Senin, 15 November 2010

Bukan Cinta Sesaat

Catatan:
-Judulnya lagi-lagi klise. Bila sedang mengantuk judulnya bisa-bisa dibaca “bukan cinta sesat”, hahahaha.
-Aku tidak ingat kapan cerpen ini kutulis.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis:  
Alvin meminta Adinda berpura-pura menjadi kekasihnya di hadapan Eyang Rosma karena ia tak mau eyangnya menjodohkannya dengan cewek pilihannya. Sementara Adinda bersedia menjalankan perannya demi persahabatan mereka. Namun, siapa sangka kalau kepiawaian Adinda dalam menjalani perannya membuat Alvin menyadari satu hal yang selama ini tidak pernah terpikirkan olehnya.

Maharani Menulis:


BUKAN CINTA SESAAT



“Halo,” Adinda menjawab dering ponselnya dengan malas-malasan sambil tetap berbaring di kasurnya yang empuk. Matanya masih terasa berat untuk dibuka.

Good morning, girlfriend.” Terdengar sapaan dari seberang.

“Alvin,” Adinda langsung bisa menebak siapa gerangan yang sudah berani mengganggu tidurnya. “Kalau mau curhat, nanti siang saja, deh. Aku masih ngantuk, nih.” Adinda menguap.

“Adinda, sayang,” suara Alvin terdengar begitu lembut. “Pagi ini kita kan harus menjemput Eyang Rosma di stasiun. So, get up, honey."

What?” Adinda sampai memekik karena kaget. Matanya pun langsung melebar. Seketika itu juga dia bangun dari posisi tidurnya untuk duduk. Lalu cepat-cepat memanggil memorinya dan mencoba mengingat-ingat. Namun, hasilnya nihil. Seingatnya Alvin tidak pernah atau belum pernah mengatakan kalau Eyang Rosma, eyang putri Alvin yang tinggal di Jakarta, akan datang ke Yogyakarta pagi ini.

“Bukannya—bukannya kamu bilang kalau beliau baru akan datang besok pagi, Al?” tanya Adinda kemudian antara gugup dan ragu-ragu.

Sorry, honey, semalam aku lupa memberitahumu kalau kedatangan eyang Rosma dipercepat satu hari.” Lalu terdengar tawa kecil Alvin. Adinda buru-buru menjauhkan ponselnya dari telinganya.

Adinda tertegun sejenak. Dia tidak menyangka kalau dirinya akan menjadi ‘aktris’ satu hari lebih cepat dari waktu yang seharusnya.

“Halo, Dinda? Kamu masih di situ?”

“Hm…”

“Can I pick you up in twenty minutes?”

“Okay, Adinda pasrah.

***




Eyang Rosma adalah seorang wanita paruh baya berperawakan agak gemuk dan tidak terlalu tinggi. Namun begitu, beliau masih kelihatan bugar dan energik. Wajahnya yang meski sudah dihiasi keriput, juga masih terlihat cantik dan anggun.

“Ayo, Din,” Alvin menarik tangan kiri Adinda dan membawanya menyongsong eyang Rosma yang baru saja turun dari salah satu gerbong kereta api itu. Adinda menurut saja, mengikuti langkah Alvin.

“Selamat datang, Eyang,” Alvin berhenti tepat di hadapan wanita separuh baya itu, tersenyum hangat.

“Oh, Alvin. Cucuku,” Eyang Rosma balas tersenyum. Alvin melepaskan tangan Adinda untuk menjabat tangan eyang putrinya dan menciumnya sekilas. Eyang Rosma balas memeluknya erat sebentar.

“Apa kabar, eyang?”

“Baik, Alvin.” Eyang Rosma tersenyum lagi lalu pandangannya beralih pada Adinda yang berdiri di samping cucu kesayangannya. Adinda tampak tersenyum meski agak salah tingkah.

“Oh, ya, eyang kenalkan. Ini Adinda.” Alvin memperkenalkan.

“Selamat datang, Eyang,” sapa Adinda ramah sambil menjabat tangan eyang Rosma lalu menciumnya.

“Terima kasih, Dinda.” Eyang Rosma menepuk halus pundaknya sambil tersenyum.

“Bagaimana Eyang?” Alvin mengerling ke arah eyang putrinya—seolah-olah meminta penilaian. Lalu entah disengaja atau tidak Alvin merangkul bahu Adinda mesra dan bahkan kemudian mengecup pipi kirinya sekilas dan tanpa sungkan di hadapan eyang Rosma.

Adinda yang tidak menduga akan adanya ‘adegan’ itu, tentu saja terkejut. Dia berani bertaruh eyang Rosma pasti bisa melihat wajahnya yang sudah seperti kepiting rebus. Merah padam. Menahan malu, atau lebih tepatnya menahan marah.

“Senang bertemu denganmu, Dinda.” ujar Eyang Rosma masih menatapnya. Beliau sepertinya tampak surprise.

“Saya juga senang, Eyang,” Adinda berusaha tersenyum tenang, meskipun hatinya bergejolak tidak menentu.

***


“No hug and no kiss. Don’t you remember that, Mr. Alvin Bachtiar?” protes Adinda setelah Alvin mematikan mesin mobilnya di depan rumah Adinda. Sejenak dipelototinya Alvin yang tampaknya masih juga tidak sadar kalau dia sudah sangat kesal sekali padanya. Kekesalan yang sudah ditahannya sejak mereka meninggalkan stasiun untuk mengantar Eyang Rosma ke rumah Alvin.

Alvin yang sudah bisa menduga reaksi Adinda akan seperti cacing kepanasan atau harimau kelaparan kalau dia sedang kesal dan marah, apalagi kalau dia sudah menyebut lawan bicaranya dengan sebutan ‘formal’ seperti yang barusan dikatakannya, hanya bisa memainkan jari-jemarinya mengetuk-ngetuk setir mobil yang ada di hadapannya. Sebenarnya Alvin juga sadar bahwa ‘adegan’ yang sempat dilakukannya di stasiun di hadapan eyang Rosma telah menyalahi kesepakatan mereka yang berbunyi: selama mereka bersandiwara menjadi sepasang kekasih di hadapan Eyang Rosma tidak akan ada pelukan atau kecupan.

“You broke your promise to me, you broke our agreement! Can you explain it?” Ucapan Adinda masih terdengar sengit dan penuh emosi.

“I am sorry, Adinda.” Alvin akhirnya buka suara. “Aku terpaksa melakukannya. Kalau tidak, mana eyang Rosma akan percaya kalau kamu adalah pacarku. Masa sama pacar sendiri tidak ada mesra-mesranya. Apa itu tidak aneh? Nanti bisa-bisa eyang Rosma curiga dan beliau benar-benar jadi menjodohkan aku dengan cucu sahabatnya di Jakarta. Apa kamu mau aku menderita dan tidak bahagia? Dan lagi, kalau aku bisa melakukannya sendiri, aku pasti tidak akan meminta bantuanmu. Kamu adalah satu-satunya orang yang bisa menolongku, Din. Ya, kamu!” Alvin mencoba menjelaskan sekaligus membela dirinya di hadapan Adinda.

Adinda mendesah. Mencoba berdamai dengan hati dan pikirannya mendengar alasan-alasan Alvin. Apa yang dikatakan Alvin memang ada benarnya. Tapi, kalau Alvin terus-terusan melanggar perjanjian mereka, apa dia akan tahan? Seharusnya Adinda berpikir tujuh belas kali sebelum menerima ‘peran’ yang diberikan Alvin padanya. Dia harus berpura-pura menjadi kekasih Alvin di hadapan eyang Rosma agar Alvin terhindar dari perjodohan yang ditawarkan eyang putrinya itu.

“Makanya, Al. Cepat-cepatlah kamu cari pacar. Agar eyang Rosma tidak jadi menjodohkanmu. Agar aku tidak terus-menerus dibuat repot dan khawatir seperti ini.” Adinda masih bersungut-sungut, tidak rela.

“Just wait and see.” Alvin tersenyum misterius.

***


“Alvin, Adinda,” Eyang Rosma memandang Alvin dan Adinda secara bergantian. “Sudah beberapa hari eyang tinggal di sini, tapi eyang belum pernah sekalipun mendengar kisah kalian. Tentang bagaimana kalian bertemu, di mana, dan sebagainya. Eyang ingin tahu. Boleh, kan?”

“Mm—” Alvin tampaknya ingin bicara. Tapi, lidahnya tiba-tiba saja jadi terasa kelu. Namun, ia berusaha untuk melanjutkannya. “Alvin dan Adinda—” Baru tiga kata Alvin bicara, tiba-tiba terdengar Adinda berdehem, membuat Alvin dan Eyang Rosma memandang ke arahnya.

Adinda buru-buru tersenyum. Kemudian dia berdehem lagi untuk sekedar untuk menenangkan hatinya yang lagi-lagi bergejolak tidak menentu mendengar permintaaan eyang Rosma. “Soal itu. Pertemuan kita. Biar aku yang cerita, Al.” Lalu Adinda menatap Alvin sedikit lebih lama seperti ingin mengatakan padanya ‘serahkan semuanya padaku’, dan Alvin pun mengangguk tanda mengerti.

“Begini, Eyang,” Adinda mulai bercerita. “Kami adalah teman satu kampus, tapi berbeda jurusan. Kalau Alvin mengambil jurusan Hubungan Internasional, saya mengambil jurusan Public Relations. Nah, kami pertama kali bertemu pada saat orientasi kampus dan kebetulan kami adalah satu kelompok. Jadi, kami sudah saling mengenal sejak dua tahun yang lalu, tapi mulai seriusnya, sih, baru beberapa bulan yang lalu—” Dan Adinda pun terus bercerita. Eyang Rosma mendengarkannya dengan penuh minat. Begitu juga dengan Alvin.

Alvin yang sedari tadi juga ikut mendengarkan cerita Adinda, benar-benar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ia hampir-hampir tidak bisa mempercayai apa ia dengar dan ia lihat. Yang ia dengar, cerita Adinda memang ada yang benar dan ada yang cuma karangannya saja. Yang ia lihat, bagaimana cara Adinda bercerita juga ekspresinya benar-benar tampak seperti ia sedang menceritakan pengalamannya sendiri. Sepertinya, semua yang dikatakannya adalah benar-benar sebuah kenyataan. Adinda tampak begitu lancar dalam bercerita. Dia begitu luwes dan sangat menghayati ‘peran’nya.

Alvin pun seperti terhipnotis, memperhatikan Adinda nyaris tanpa berkedip. Semakin lama diperhatikan, Adinda semakin mengagumkan saja. Dan setiap pandangan mata mereka bertemu, Alvin merasakan adanya sensasi yang luar biasa dalam dirinya. Debar-debar di dadanya. Getaran-getaran itu. Dia seolah-olah baru menyadarinya.

“Benar, kan, Al?” Tiba-tiba eyang Rosma mengusiknya.

“A—apa, Eyang?” Alvin tergagap. Ia benar-benar tidak tahu apa yang sedang ditanyakan eyang Rosma padanya. Ia hanya tahu bahwa sekarang baik eyang Rosma maupun Adinda sama-sama sedang menatap ke arahnya menunggu jawaban darinya.

“Tentunya kamu sangat mencintai Adinda. Benar, kan, Al?”

“A—Alvin—” Alvin semakin tergagap dan bingung. Tapi, tiba-tiba antara sadar dan tidak, dia pun menjawab pertanyaan eyangnya dengan mantap. “Iya, eyang. Alvin sangat mencintai Adinda.”

Hati Adinda berdesir mendengar ‘pengakuan’ Alvin. Eyang Rosma pun tampak surprise. Senyum puas mengembang di bibirnya.

***


“Adinda, honey,” kata Alvin tiba-tiba serius. Saat itu mereka sedang berada di ruang tamu rumah Alvin, menunggu eyang Rosma yang sedang bersiap-siap di kamarnya. Sore ini mereka berdua akan menemani eyang Rosma membeli oleh-oleh karena besok lusa beliau akan kembali ke Jakarta. “Apa sebaiknya aku berterus terang padamu sekarang, ya?” Alvin malah membuatnya penasaran.

“Maksudmu?” Jantung Adinda tentu saja jadi berdebar-debar mendengar ucapan Alvin. “Berterus terang soal apa, Al?” Adinda mencoba berpikir dan menerka-nerka. “Oh, tidak.” Mendadak Adinda panik sendiri. “Alvin, jangan katakan kalau sandiwara kita sudah terbongkar. Jangan bilang kalau eyang Rosma sudah tahu yang sebenarnya. Itu tidak benar, kan?” Rasa-rasanya seluruh darah di tubuh Adinda menghilang entah kemana. Wajahnya pasti sudah pucat pasi sekarang. Kesepuluh jari tangannya yang sejak tadi diremas-remasnya pun sudah mulai terasa dingin dan berkeringat. Dia benar-benar gugup.

“Adinda, tenanglah.” Alvin meraih tangan Adinda yang terasa dingin itu. Segera saja secercah kehangatan merasuki tubuh Adinda, membuatnya merasa sedikit tenang. “Bukan itu yang ingin aku katakan. Bukan soal eyang Rosma,” Alvin meremas tangan Adinda dengan lembut, selembut tatapan matanya yang seolah-olah ingin menegaskan bahwa apa yang ingin disampaikannya bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan.

“Oh, syukurlah.” Adinda sedikit lega lalu bermaksud menarik tangannya, tapi rupanya Alvin sengaja menahannya.

Mereka berdua berpandangan sejenak. Tak bicara. Tapi kemudian terdengar Alvin mendesah pelan sambil masih menggenggam tangan Adinda yang kini sudah terasa hangat.

“Jadi, kita belum ketahuan, kan?” Adinda masih kurang yakin. “Beliau belum tahu kan kalau kita sudah membohonginya? Beliau belum curiga kan kalau kita bukanlah sepasang kekasih?”

Alvin tersenyum tipis. “Dan kamu pun belum tahu kalau aku sudah membohongimu, Din.”

Adinda mengerutkan dahinya, tidak paham dengan apa yang dikatakan Alvin. Jantungnya masih berdebar-debar. “Maksudmu?”

Alvin mendesah lagi. Genggamannya semakin erat di tangan Adinda. “Sebenarnya eyang Rosma tidak pernah mengatakan akan menjodohkan aku. Aku iseng saja mengarang cerita itu. Maafkan aku, Din. Aku sudah berbohong padamu.”

“Apa?” Adinda spontan menarik tangannya dari genggaman Alvin dan berhasil. “Semua—semua itu bohong? Jadi—jadi selama ini aku sudah tertipu? Selama ini aku sudah mempermalukan diriku sendiri? Oh, My God. Alvin? How could you do this to me?” Adinda merasa seperti ada sebilah pisau menusuk dadanya. Wajahnya pun merah padam. Menahan marah dan malu. Perasaan yang sama seperti yang pernah ia rasakan ketika Alvin melanggar perjanjian mereka di stasiun di awal kedatangan eyang Rosma beberapa hari yang lalu.

Hening lagi. Keduanya mendadak membisu. Alvin tidak berusaha menjelaskan dan Adinda juga sudah tidak bisa marah-marah lagi karena hal itu pun akan sia-sia saja. Semuanya sudah terjadi.

“Dan mungkin adalah hukuman dari Tuhan karena aku sudah berbohong padamu. Mungkin adalah balasan dari Tuhan karena aku sudah melibatkan eyang Rosma dalam keisenganku. Akhirnya aku pun kena batunya. Aku jadi sungguh-sungguh ingin kamu jadi kekasihku yang sebenar-benarnya. Dan aku pun harus berterima kasih pada eyang Rosma karena beliau secara langsung maupun tidak langsung sudah membuatku sadar bahwa sebenarnya aku telah jatuh cinta padamu.” Akhirnya suara Alvin memecah keheningan.

Adinda tak bereaksi. Masih diam. Mungkin masih shock dengan apa yang barusan dikatakan Alvin. Kebohongan sekaligus kejujurannya? Ketika Alvin menatapnya lekat, Adinda pun buru-buru memalingkan wajahnya. Dia masih tidak tahu harus bagaimana, marah atau senang.

“Maafkan aku, Din. Maafkan aku kalau sudah membuatmu merasa tertipu dan sakit hati karena keisenganku, tapi percayalah. Perasaanku padamu itu benar adanya. Aku suka padamu, entah sejak kapan aku juga tidak tahu, tapi yang jelas perasaanku padamu bukanlah perasaan sesaat. Itu bukanlah cinta sesaat apalagi cinta sesat.” Alvin bisa-bisa masih melucu di saat-saat seperti ini. Mungkin karena dia tidak tahu bagaimana caranya ‘menghibur’ Adinda yang sedang ‘terluka’.

“Would you forgive me, honey, please?” Alvin memberanikan diri menyentuh wajah Adinda—dengan tangan yang sedikit gemetar. Tangan Alvin terasa dingin ketika bersentuhan dengan wajah Adinda yang terasa panas. Adinda merasa sebilah pisau yang tadi menusuk dadanya berubah menjadi sekuntum bunga. Lalu ia pun memandang ke arah Alvin. Dan sekuntum bunga itu pun mekar menjadi setangkai bunga yang cantik saat dilihatnya ketulusan itu terpancar dari mata Alvin yang menatapnya.

“I do love you, girlfriend,” kata Alvin lagi lalu mendekatkan bibirnya ke arah pipi kanan Adinda untuk memberinya kecupan ringan.

“Don’t make me shy twice, please?” Adinda yang tersipu pun memalingkan wajahnya lagi.

“How about thrice?” Tak peduli, Alvin meraih wajah Adinda lagi lalu kembali mendekatkan bibirnya, kali ini ke arah bibir Adinda. Jantung Adinda berdegup kencang, antara malu dan senang. Tapi belum sempat kedua bibir itu bersentuhan, tiba-tiba…

“Eyang sudah siap.” Eyang Rosma yang telah mereka tunggu selama hampir setengah jam untuk bersiap-siap, tahu-tahu sudah berada di belakang mereka, mengejutkan mereka. Menyadari hal itu, Alvin dan Adinda spontan menjauh, menarik diri mereka masing-masing. Eyang Rosma tersenyum geli melihatnya.

“Apa kita sudah bisa pergi sekarang? Alvin, Adinda.” Eyang Rosma bertanya, masih dengan tersenyum.

“Iya, Eyang.” jawab keduanya kompak, dengan wajah memerah.


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar