Senin, 15 November 2010

Semua Karena Cinta

Catatan:
-Judulnya klise dan ceritanya mungkin juga biasa, tapi aku suka dengan cerpen ini. Hehehe.
-Aku lupa kapan persisnya cerpen ini kutulis. 
-Cerpen ini mengalamai berkali-kali revisi sampai akhirnya aku merasa cukup puas dengan hasilnya yang seperti ini.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis:
Sejak Rey mengalami kecelakaan yang membuatnya kehilangan kekasihnya, Astrid, untuk selamanya dan terpaksa menggunakan kursi roda untuk berjalan, Farah selalu menemaninya. Di mata mama Rey semua kebaikan Farah adalah wujud rasa cinta Farah pada Rey. Tapi, Rey malah tidak mau tahu. Ketika tiba-tiba Farah tidak pernah datang lagi, barulah Rey tersadar ada yang sesuatu yang hilang. Meskipun ia belum tahu pasti apakah yang dirasakannya sama dengan yang dirasakan Farah terhadapnya, akhirnya Rey memutuskan untuk menemui Farah. 



Maharani Menulis:


SEMUA KARENA CINTA



Dengan langkah perlahan Farah mendorong kursi roda yang diduduki Rey. Saat itu mereka sedang berjalan-jalan di taman kota.

“Kita istirahat dulu, Rey,” usul Farah.

“Baiklah,” Rey mengangguk tanda setuju.

Farah memilih tempat duduk yang teduh di bawah naungan dua pohon besar nan rindang. “Kamu sering kemari, Rey?” tanyanya setelah duduk di sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu. Sementara Rey tentu saja tetap duduk di kursi rodanya, menghadap padanya.

“Begitulah,” sahut Rey “tapi setelah kecelakaan itu, baru sekarang aku mengunjungi tempat ini lagi. Kamu tahu sendiri, kan, sejak aku memakai kursi roda, aku hampir-hampir tidak bisa pergi sendirian. Untung ada kamu yang selalu menemaniku.” Rey tersenyum menatapnya. “Terima kasih, Farah.”

“Ah, sudahlah. Jangan terlalu dibesar-besarkan nanti bisa-bisa kepalaku tambah besar.” Farah agak tersipu, mengusap rambut ikalnya yang tertiup angin.

”Farah,” Rey masih menatapnya.

“Ya,” Farah balas memandangnya, tersenyum.

“Kamu tidak keberatan kan pergi denganku? Maksudku, kamu tidak malu kan jalan-jalan dengan cowok cacat sepertiku?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Rey. Ada nada getir di sana.

“Rey,” Farah masih tersenyum—sedikit tidak enak hati mendengar pertanyaan itu. “Kenapa aku mesti keberatan apalagi malu bila bersamamu? Jangan tidak percaya diri begitu, dong.” Farah masih memandangnya. “Kamu sama, kok, seperti yang lain. Kamu punya dua mata, dua telinga, satu hidung, satu mulut, dua tangan juga dua kaki. Sama seperti yang lain. Hanya bedanya mereka bisa berjalan dengan kaki mereka sendiri, sedangkan kamu masih harus menggunakan kursi roda. Tapi aku yakin, kok, tidak lama lagi kamu akan seperti mereka. Bisa berjalan normal dengan kakimu sendiri. Tadi kamu dengar sendiri kan apa kata dokter Burhan? Kalau kamu patuh menjalani segala terapi yang disarankan dokter, kamu pasti akan segera bisa berjalan lagi seperti sedia kala dengan kedua kakimu. Percayalah.” Kata-kata itu terdengar tulus dan apa adanya.

Gantian Rey yang tersenyum mendengar ucapan Farah yang terdengar sangat melegakan dan menenangkan hatinya. Farah memang pandai menghibur sekaligus menyenangkan hatinya. Dan Farah pula satu-satunya sahabatnya yang paling bersemangat memberikan dukungan padanya—sahabatnya yang lain juga memberinya perhatian hanya saja tidak sebesar yang diberikan Farah—pasca kecelakaan yang dialaminya empat bulan yang lalu. Farah yang senantiasa menyemangatinya untuk tetap tabah dan tegar dalam menerima keadaannya yang seperti sekarang—tidak bisa berjalan dan harus menggunakan kursi roda bila hendak kemana-mana. Dan Farah pula yang berhasil membujuknya untuk mau melakukan kemoterapi pada kedua kakinya. Sebuah terapi pengobatan yang harus dijalaninya agar dia bisa berjalan seperti sedia kala. Tadinya dia sudah pasrah saja dengan keadaannya yang harus kemana-mana menggunakan kursi roda—bahkan dia juga sudah rela bila seumur hidupnya harus bergantung pada benda itu.

***





“Farah mencintaimu, Rey. Semua yang dilakukannya itu karena cinta. Bukan semata-mata karena dia adalah sahabat baikmu,” ujar Mama Rey suatu sore. Matanya tampak berbinar senang saat mengatakannya.

“Mama!” Rey terperanjat. “Mama tidak boleh bicara seperti itu tentang Farah apalagi menuduhnya, Ma. Kalau Farah tahu, pasti dia akan sedih sekali. Mama sudah menyalahartikan kebaikannya selama ini terhadap Rey,”

“Terkadang cinta tidak harus selalu dikatakan, Rey, tapi dirasakan.”

“Rey sama sekali tidak mengerti apa yang mama katakan.”

“Tentu saja kamu tidak mengerti apa yang mama katakan karena seluruh panca indramu seakan-akan sudah mati rasa sejak kepergian Astrid,” Tiba-tiba ucapan mamanya terdengar sengit apalagi ketika menyebut nama Astrid.

“Mama!” suara Rey meninggi, “Jangan bawa-bawa Astrid, Ma. Dia sama sekali tidak ada hubungannya dengan semua ini.” Rey mulai gusar.

“Tentu saja dia ada hubungannya dengan semua ini,” tegas mama, “karena sejak Astrid meninggal kamu seolah-olah menutup pintu hatimu rapat-rapat sampai-sampai kamu tidak bisa merasakan apalagi melihat kalau orang yang sebenarnya mencintaimu adalah Farah, bukan Astrid. Karena Astrid hanya bisa membuatmu menderita. Kamu jadi seperti ini pun gara-gara dia.”

“Astrid tidak bersalah, Ma,” seru Rey emosi, “Mama jangan pernah menyalahkan dia. Astrid tidak pantas untuk disalahkan. Apa yang terjadi pada Rey memang sudah sepantasnya Rey terima. Ini adalah hukuman untuk Rey atas apa yang terjadi pada Astrid. Gara-gara Rey, Astrid meninggal.”

“Jaga ucapanmu, Rey.”

“Rey yang bersalah. Kalau saja malam itu Astrid tidak bersama Rey, mungkin saat ini dia masih hidup. Dan mungkin Rey-lah yang sudah mati.”

“Rey!”

“Sudahlah, Ma.” Akhirnya Rey mengalah. Tidak ada gunanya berdebat dengan mamanya apalagi soal Astrid. Mamanya memang tidak pernah menyukai Astrid dan tidak menyetujui hubungan mereka sejak awal. “Rey mau ke kamar. Mau istirahat.” Rey memutar kursi rodanya, tapi sebelum ia benar-benar berlalu dari hadapan mamanya, dia sempat berkata, “Asal mama tahu saja, tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan tempat Astrid di hati Rey. Tidak juga Farah.” Dan mama hanya bisa menghela napas memandangi putranya yang berlalu bersama kursi rodanya.

“Selamat siang, Tante.” Terdengar seseorang menyapa.

Mama Rey tampak terkejut dan spontan melihat ke arah sumber suara. “Farah?” Tampak Farah berdiri di depan pintu ruang tengah, membawa sesuatu yang tampak panjang dan berat di kedua tangannya.

***

“Sudah lihat krukmu, Rey?” tanya Mama Rey ketika melihat Rey sudah bergabung dengan kedua orang tuanya di meja makan pada malam harinya. “Mama meletakkannya di depan kamarmu. Tadi sore Farah yang mengantarkannya,” Mama memberitahu.

“Iya, Ma,” Rey mengangguk. “Rey sudah melihatnya.”

“Dan kamu harus segera mencobanya, Rey,” Papanya ikut bicara.

“Iya, Pa,” Rey mengangguk lagi. “Mungkin nanti sehabis makan malam,”

Usai makan malam, Rey berniat mencoba kruknya. Tapi sebelumnya, dia mencoba menelepon Farah untuk mengucapkan terima kasih karena dia telah mengantar kruknya. Tapi, ternyata Farah sudah tidur—padahal baru jam delapan malam—begitu kata Mama Farah yang menjawab teleponnya. Dan meskipun Rey merasa sedikit aneh mendengarnya, tapi dia tidak berkomentar apa-apa.

Berjalan dengan kruk yang menyangga kedua lengannya ternyata sama sulitnya dengan berjalan di antara sepasang palang sejajar yang biasa digunakannya di rumah sakit untuk terapi berjalannya. Pada awal usahanya berjalan dengan kruk itu, kakinya malah nyaris tidak bisa digerakkan dan bahkan dia sempat terjatuh berkali-kali hanya untuk melakukan dua atau tiga langkah saja—mungkin karena dia terlalu tegang dan senang. Dan latihan pertamanya itu hanya berlangsung setengah jam karena Rey merasa kakinya lelah sekali.

Baru keesokan harinya, setelah sarapan pagi, dengan bantuan mamanya—papanya pergi ke kantor—Rey kembali berlatih dengan kruknya. Kali ini latihannya lebih berhasil daripada semalam. Kalau semalam terjatuh dan terjatuh hampir selalu mengawali langkahnya, tapi pagi ini dia hanya terjatuh pada awalnya saja. Bila langkahnya semalam masih terlihat canggung, kaku, dan payah, tapi pagi ini langkahnya mulai terlihat mantap dan tenang meskipun masih tertatih-tatih. Tidak hanya Rey yang senang dengan kemajuannya, mamanya bahkan sampai terharu melihatnya.

“Farah harus tahu tentang ini, Ma. Dia harus tahu dan melihat Rey sudah mulai bisa berjalan dengan kruk ini meskipun masih belum sempurna,” Rey terlihat ceria, satu jam kemudian. “Rey akan meneleponnya, Ma,”

Mamanya tersenyum. “Teleponlah dia,”

Meskipun semangat Rey membuncah di dadanya dan perasaan senang meluap di hatinya, tapi tetap saja dia tidak bisa seenaknya saja berjalan apalagi tergesa-gesa melangkahkan kakinya menuju ruang tengah untuk menelepon Farah. Dia harus tetap berjalan dengan pelan-pelan dan hati-hati agar tidak terjatuh.

“Halo? Farah? Ini Rey,” sapa Rey begitu teleponnya tersambung.

“Maaf, Rey,” Terdengar suara Mama Farah dari seberang. “Farah baru saja pergi. Coba telepon ke handphone-nya, ya?”

“Oh, begitu, ya? Terima kasih, Tante,” Rey menutup teleponnya. Lalu cepat-cepat dia menekan sederet angka yang merupakan nomor telepon selular Farah yang sudah dihafalnya di luar kepala. Tapi, beberapa saat kemudian, dia kembali menutup teleponnya. Farah tidak bisa dihubungi. Nomornya tidak aktif.

Dengan lesu Rey meletakkan gagang telepon. Semalam Farah sudah tidur ketika dia meneleponnya. Barusan Farah sudah pergi ketika dia mencoba meneleponnya lagi. Kenapa Farah jadi sulit dihubungi begini?

“Bagaimana, Rey?” Mamanya tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya.

“Farah tidak di rumah, Ma,” jawab Rey muram.

“Kamu sudah mencoba menghubungi ponselnya?”

“Ponselnya tidak aktif.”

Sesaat hening. Rey memandang mamanya. Dari ekspresi wajahnya, Mama Rey tahu kalau anak semata wayangnya tampak kecewa. Lalu mendadak telepon berdering. Rey yang masih berdiri di samping meja telepon secepat yang dia bisa langsung meraih gagang telepon itu. Siapa tahu itu Farah yang menelepon balik. Tak disangka-sangka, dada Rey berdebar-debar mengharapkannya.

“Halo?” Suara Rey terdengar agak gemetar ketika menjawab telepon itu. “Oh, dokter Burhan,” Rey memandang pada mamanya lagi sekilas. Meskipun Rey tersenyum-senyum ketika bicara di telepon, tapi wajahnya tidak seceria tadi ketika dia bilang akan menelepon Farah.

***

Hari-hari berikutnya, Rey semakin giat berlatih berjalan dengan kruknya. Tak terasa sudah satu minggu dia membiasakan dirinya berjalan dengan benda itu di bawah lengannya. Dan tak terasa pula bahwa sudah satu minggu ini Farah tidak memberinya kabar. Farah tidak menelepon apalagi datang. Ada apa dengannya?

Mungkin Farah sedang sibuk dengan kuliahnya—Rey sendiri terpaksa cuti kuliah gara-gara kecelakaan itu, begitu pikir Rey dan begitulah jawaban yang selalu diberikannya pada kedua orang tuanya bila mereka menanyakan kenapa Farah tidak pernah datang lagi setelah mengantarkan kruknya. Tapi, seingat Rey, sesibuk-sibuknya Farah dengan apapun itu, dia pasti selalu menyempatkan diri untuk memberinya kabar atau menanyakan kabarnya apalagi setelah kecelakaan yang dialaminya. Bisa dikatakan, Farah adalah tipe orang yang penuh perhatian terhadap teman-temannya apalagi sahabat baiknya, dia sendiri—Rey.

Tapi, bukankah selama empat bulan terakhir ini, Farah sudah sangat memperhatikannya? Farah sudah sangat membantu memulihkan rasa percaya dirinya. Farah sudah memberinya dukungan agar tidak terlalu cepat menyerah dengan keadaannya. Farah sudah menyemangatinya menjalani hari-harinya. Jadi, tidak adil rasanya bila dia berpikir Farah tidak peduli padanya. Mungkin Farah memang benar-benar sedang sibuk dan Rey sepertinya harus memakluminya.

Tapi, ternyata hal itu berlangsung hingga satu minggu kemudian yang artinya sudah dua minggu Farah seperti menghilang. Tidak ada kabar. Tidak ada telepon. Apalagi kehadirannya. Dan untuk kedua kalinya Rey merasa ada yang kurang dalam hidupnya—yang pertama tentu saja saat dia harus kehilangan Astrid untuk selama-lamanya. Tapi, untuk pertama kalinya setelah sekian lama dia mengenal Farah, Rey memiliki perasaan seperti sekarang ini. Dia ingin sekali bertemu dengan Farah. Dia ingin melihat Farah. Dia merindukan Farah.

***

“Rey?” Farah tampak kaget ketika melihat Rey sudah berdiri kira-kira enam meter darinya. Ia yang baru saja selesai menyirami bunga di taman rumahnya bermaksud menyongsongnya, tapi Rey memperingatkannya.

“Tetap di tempatmu, Farah,” kata Rey. “Biar aku yang ke situ. Oke?”

Farah menurut saja. Lalu ia melihat Rey dengan kruk menyangga kedua lengannya melangkahkan kedua kakinya, berjalan menghampirinya. Meskipun langkahnya masih tampak pelan-pelan, tapi terlihat mantap. Sepertinya Rey sudah terbiasa menggunakan benda itu untuk berjalan.

Langkah Rey terhenti hanya berjarak setengah meter di depan Farah—yang memandangnya seperti takjub. “Bagaimana, Farah? Aku bisa, kan? Berjalan. Meski masih harus dengan bantuan kruk ini,” Rey tersenyum memandangnya.

Farah tidak berkomentar apa-apa, tapi malah memeluk Rey—untungnya Rey tidak kehilangan keseimbangan tubuhnya sehingga dia bisa membalas pelukan Farah yang tiba-tiba itu.

“Sepertinya aku telah melewatkan banyak hal yang penting tentangmu, ya, Rey,” ujar Farah setelah mereka duduk di kursi taman.

“Dua minggu ini kamu kemana saja, sih?” Rey bertanya penuh rasa ingin tahu. “Tidak ada kabar. Apa kamu tidak tahu kalau aku kehilanganmu?”

“Hah?” Farah sempat tercengang mendengar kalimat Rey yang terakhir. “Maaf, ya, Rey, kalau aku sudah membuatmu cemas, tapi percayalah aku tidak pernah bermaksud demikian. Aku hanya...” Kalimat Farah terhenti. Mendadak dia teringat percakapan Rey dan mamanya dua minggu lalu yang tidak sengaja didengarnya.

“Mamamu benar, Rey. Apa—apa yang aku lakukan, semua—semua itu karena cinta. Aku—aku mencintaimu, Rey.” Farah membalas tatapan Rey yang sedari tadi tidak pernah meninggalkan wajahnya dengan perasaan takut bercampur malu. Meskipun dia merasa agak aneh karena Rey sepertinya tidak begitu terkejut mendengar pengakuannya.

“Kalau boleh aku jujur, sebenarnya sudah lama aku memiliki perasaan itu terhadapmu bahkan sebelum kamu mengenal Astrid—maaf—dan jadian dengannya. Aku sudah lama menyukaimu lebih dari sekedar teman, Rey.” Farah berhenti sejenak untuk mengambil napas sekaligus menenangkan debaran-debaran di dadanya.

“Awalnya aku mencoba untuk mengabaikan perasaan itu, tapi sejak kamu mengalami kecelakaan empat bulan yang lalu, aku jadi semakin tidak bisa mengabaikannya. Aku tidak bisa tidak memperhatikanmu. Aku tidak bisa diam saja melihat orang yang aku sayangi menderita. Meskipun itu malah menjadi dilema bagiku. Di satu sisi aku menginginkanmu, tapi di sisi lain aku tidak mau merusak persahabatan kita. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak terlalu sering bertemu denganmu dengan harapan perasaan cintaku padamu bisa sedikit demi sedikit hilang. Tapi, ternyata itu tidak mudah. Aku bisa saja memaksa diriku untuk tidak bertemu denganmu dan aku juga bisa menahan mulutku untuk tidak membicara dirimu, tapi aku tidak bisa mencegah otakku untuk memikirkanmu.” Farah berhenti lagi. Memandang Rey yang masih menatapnya dalam diam.

Farah baru sadar bahwa dia sudah bicara panjang lebar, sedangkan Rey belum berkata sepatah katapun. “Rey? Kok kamu diam saja, sih? Ngomong, dong, Rey. Jangan diam saja. Katakan sesuatu. Marah juga tidak apa-apa. Aku tidak keberatan.”

Rey masih bungkam. Masih menatap Farah yang wajahnya kini tampak memerah. “Jangan hanya menatapku begitu, dong.” Suara Farah agak bergetar.

Tapi, ketika terdengar Rey menghela napas, mau tak mau jantung Farah jadi semakin berdegup kencang. “Farah,” Rey menghela napas lagi sebelum dia bertanya, “Kamu ingin aku mengatakan apa?”

“A—apa saja,” Farah tampak bingung dan agak kecewa.

“Baiklah,” Rey, untuk yang ketiga kalinya terdengar menghela napas. “Apakah kamu mau menungguku, Farah?” lanjutnya, tak terduga.

“Ma—maksudmu?” Farah semakin bingung.

“Tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan tempat Astrid di hatiku. Tidak juga kamu, Farah.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Rey, tapi sebelum Farah sempat mengiyakan setuju atau mengangguk mengerti, Rey buru-buru melanjutkan, “karena kamu pun punya tempat di hatiku yang tidak bisa digantikan oleh Astrid atau oleh siapapun.” Rey tersenyum samar melihat ekspresi kebingungan yang masih membayangi wajah Farah. “Tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan tempat orang lain di hati seseorang, Farah. Karena setiap orang memiliki tempatnya sendiri-sendiri di hati seseorang itu. Apa kamu mengerti?”

“A—aku…” Farah memandang Rey lalu menggeleng lemah.

“Biar aku perjelas,” Rey masih tersenyum padanya. “Karena kamu adalah sahabatku, Farah, tentu saja punya tempat di hatiku. Dan setelah aku mendengar pengakuanmu, tampaknya aku pun harus mengakui sesuatu meskipun aku sendiri belum sepenuhnya yakin akan hal itu.”

“Katakanlah,” Farah mencoba tersenyum.

“Entah apa yang sebenarnya terjadi padaku, Farah. Aku tidak tahu pasti,” ujar Rey. “Aku hanya tahu bahwa aku merasa kehilanganmu bila kamu tidak ada bersamaku. Tapi aku pun tidak tahu pasti apakah rasa itu ada karena kita telah terbiasa bersama-sama lalu tiba-tiba tidak bersama-sama lagi atau karena ada alasan lain. Dan untuk memastikannya, aku rasa yang aku perlukan adalah waktu. Waktu untuk memikirkan, merenungkan, dan melihat sejauh mana perasaan itu terjadi dan ada. Agar aku bisa yakin bagaimana perasaanku sebenarnya padamu. Apakah itu perasaan sebagai sahabat atau pribadi. Apakah itu hanya perasaan sesaat atau bukan. Ya, aku perlu waktu, Farah. Jadi, maukah kamu menungguku?”

“Apa aku punya pilihan lain?” tanya Farah tidak bermaksud menantang.

“Tentu saja tidak,” Rey tampak serius. “Kamu tidak punya pilihan lain, Farah, karena satu-satunya pilihanmu adalah menungguku. Oke?”

Farah tersenyum, lebih ceria dari yang sebelumnya, sampai-sampai Rey bisa melihat kedua pipinya merona merah. “Baiklah,” katanya kemudian. “Aku akan menunggumu, tapi aku harap itu tidak akan terlalu lama,”

“Secepatnya, Farah,” ujar Rey, berjanji. Dan wajahnya terasa panas ketika mengatakannya.


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar