, kalau dia marah padaku, rasanya itu tidak adil. Aku saja tidak pernah marah bila dia pergi dengan cewek lain. Jadi, kenapa dia mesti marah kalau aku pergi dengan cowok lain?” Dia saja bisa pergi dengan cewek lain, kenapa aku tidak bisa?”

Vina melongo mendengar perkataan Arel. Sementara Arel tersenyum manis padanya.

“Sudah ya, aku pergi dulu,” Arel melihat arloji di tangan kanannya. “Sebentar lagi Rico datang. Aku tidak mau membuatnya terlalu lama menunggu. See you,”

Vina tersenyum lagi. “Take care,”

Arel mengangguk. Lalu pergi meninggalkan kamarnya.

***



“Ada yang bilang padaku semalam kamu pergi dengan Deni. Apa itu benar, Rel?” tanya Rico tanpa basa-basi saat mereka bertemu keesokan paginya.

“Iya,” Arel tidak menyangkalnya. “Semalam kami pergi nonton film lalu makan malam. Ternyata Deni orangnya enak diajak ngobrol, ya? Dia sangat menyenangkan. Dan aku baru tahu itu,” Arel tersenyum tipis dan matanya tampak berbinar senang ketika mengucapkan kalimat-kalimat itu.

Rico menatapnya tajam. Wajahnya tampak gusar. Arel kembali tersenyum. Dibalasnya tatapan Rico yang seperti hendak menelannya mentah-mentah.

“Kamu tidak suka aku pergi dengan Deni?” tanya Arel seperti menantang Rico. “Kenapa, Ric? Apa karena aku adalah kekasihmu sehingga aku tidak boleh pergi dengan cowok lain. Begitu?”

Rico mendengus kesal. “Apa kamu tidak sadar kalau tindakanmu itu sama saja dengan memberinya lampu hijau untuk mendekatimu? Apa kamu tidak tahu kalau Deni itu sudah lama menaruh hati padamu?” Beruntun pertanyaan keluar dari mulut Rico.

“Aku rasa aku sadar dan tahu akan hal itu,” kata Arel enteng. “Tapi, memangnya kenapa? Kamu cemburu?”

“Arel,” Rico memegangi kedua pundak Arel. “Dengar, ya, kamu boleh saja pergi dengan siapa pun asalkan tidak dengan cowok itu. Aku tidak suka,”

“Rico,” Arel menurunkan kedua tangan Rico dari pundaknya. “Aku mau pergi dengan siapa pun itu terserah aku dan suka atau tidak suka itu terserah kamu,”

“Arel,” Rico masih mencoba menahan amarahnya. Sekarang diraihnya tangan Arel dalam genggamannya, tapi Arel buru-buru menarik tangannya. Rico menatapnya lagi tajam, seperti tatapan seekor elang yang siap menerkam mangsanya.

“Kalau kamu boleh jalan dengan cewek lain, kenapa aku tidak boleh jalan dengan cowok lain? Aku juga tidak pernah melarangmu pergi dengan Sheila, Ririn, Nadya, atau pun Tasha, tapi kenapa kamu mesti keberatan kalau aku pergi dengan seorang Deni?” tanya Arel.

“Bukankah tadi sudah kukatakan kalau Deni itu suka padamu?” kata Rico.

“Apa kamu pikir cewek-cewek itu tidak punya perasaan apa pun padamu? Apa kamu lupa kalau Tasha pernah dengan terang-terangan mengatakan padaku bahwa ia akan berbuat apa saja untuk mendapatkanmu?”

“Tapi kamu juga tahu kan aku tidak serius menanggapinya?”

“Itu karena aku percaya padamu, Ric. Aku percaya bahwa kamu tidak akan mengkhianati cinta kita meski terkadang sikapmu sepertinya menjurus ke arah sana,”

“Rel,”

“Aku tahu menjalin hubungan denganmu tidak mudah apalagi dengan sifat dan temperamen yang kamu miliki. Kamu tipe cowok cemburuan dan cenderung posesif. Dan kalau boleh dibilang kamu itu juga playboy sama seperti Deni. Cuma bedanya kamu itu punya pacar, sedangkan dia tidak,”

Arel menghela nafas pendek.

“Dua tahun sudah kita bersama, Ric. Dua tahun itu pula aku menaruh harapan padamu agar kamu bisa berubah dan meninggalkan semua kebiasaan burukmu. Aku menyayangimu dan mungkin itulah satu-satunya alasanku masih tetap bertahan di sisimu. Aku percaya kamu bisa berubah. Tapi kalau kamu tetap saja seperti ini, aku benar-benar tidak tahu lagi harus bagaimana,”

Kini Rico membisu.

“Sudah, ya? Aku capek kalau harus berdebat denganmu setiap saat,” Dan Arel pun berlalu pergi meninggalkan Rico yang masih diam di tempatnya berdiri.

***


“Apa menurutmu sebaiknya aku putus saja dari Rico?” Arel meminta pendapat Vina. Arel duduk di kasurnya, sedangkan Vina di kursi kecil di depan meja riasnya.

“Ha?” Vina memandang sahabatnya. “Kamu serius dengan apa yang kamu katakan barusan, Rel?”

Arel terdiam. Tidak menjawab. Tidak menggeleng. Tidak mengangguk.

“Apa Rico benar-benar marah padamu? Soal kamu pergi dengan Deni? Kalau itu benar terjadi, aku tidak heran, sih. Aku sudah memperingatkanmu, lho, tapi kamu masih saja pergi dengannya,”

Arel masih membisu.

“Atau jangan-jangan kamu memang jatuh cinta pada Deni?” tanya Vina dan berharap Arel tidak menjawab iya. “Dan itu membuat Rico makin marah padamu juga pada Deni?” Vina memandang Arel.

“Aku capek, Vi,” jawab Arel dengan nada suara berat.

Gantian Vina yang terdiam.

“Selama ini aku diam dan bertahan karena aku yakin dan percaya Rico bisa berubah atau setidaknya bisa mengubah perilaku dan temperamennya menjadi lebih baik. Tapi nyatanya dia sama sekali tidak berubah. Malah dia semakin kelewatan saja, menurutku,”

“Jadi, sekarang kamu sudah tidak bisa berkompromi lagi dengan semua itu? Dengan kata lain, kamu akan menyerah. Begitu?”

Arel menghela napas sambil memejamkan matanya sejenak. Mencoba rileks, ia lalu membaringkan tubuhnya di kasurnya yang empuk.

“Hatiku bukan pualam, Vi,” katanya kemudian. “Hatiku bisa terluka,”

Vina memandang sahabatnya yang kini memandangi langit-langit kamarnya.  Ekspresi muka Arel tampak tak bisa didefinisikan dengan kata-kata.

I only wish you the best, Rel. You know yourself better than anyone else,” kata Vina.

Tiba-tiba Arel mengalihkan pandangannya pada Vina.

Thanks, Vi,” Arel tersenyum.

***


“Rico memandangi Arel yang duduk di hadapannya dengan tatapan mata tak percaya. Semenit yang lalu Arel mengatakan hal yang tidak pernah ia pikir akan dikatakannya. Arel mengatakan ingin mengakhiri hubungan mereka. Dan dia benar-benar tak percaya mendengar hal semacam itu terucap dari mulut Arel.

“Kamu ingin kita putus?” tanyanya terdengar tak percaya.

Arel mengangguk.

“Apa kamu masih marah padaku karena ucapanku waktu itu? Karena aku bilang aku tidak suka kamu pergi dengan Deni?” Rico masih menatapnya.

Arel tersenyum. “Kamu tahu dengan benar bahwa aku tidak bisa benar-benar marah padamu, kan?”

“Aku memang cemburu pada Deni karena dia pergi denganmu,”

“Kaupikir aku tidak cemburu pada cewek-cewek yang pergi denganmu?”

“Tapi, kamu tahu kan kalau aku hanya mencintaimu?”

“Dan apa kaukira aku mencintai orang lain selain dirimu?”

Rico tersenyum miris.

“Come on, Rel. Be serious,”

“Do you think I'm joking?”

Hening.

“Maafkan aku, Rel,” Rico akhirnya berkata. “Aku sadar aku memang pencemburu, egois, dan tidak peka. Aku tahu sikapku selama ini sengaja atau tidak sengaja telah membuatmu merasa diabaikan. Tapi, percayalah, aku tidak pernah berniat tidak serius denganmu,”

Rico menatap Arel lebih lekat.

“Aku sama sekali tidak punya perasaan apa-apa terhadap cewek-cewek yang jalan denganku karena aku hanya menyayangimu.  Jadi, aku harap kamu tidak serius dengan apa yang kamu katakan tadi bahwa kamu ingin mengakhiri hubungan kita. Karena aku tidak bisa memikirkan apa jadinya aku tanpamu,”

“Rico,” Arel balas menatapnya. “Sebenarnya aku berat mengambil keputusan itu karena sebenarnya aku juga masih menyayangimu. Tapi, saat ini aku sudah tidak bisa lagi berdamai dengan hatiku dalam menghadapi sikapmu. Aku sudah capek berkompromi, Ric. Maafkan aku,”

“Tapi, Rel,”

Arel menggeleng.

“Mungkin sebaiknya kita memang berpisah saja. Agar tidak ada yang lebih terluka lagi di antara kita,”

“Tidak, Rel,” Rico menggeleng. “Aku tidak mau kita berpisah,”

Arel menghela napas.

“Berilah aku kesempatan, Rel. Sekali lagi. Aku berjanji untuk berusaha mengubah sikapku. Aku berjanji akan berusaha lebih memperhatikanmu dan tidak membuatmu terluka lagi,”

Hening lagi.

“Maafkan aku, Rico,” kata Arel. “Aku rasa keputusanku sudah bulat. Aku tidak sudah tak bisa lagi menjadi kekasihmu. Tapi, kalau jadi temanmu, mungkin aku masih bisa,”

Rico diam saja.

“Aku bisa mengerti kalau hatimu terluka karena keputusanku ini, hatiku pun terluka karenanya. Tapi, kalau kita tetap melanjutkan hubungan ini, apa hati kita tidak akan lebih terluka lagi? Karena kemungkinan kita akan saling menyakiti satu sama lain dengan sikap kita.”

Rico menghela napas.

“So, let’s be friend,” Arel mengulurkan tangannya. Mencoba tersenyum.

Tapi Rico, bukannya ia menyambut uluran tangan Arel untuk disalaminya, melainkan menarik tangan Arel hingga tubuhnya mendekat padanya untuk kemudian memeluknya.

“I’m sorry for hurting you so bad,” bisik Rico.

Mendadak mata Arel berkaca-kaca. Bibirnya bergetar menahan tangisnya. Ia tak bisa lagi berkata, hanya membalas pelukan Rico sama eratnya. Ia tahu hati mereka berdua terluka. Tapi mungkin inilah jalan yang terbaik untuk mereka berdua.


TAMAT

1 komentar: