Kamis, 30 Desember 2010

Menikahlah Denganku, Mel - Bagian 2

Catatan:
-Cerbung ini aku tulis sekitar tahun 2007.
-Pernah aku ikutkan sayembara menulis cerpen dan cerbung Femina 2007, tapi tidak menang.
-Pernah aku kirimkan ke majalah, tapi tidak dimuat.
-Pernah juga aku kirimkan ke sebuah penerbit, tapi tidak ada kabarnya.
-Akhirnya cerbung ini aku publish di blog ini. Hehehe.

Sinopsis:
Amelia, Saskia, Elisa, dan Widia adalah empat sekawan semenjak kuliah hingga kini dimana mereka masing-masing telah bekerja di tempat berbeda. Untuk tetap menjaga tali silaturrahmi, mereka sepakat untuk bertemu dan berkumpul setiap jumat sore di kedai teh. Mereka mengobrol dan saling bertukar cerita. Saskia sedang mempersiapkan pernikahannya. Erika diajak menikah kekasihnya. Widia ternyata sudah hamil. Sedangkan kabar dari Amelia?


Maharani Menulis:


MENIKAHLAH DENGANKU, MEL

Wanna get married syndrome atau sindrom ingin menikah. Begitulah, aku menyebut apa yang aku rasakan ini. Dan, penyakit itu mulai menggerogoti hati dan pikiranku sejak aku menyaksikan Widia menikah, setengah tahun lalu. Entah kenapa, rasanya ada yang terjadi pada diriku ketika aku melihat sahabatku itu duduk di atas pelaminan bersama Surya, laki-laki yang sudah jadi pacarnya selama hampir sepuluh tahun. Perasaan bahagia sekaligus sedih. Sebenarnya aku turut bahagia karena Widia, telah menemukan salah satu kebahagiaannya terbesar dalam hidupnya yaitu menikah. Tapi, aku juga sedih karena di saat yang bersamaan aku malah merasa iri dengan kebahagiaannya itu. Sebenarnya normal tidak, sih, perasaanku ini?
   
Kemudian ketika Saskia memberitahuku bahwa dia juga akan menikah – kira-kira berselang dua bulan setelah Widia menikah – aku juga merasakan hal yang sama. Perasaan bahagia dan sedih itu kembali melandaku. Aku bahkan diam-diam sempat menangis di toilet kedai teh setelah mendengar berita bahagianya itu. Aneh tidak, sih, perasaanku ini?

Mungkin karena Saskia adalah sahabatku yang paling dekat dibandingkan yang lainnya, jadi aku seperti merasa akan kehilangannya bila dia menikah. Aku merasa seseorang akan mengambil Saskia dari sisiku – yang mengambilnya tentu saja Hendri, laki-laki yang sudah menjadi tunangannya selama dua tahun karena dialah yang akan menikahinya. Oh, how happy she is.
   
Dan sepertinya penyakitku ini semakin hari semakin parah saja ketika kemarin Elisa mengabarkan berita gembiranya. Bahwa dia juga akan segera menikah akhir tahun ini. Dengan Bramantio, pria yang baru jadi kekasihnya delapan bulan telah melamarnya. Oh, how lucky she is.
   
Sedangkan aku? Sudah hampir tiga tahun aku dan Ferian berpacaran, tapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda dia akan melamarku? Oh, how poor I am.

Senin, 27 Desember 2010

Masih Ada Cinta Yang Lain

Catatan:
-Aku tidak ingat kapan cerpen ini aku tulis.
-Cerpen ini terinspirasi dari kisahku. Meskipun plot, karakter, dan kejadiannya tidak seperti yang terjadi di cerpen, tapi inti ceritanya kurang lebih sama.
-Pernah aku ikutkan lomba menulis cerpen yang diadakan oleh Koran Minggu Pagi (aku lupa kapan), tapi tidak menang.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis:
Jessica menerima surat dari Leo yang mengaku sebagai sahabat Bram. Menurut Jessica, surat itu terlalu menyudutkannya. Hal itu membuatnya merasa harus bertemu dengan Bram yang menurut Leo telah tersakiti hatinya karena Jessica. Tapi Jessica malah bertemu dengan Leo. Dan pertemuan mereka pun tetap bermuara pada satu kesimpulan dan kenyataan bahwa Jessica tidak bisa membalas perasaan Bram. Jessica berharap masih ada cinta yang lain untuk Bram karena ia sendiripun sudah punya seseorang yang dicintai dan mencintainya.


Maharani Menulis:


MASIH ADA CINTA YANG LAIN


    “… Kamu sungguh tidak punya hati, Jessica. Hanya demi kekasihmu, kamu tega menyakiti hati Bram. Surat balasanmu itu benar-benar sangat melukai perasaannya. Bram begitu mencintaimu, tapi kamu terlalu egois…”

Jessica membaca surat yang dipegangnya itu dengan perasaan campur aduk antara geram, marah, dan ingin menangis. Betapa tidak? Tiba-tiba saja seseorang yang bahkan tidak dikenalnya menuduhnya demikian. Tidak punya hati dan egois. Tanpa alasan yang masuk akal. Siapa yang tidak kesal?

Adalah Leo, si pengirim surat yang juga mengaku sebagai sahabat Bram benar-benar telah membuat Jessica merasa seperti seorang penjahat saja—di mata Leo, tentunya. Jessica, the suffering maker, begitulah kira-kira gelar kini disandangnya karena dia telah dengan tegas dan berani menolak cinta Bram sehingga melukai perasaannya.

Padahal jelas-jelas Jessica punya alasan yang sangat masuk akal dalam penolakannya. Setidaknya, ada tiga alasan kenapa dia tidak bisa menerima cinta Bram. Pertama: Jessica tidak begitu mengenal siapa Bram meskipun mereka pernah satu sekolah ketika SMU, tapi tidak pernah satu kelas. Kedua: Jessica memang tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap Bram bahkan dia sempat kaget ketika tiba-tiba ada sepucuk surat cinta dari Bram datang padanya beberapa waktu yang lalu. Ketiga (yang paling penting): Jessica saat ini sudah punya kekasih!

Apakah ketiga alasannya itu masih kurang jelas atau tidak wajar? Lalu, Jessica harus bagaimana lagi untuk membuat mereka mengerti? Haruskah, sekali lagi, dia menjelaskannya? Penjelasan secara langsung pada Bram—setidaknya. Face to face meeting. Jessica dan Bram harus bertemu muka agar semuanya jelas. Mungkin itu satu-satunya jalan terbaik.

***


Jumat, 17 Desember 2010

Accident Prone

Catatan:
-Accident prone bisa diartikan sebagai kemalangan yang terjadi berturut-turut. Aku pernah mengalaminya dan itu menginspirasiku menulis cemilan ini.
-Pernah aku kirimkan sebuah majalah untuk sebuah rubrik, tapi tidak bisa dimuat. Once again, I'm just not lucky yet!
-Akhirnya aku publish di blog ini untuk menambah koleksi cemilan. Hehehehe.


Maharani Menulis:


ACCIDENT PRONE


Accident prone. Begitulah ungkapan yang dilontarkan teman saya, Ovi, saat saya menceritakan pengalaman (baca: kemalangan)  saya beberapa waktu lalu selama tiga hari bertutut-turut. Accident prone dalam bahasa Indonesia berarti mudah celaka atau bila menurut saya lebih tepat diperibahasakan menjadi sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Hari pertama. Bertepatan dengan jatah saya off dari kerjaan selama dua hari, perut saya sakit karena (maaf) saya dapat ‘jatah bulanan’. Pagi itu saya berencana mengunduh beberapa file di warnet (warung internet) sebelum saya pulang ke Kebumen sore harinya. Karena warnetnya tidak begitu jauh, kira-kira 15 menit naik bis atau kurang lebih 40 menit jalan kaki, saya memutuskan untuk berjalan kaki saja (I am used to walk, by the way). Selain saya punya beberapa alternatif jalan pintas, cuaca pagi itu cukup bersahabat, sejuk dan tidak panas sehingga dengan semangat saya pun mulai melangkahkan kaki. Hitung-hitung olahraga pagi biar lebih sehat.

Saya baru berjalan kira-kira sepuluh menit ketika sampai di salah satu jalan alternatif. Biasanya saya jarang sekali lewat jalan itu, tapi pagi itu saya iseng-iseng lewat sana. Dan ternyata keisengan saya berbuah keisengan orang lain. An unknown perverted man who rode motorcycle insulted me by poking (sorry) my b*tt when he passed me by. Kejadiannya berlangsung cepat dan mendadak sehingga saya tidak curiga ketika mendengar deru sepeda motor di belakang saya. Saya juga tidak sempat menghindar atau bereaksi keras. Saya hanya bengong sambil mengumpat: s*it setelah dia melancarkan aksinya. Fiuh.

Menikahlah Denganku, Mel - Bagian 1

Catatan:
-Cerbung ini aku tulis sekitar tahun 2007.
-Pernah aku ikutkan sayembara menulis cerpen dan cerbung Femina 2007, tapi tidak menang.
-Pernah aku kirimkan ke majalah, tapi tidak dimuat.
-Pernah juga aku kirimkan ke sebuah penerbit, tapi tidak ada kabarnya.
-Akhirnya cerbung ini aku publish di blog ini. Hehehe.

Sinopsis:
Amelia, Saskia, Elisa, dan Widia adalah empat sekawan semenjak kuliah hingga kini dimana mereka masing-masing telah bekerja di tempat berbeda. Untuk tetap menjaga tali silaturrahmi, mereka sepakat untuk bertemu dan berkumpul setiap jumat sore di kedai teh. Mereka mengobrol dan saling bertukar cerita. Saskia sedang mempersiapkan pernikahannya. Erika diajak menikah kekasihnya. Widia ternyata sudah hamil. Sedangkan kabar dari Amelia?


Maharani Menulis:


MENIKAHLAH DENGANKU, MEL



Menikah. Semua orang pasti ingin menikah, tak terkecuali aku, apalagi saat ini usiaku sudah menginjak 28 tahun. Usia yang menurut sebagian besar orang sudah sepantasnya dan sebaiknya sudah menikah, terutama untuk seorang wanita. Alasannya, apalagi kalau bukan alasan biologis bahwa semakin tua usia seorang wanita, dia akan semakin susah untuk hamil dan melahirkan.

Sedangkan alasanku ingin menikah bukan semata-mata karena alasan itu. Bukan karena teman-temanku yang sering bertanya: “Kapan, nih, kami menerima undangan pernikahanmu, Mel?” Bukan pula karena kedua orang tuaku yang akhir-akhir ini sering menodongku dengan pertanyaan yang intinya sama: “Kapan kamu akan menikah, Mel?” Atau, “Kapan Ferian akan melamarmu, Mel?” Ah. Aku tidak mungkin menyalahkan mereka dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Apalagi menyalahkan orang tuaku. Sebab pertanyaan seperti itu adalah wajar bila dilontarkan oleh orang tua manapun yang memiliki anak gadis yang sudah berumur dan punya pacar, tapi belum menikah atau dilamar juga.

Untungnya aku tidak tinggal lagi bersama dengan orang tuaku – karena jarak rumah dan tempat kerjaku lumayan jauh – jadi, aku tidak perlu merasa hidup di bawah tekanan, meskipun aku akui perasaan tertekan itu terkadang muncul juga menderaku. Dengan penghasilanku yang lumayan besar, aku bisa membeli sebuah rumah mungil tak jauh dari tempat kerjaku – meskipun dengan sistem kredit – dan menyewa seorang pembantu untuk mengurusi rumah dan juga kebutuhanku sehari-hari.

Dan alasanku ingin segera menikah sebenarnya adalah karena aku sudah siap untuk menikah. Wajar dan masuk akal, kan? Secara lahir dan batin? Secara moral dan material? Tentu saja. Aku sudah siap. Dengan apa yang sudah aku miliki sekarang, pokoknya aku sudah siap sekali.

“Non Amelia,” Suara Mbok Asih, pembantuku yang berusia hampir setengah abad, mengejutkanku.

Buru-buru aku menoleh dan tersenyum padanya. “Ada apa, Mbok Asih?” tanyaku kemudian.

Rabu, 15 Desember 2010

Sahabatku, Gladys

Catatan:
-Aku tidak ingat kapan cerpen ini aku tulis.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis: 
Ada apa dengan Gladys? Gladys berubah. Setidaknya, itu yang dirasakan Natasha, sahabat Gladys. Apalagi mendadak Gladys tidak bisa diketahui keberadaannya, membuat Natasha bertanya-tanya. Sampai akhirnya Tamara datang membawa kabar tentang Gladys.


Maharani Menulis:

SAHABATKU, GLADYS


Ada apa dengan Gladys? Pertanyaan itulah yang akhir-akhir ini sering muncul di benakku. Belakangan ini sikap Gladys agak lain. Mungkin teman-teman yang lain tidak begitu memperhatikan apalagi merasakannya, tapi aku, sahabat karibnya sangat merasakan perubahan itu.

Gladys mulai berubah. Entah sejak kapan aku memang tidak tahu pasti, tapi aku mulai merasakan perubahan itu sejak ia berhubungan dengan Roy. Cowok yang dikenalnya di pameran fotografi beberapa bulan yang lalu.

Aku sendiri memang tidak begitu mengenal Roy bahkan sampai saat ini aku baru tiga kali bertemu dengannya. Selebihnya aku mengenalnya hanya dari cerita-cerita Gladys. Terkadang Gladys memang bercerita perihal Roy padaku tentang bagaimana hubungan mereka sejauh ini yang katanya memang menjadi semakin akrab. Aku sebagai sahabatnya tentu saja merasa senang karena ia mau berbagi cerita denganku meskipun aku yakin tidak semua cerita ia bagi denganku. Karena menurutku terkadang memang ada cerita-cerita yang memang tidak bisa diceritakan pada orang lain. Dan aku menghormati hal itu.

***


Aku duduk di kantin Ibu Juwita sambil menikmati es teler buatannya yang benar-benar bisa bikin teler karena saking nikmatnya. Kalau biasanya aku datang ke sana bersama Gladys, tapi hari ini dan beberapa hari belakangan ini, aku selalu datang sendirian.

“Sendirian lagi, Non Natasha?” Pertanyaan Bu Juwita sewaktu aku masuk tadi masih terngiang-ngiang di telingaku. Mungkin beliau merasa heran kenapa akhir-akhir ini aku selalu datang sendirian ke kantinnya. Mungkin juga beliau merasa kehilangan salah seorang pelanggannya yang setia.

Aku mengaduk-aduk es telerku setengah melamun sampai tidak menyadari kalau orang yang barusan aku pikirkan kini ada di depanku. Gladys.

“Nat,” sapanya mengagetkanku.

Kamis, 09 Desember 2010

Berhenti Berharap Berlebihan (3B)

Catatan:
-Terinsiprasi artikel di Femina No.46.
-Pernah aku kirimkan sebuah majalah untuk sebuah rubrik, tapi tidak bisa dimuat. I'm just not lucky yet!
-Akhirnya aku publish di blog ini untuk menambah koleksi cemilan. Hehehehe.


Maharani Menulis:


BERHENTI BERHARAP BERLEBIHAN (3B)


USIA 25+ MAKIN SUSAH JATUH CINTA, demikian judul salah satu artikel yang tertera di halaman muka FEMINA 46. And WOW!! It’s me, begitulah yang terbersit di benak saya saat membacanya. I am woman, over 25 years old, single, and hard to falling in love. What a coincidence.

Selesai membaca artikelnya segera saja saya mengambil ponsel dan mengetik sms yang isinya: Siang. Hehehe. Cuma mau sharing aja. Judul sampul Femina baru. Usia 25+ makin susah jatuh cinta. Reaksiku: That really suits me. Oh, L.O.V.E, where the hell are you? Yang kemudian saya kirimkan ke beberapa orang teman dan balasan mereka di antaranya:

Nia: (yang sepertinya mencoba mengingatkan saya) Bukannya Mbak jatuh cinta sama Matsujun? (Saya: I do fall for him).
Soal Matsujun adalah pengecualian---ini pembelaan saya. Kenapa? Karena jatuh cinta pada idola adalah hal yang wajar, kan? Hehehe…. Matsujun atau lengkapnya Matsumoto Jun adalah seorang idola yang berasal dari Negeri Sakura. Jun-chan, begitu panggilan sayang saya untuknya, adalah salah satu anggota boysband yang cukup terkenal di Jepang bernama ARASHI yang berada di bawah naungan Johnny Entertainment. Selain menyanyi, dia juga bermain dorama (istilah untuk serial TV di Jepang). Like in romantic movie, I fall in love with him at first sight. Setahun lalu, tepatnya 19 April 2008, sebelum tidur, saya menonton dorama Gokusen I (2002) yang iseng-iseng saya pinjam dari rental and minutes passed by, he showed up, and I’m captivated with him. Pagi harinya saya langsung ke warnet (warung internet), buka google, ketik keyword: Shin Sawada, Gokusen. Lalu muncullah nama Matsumoto Jun, ARASHI. Sejak itu saya pun mulai mencari dan menonton dorama-doramanya sampai sekarang. Juga lagu-lagu ARASHI yang kemudian membuat saya kembali bersemangat belajar Bahasa Jepang lagi (saya pernah mendapatkan kuliah Bahasa Jepang selama 2 semester di bangku kuliah.) If I may tell you honestly, falling in love with Jun-chan and learning Japanese make me dream of one big thing: someday I want to fly to Japan to greet him face to face and ask him personally to play role one of my character in my stories (well, actually I’m writer wannabe, hehehehe.) And I pray with all my heart and strengths this dream will come true soon. Terkadang dalam doa, saya berbisik: Jun-chan, matte kudasai ne! (Jun-chan, tunggu aku, ya!) Jadi, kembali ke topik masalah, jatuh cinta pada idola tidak termasuk dalam kategori jatuh cinta dalam kamus saya. Tapi, kalau suatu saat saya ‘dijatuhi cinta’ balik oleh Jun-chan, saya pastikan kamus saya akan direvisi, hehehehe.)

Rabu, 08 Desember 2010

Kapan Kawin?

Catatan:
-Karena seringkali ditanya “Kapan kawin?”, maka lahirlah tulisan ini. Uhm.... Padahal aku belum pernah kawin apalagi hamil, kenapa aku bisa melahirkan, ya? Hahahaha. Oooops... Kalau menemukan ide ibarat proses kawin dan mengolah ide adalah hamil, maka ketika sudah tiba saatnya ide tersebut dikeluarkan menjadi tulisan, maka tulisan itu adalah sesuatu yang dilahirkan. Jadi, yeah, begitulah. Uhm... weird analogy?! Whatever!
-Pernah aku kirimkan ke sebuah majalah untuk sebuah rubrik, tapi tidak ada kabarnya sampai sekarang.
-Akhirnya aku publish di blog ini untuk menambah koleksi cemilan. Hehehehe.


Maharani Menulis:


Kapan kawin?



Tentunya kita masih ingat dialog iklan sebuah merk rokok (bukannya promosi, lho) yang dibintangi Ringgo Agus Rahman beberapa waktu lalu. Yang kira-kira begini: “Kapan kawin?” tanya seorang ibu padanya. “May,” jawabannya itu terdengar berbunyi ‘Mei’. “Oh, Ringgo mau kawin bulan Mei,” ujar sang Ibu, yang dilanjutkan Ringgo dengan enteng. “Maybe yes, Maybe no,”

Kawin. Menikah. Berumah tangga. Married. Atau apalah istilahnya, suatu saat pastilah akan dialami atau setidaknya diinginkan oleh hampir setiap orang. Hanya masalah waktu alias kapan hal itu akan terlaksana saja yang berbeda-beda. Karena setiap orang punya target atau rencana sendiri-sendiri. Misalnya, si A setelah umur sekian. Si B setelah punya rumah sendiri. Atau Si C bila sudah ketemu pasangan yang cocok. Hmm… saya banget, tuh….

Menikah dan pasangan adalah dua hal yang saling berkaitan. Bila hendak menikah, pastilah harus ada pasangannya. Bila sudah punya pasangan, barulah bisa menikah. Pasangan yang saya maksud tentu saja pasangan heterogen, bukan homogen. Tapi, terkadang sudah ada pasangan pun belum tentu bisa menikah. Alasannya bisa macam-macam: belum siap, tidak cocok, kurang sreg, atau bukan jodohnya (?) dan banyak lagi. Apalagi yang belum punya pasangan. Hmm….lagi-lagi saya banget….

Jumat, 03 Desember 2010

Seuntai Kalung Perak

Catatan:
-Aku lupa kapan cerpen ini aku tulis.
-Cerpen ini pernah aku ikutkan lomba menulis cerpen yang diadakan oleh panitia book fair (aku lupa kapan), tapi tidak menang.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya (versi Inggrisnya pernah aku kirimkan ke majalah berbahasa Inggris, tapi ditolak juga) sampai akhirnya dimuat di Koran Minggu Pagi, 29 Maret 2009 dan menjadi cerpen kelima yang dimuat (cerpen kedua yang dimuat di koran).
-Aku baru tahu kalau cerpen ini dimuat setelah satu tahun pemuatannya, bukan satu tahu menunggu untuk dimuat. Itupun karena Mas Latief dari Minggu Pagi menanyakan apakah honor cerpen sudah diambil atau belum. Hahaha.
-Aku tidak punya copy edisi koran yang memuat cerpenku. Uhm... Never mind.

Sinopsis: 
Ryan meminta bantuan Rere untuk memilihkan sebuah kalung perak yang kata Ryan akan diberikannya pada seorang cewek yang sangat berarti baginya. Mengetahui hal itu, Rere merasa resah, tapi ia sudah terlanjur berjanji untuk membantu Ryan. Setelah kejadian itu, Rere pun mulai menjaga jarak dengan Ryan. Namun, Ryan yang sadar bahwa Rere menjauhinya segera bertindak cepat. Akhirnya Ryan pun memberitahu Rere siapa cewek yang sangat berarti baginya yang berhak atas seuntai kalung perak itu.


Maharani Menulis:



SEUNTAI KALUNG PERAK*


“Rere!” Langkah Rere terhenti. Dia membalikkan badannya dan melihat Ryan yang berlari-lari kecil menghampirinya.

Setelah berhasil mengatur napasnya, Ryan lalu tersenyum manis padanya dan Rere pun langsung bisa mencium bahwa pasti ada sesuatu di balik senyuman itu apalagi kemudian Ryan mengeluarkan kesaktiannya. “Halo, Rere yang baik hati. Kamu makin cantik aja, ya? Ryan jadi tambah suka deh melihatnya.”

To the point saja, deh. Apa yang bisa kulakukan untukmu hari ini?” Rere yang sudah hapal dengan kebiasaan Ryan yang satu itu—pujian Ryan sama dengan permintaan bantuan—langsung memberinya umpan balik.

Ryan tampak cengar-cengir dan salah tingkah. Digaruk-garuknya kepalanya yang memang sedikit gatal karena sudah saatnya keramas. Ryan tampak malu-malu mengatakannya, “Begini, Re, kamu kan cewek…”

“Kamu baru sadar, ya?” Rere malah jadi tidak sabar melihat kelakuannya. Akhir-akhir ini Ryan memang jadi kelihatan semakin aneh. Suka malu-malu kalau lagi bicara padanya. Kadang wajahnya malah sampai memerah. Tapi, yang lebih aneh lagi, Ryan jadi suka senyum-senyum sendiri tanpa sebab yang jelas.

“Jangan menyela, dong. Aku kan belum selesai ngomongnya.” Ryan tampak kesal padahal Rere tahu itu hanya pura-pura saja.

Rere tersenyum geli. “Oke, deh. Bantuan apa?”

***


Di sinilah mereka sekarang. Di depan sebuah toko bernama Silver Shop. Sebuah toko yang menyediakan segala macam pernak-pernik kerajinan dan perhiasan dari perak. Mulai dari pajangan, aksesories, souvenir, dan tentu saja perhiasan dengan berbagai macam model dan bentuk.

“Kamu lagi jatuh cinta, ya, Yan?” Lagi-lagi Rere menebaknya tanpa basa-basi. Ryan pun lagi-lagi tampak malu-malu, wajahnya juga tampak sedikit memerah meskipun dia matian-matian menutup-nutupinya dengan berkali-kali mengusap-usap rambutnya untuk mengalihkan perhatian Rere agar tidak memandangi wajahnya dengan penuh rasa ingin tahu karena curiga.

Suatu Senja di Sudut Kota

Catatan:
-Cerpen ini pertama kali aku tulis saat aku mengikuti pelatihan menulis cerpen di kampusku tahun 2000 dan telah mengalami berkali-kali revisi sampai akhirnya menjadi seperti ini.
-Pernah aku ikutkan lomba menulis cerpen Minggu Pagi (aku lupa kapan), tapi tidak menang.
-Beberapa kali ditolak oleh majalah yang pernah aku kirimi naskahnya hingga akhirnya dimuat di MINGGU PAGI No. 53 Tahun ke-60 / Minggu V Maret 2008 dan menjadi cerpen keempat yang dimuat (cerpen pertama yang dimuat di koran). Aku masih menyimpan potongan koran tersebut.


Sinopsis: 
Saskia terkenang pengalamannya suatu hari. Gara-gara lupa waktu, ia panik saat hendak pulang hari sudah gelap. Lebih panik lagi saat seseorang tak dikenalnya mengejar-ngejarnya.



Maharani Menulis:


SUATU SENJA DI SUDUT KOTA*



Hari masih sore. Kendaraan-kendaraan pun masih setia melaju di jalanan. Sesekali terdengar suara klakson yang dipencet-pencet gemas pengemudi yang lalu-lalang. Bising. Berisik.

Saskia berdiri di pinggir jalan, di depan sebuah toko, menunggu biskota. Sebuah tas berisi barang belanjaan tergantung di tangannya. Hampir 12 menit ia menunggu, tapi biskota yang ditunggunya tak juga datang. Rasa gelisah mulai menyerang. Sesekali diliriknya arloji di tangannya. Hampir malam.

“Becak, Mbak,” Tiba-tiba seorang tukang becak menghampiri.

“Tidak, terima kasih,” jawab Saskia cepat, sambil mencoba tersenyum ramah.

“Kemana, sih, Mbak?”

“Pemuda!” sahut Saskia sambil menenangkan hatinya yang mulai dirambati rasa takut. Entah kenapa pertanyaan tukang becak itu begitu mengusiknya.

“Dari masjid, kemana?” tanyanya lagi, mungkin iseng.

Saskia memandang tukang becak itu sekilas dan takut-takut. Mungkin tukang becak itu melihat ada ketegangan terpancar dari wajahnya sehingga ia tersenyum geli.

“Mbak…”

“Maaf, bis yang saya tunggu sudah datang,” ujar Saskia.

Saskia pun bergegas naik. Aman, pikirnya.

***


Saskia memang merasa ketakutan bila pergi sendirian apalagi dia termasuk pendatang baru di kota itu. Tindak kejahatan yang terjadi akhir-akhir ini membuatnya ngeri dan harus bersikap waspada, dimanapun berada.

Pernah suatu kali, sepulang kuliah, berbelanja. Niatnya cuma mau beli beberapa kebutuhan kos, ternyata ia keasyikan keliling mal, sehingga tanpa disadari sudah menghabiskan waktu lebih dari empat jam. Ketika keluar dari salah satu mal baru sadar hari telah gelap.

Making of Cerpen "Maafkan Aku Bila Mencintaimu"

Hello,


Masih ingat cerpenku yang berjudul “Maafkan Aku Bila Mencintaimu”, kan? Cerpen pertamaku yang dimuat, di Majalah ANITA Cemerlang/10/Tahun XXI/26 Mei – 08 Juni 2000. This moment i will tell you the making of that story.

Well, proses pembuatan cerpen itu tidaklah lama. Hanya perlu beberapa hari saja. Mungkin karena cerpen itu terinsipirasi dari kisahku sendiri, jadi aku dengan mudah menuliskannya. Setelah cerpen itu selesai aku tulis, aku pun tidak langsung mengirimkannya kemana pun karena cerpen itu sejatinya adalah salah satu bentuk curahan hatiku (curhat) yang aku tuangkan lewat tulisan dan aku tidak ada niat untuk mempublikasikannya. Hingga suatu hari aku memberanikan diri meminta temanku, Mae, membacanya dan dia bilang not bad meski dia curiga dan bertanya apakah itu kisahku dan waktu itu aku cuma tersenyum. I was sorry, Mae, I couldn't tell you the truth that it was written based on my own experience.

Aku baru kepikiran untuk mengirimkan cerpen itu saat aku menemukan dan membaca majalah Anita Cemerlang yang isinya adalah cerpen-cerpen remaja. Waktu itu aku berpikir: bagaimana ya rasanya kalau cerpenku bisa dimuat di majalah dan dibaca oleh banyak orang?

Dan perjuanganku pun dimulai.

Rabu, 01 Desember 2010

Valentino

Catatan:
-Cerpen ini adalah cerpen ketiga yang dimuat di majalah, yaitu KaWanku No. 8/XXXIII/18 – 24  Agustus 2003.
-Aku lupa berapa lama waktu yang aku perlukan untuk mengetahui bahwa cerpen ini akhirnya dimuat, mungkin sekitar 6 bulan. Edisi majalah yang memuat cerpen ini masih aku simpan.
-Aku tidak mendapatkan copy majalah dari majalah KaWanku dan hanya diberitahu nomor edisi dan tanggal terbitnya saja yang ternyata ada kesalahan informasi sehingga menyulitkanku untuk mencari edisi majalah yang dimaksud. Apalagi waktu terbit majalah dan pemberitahuannya terpaut cukup lama sehingga lagi-lagi aku kesulitan menemukannya meskipun akhirnya ketemu juga. Setelah aku mencarinya di kios-kios majalah dan pasar loak. But, it's worthy! Because once again, I got my story published!

Sinopsis:  
Amanda makin kesal saja pada Valentino setelah cowok culun berambut klimis belah pinggir, berkaca mata tebal dan berkawat gigi itu tidak datang di kafe tempat mereka sepakat untuk bertemu--awalnya Amanda keberatan bertemu di luar sekolah, tapi akhirnya ia setuju. Ia tidak percaya Valentino berani mengelabuinya. Dan ketidakpercayaan yang berujung pada keterkejutan itu semakin menjadi-jadi saat ia datang ke rumah teman adiknya, Tina, dan ia bertemu dengan Valentino di sana.

Maharani Menulis:



VALENTINO*



“Itu dia anaknya,” ujar Neta saat melihat Amanda duduk sendirian di bangku panjang di belakang ruang perpustakaan. Segera saja ia menghampiri cewek itu diikuti Silvi dan Mila yang mengekor di belakangnya. “Rupanya kamu di sini, Manda,” katanya lagi, lalu duduk di sebelah Amanda sedangkan Silvi dan Mila berdiri di hadapan mereka.

“Aku lagi sebel sama si kaca mata tebal itu.” kata Amanda tiba-tiba. Ketiga sahabatnya saling berpandangan.

“Valentino?” kata mereka kompak lalu cekikikan.

“Eh, dibilangin malah ketawa,” sungut Amanda. Wajahnya langsung berubah judes seketika. “Kalian senang ya, lihat aku susah?”

“Bukan begitu, Manda,” Silvi yang bicara. “kita semua tau kalau kamu dari pertama kali bertemu Valentino sudah sebel, tapi yang bikin aku heran, sebelmu kali ini kayaknya lain, deh. Bener nggak, temen-temen?” ujarnya lagi yang diiyakan Neta dan Mila. “Sebenarnya ada apa, sih?”

“Kalian mau tau, si rambut klimis belah pinggir itu nggak nepatin janji.”

“Maksud kamu?” Silvi rada bingung.

“Kamu janjian sama Valentino?” Neta ikut bingung.

“Kencan, begitu? Jangan bercanda, deh.” Mila tidak percaya.

“Aku memang janjian sama si kawat gigi itu kemarin.” jelas Amanda.

“Hah?” Ketiga sahabatnya itu tampak shock.

“Kamu serius, Manda?” Neta menatapnya. Silvi dan Mila juga. Mereka bertiga benar-benar tidak bisa percaya dengan omongan Amanda barusan. Mereka tau betul kalau Amanda paling anti sama yang namanya Valentino. Cowok culun, berambut klimis belah pinggir, berkaca mata tebal dan berkawat gigi. Bukan karena tampangnya yang emang jauh dari keren yang bikin Amanda jutek, tapi karena Valentino suka sekali mencari perhatiannya hingga membuatnya sebel.

“Sebenarnya dia yang ngajak aku untuk ketemu di kafe. Katanya, dia mau ngomongin hal yang penting. Awalnya aku menolak kalau ketemu di kafe, mendingan di sekolah saja setelah jam pelajaran selesai, tapi dia tidak mau. Ya, sudah, karena dia terus mendesak, akhirnya aku terpaksa menyetujuinya.”

“Lalu?” tanya mereka antusias.

“Lalu aku pun datang ke kafe sesuai dengan kesepakatan. Waktu aku sampai di sana, ia memang belum datang karena aku datang lebih awal dari waktu yang ditentukan. Tapi, sampai dua jam lebih aku menunggunya, ia tidak datang juga bahkan bayangannya pun tidak kelihatan. Sampai jenuh dan capek aku dibuatnya.” jelas Amanda berapi-api. “Coba kalian pikir, apa aku nggak berhak marah, sebal, dan kesal? Kalau niatnya mau negerjain, kira-kira, dong!”

Ketiga sahabatnya melongo melihat Amanda begitu emosinya.

“Ya, mungkin aku lagi sial! Nggak cakep nggak jelek sama saja. Semuanya tukang ngibul.” setelah berkata seperti itu Amanda kemudian ngeluyur pergi membuat Neta, Silvi, dan Mila semakin melongo.


***

Grey Wednesday

Catatan:
Tulisan berikut merupakan tulisan non cerpen pertamaku yang dimuat di Majalah, tepatnya Majalah  CHIC No. 10. 7-12 Mei 2008 di rubrik My Point of View. Sebenarnya tulisan ini lebih tepat disebut artikel (curhat). Hahahaha.


Maharani Menulis:

GREY WEDNESDAY*


Kalau orang-orang punya istilah I hate Monday, Freaky Friday atau Happy Sunday untuk menggambarkan hari-hari dalam hidup mereka, saya juga punya istilah sendiri yaitu Grey Wednesday alias Rabu Kelabu. Ceritanya begini.

Saya adalah seorang karyawan di sebuah tempat persewaan buku sekaligus vcd dan dvd film. Kantor kami beroperasi 12 jam per hari dari jam 09.00 hingga jam 21.00, dengan dua shift yang terdiri dari 2 orang tiap-tiap shift selama 6 jam, dan masing-masing karyawan mendapat jatah one day off a week yang berbeda-beda tergantung kesepakatan bersama. Dalam seminggu kami memiliki dua hari sibuk yaitu Senin dan Rabu. Pada dua hari tersebut buku-buku baru terutama jenis komik datang. Kalau pada hari Senin buku baru yang datang hanya berkisar  antara 7 sampai 10 judul buku dengan jumlah eksemplar 2 sampai 3 untuk disewakan. Pada hari Rabu buku baru yang datang bisa mencapai 10 sampai 20 judul dengan jumlah eksemplar 3 sampai 5 untuk disewakan.

Minggu, 28 November 2010

Obrolan? atau Curhat?

Hello,

Tak terasa sudah 10 cerpenku yang aku publish di blog ini. 10 cerpen yang sebagian besar lupa kapan aku tulis karena memang sudah lama. Dari 10 cerpen tersebut, manakah yang paling kalian suka? Kenapa?

1. Maafkan Aku Bila Mencintaimu
2. Mawar Merah Buat Sandra
3. Seperti Elang
4. Semua Karena Cinta
5. Bila Cinta Telah Memilih
6. Balada Cinta Julia
7. Bukan Cinta Sesaat
8. Hatiku Bukan Pualam
9. Nabila's Diary Of Broken Hearted
10. Indah Pada Waktunya

Kalau aku, paling suka dengan cerpen Indah Pada Waktunya. Seperti yang pernah aku katakan, everything has its time atau setiap hal ada saatnya. Dan setiap hal itu akan terasa indah bila waktunya sudah tiba. Benar, tidak?

Seperti misalnya, cerpen-cerpenku yang akhirnya bisa dimuat setelah berapa lama. Rasanya benar-benar menyenangkan saat membaca namaku dan tulisanku muncul di halaman majalah atau koran meskipun aku perlu menunggu sekian waktu untuk melihatnya.

Maunya sih, begitu dikirim, tidak lama kemudian tulisanku bisa dimuat. Tapi, kenyataannya tidak demikian. Aku perlu menunggu lama atau malah lebih sering tidak bisa dimuat karena sesuatu dan banyak hal. Padahal menurutku, tulisanku sudah bagus atau minimal layak muat, tapi kenyataannya tidak demikian menurut para redaktur.

Sabtu, 20 November 2010

Indah Pada Waktunya

Catatan:
-Aku memilih judul “Indah Pada Waktunya” karena apapun itu pasti akan terasa indah bila sudah tiba pada waktunya. Everything has its time, right?
-Cerpen ini aku tulis tahun 2009.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis:  
Sudah jatuh tertimpa tangga pula, begitulah kira-kira ungkapan yang tepat untuk menggambarkan apa yang sedang dialami Indah. Di-PHK dari tempatnya bekerja, diputus oleh kekasihnya, Adrian, tidak bisa mengikuti wawancara kerja karena surat undangannya menghilang, tidak lolos seleksi kerja, dan lembaran draft novel yang sedang ditulisnya juga raib. Peristiwa itu beruntun menimpa Indah. Namun, keberuntungan akhirnya berkenan menghampirinya bersamaan dengan kedatangan Adrian suatu hari.

Maharani Menulis:


INDAH PADA WAKTUNYA



Dalam hal mencari pekerjaan, Indah, meski sudah berbekal selembar ijazah berlabel sarjana strata satu dengan predikat cum laude, beberapa sertifikat prestasi, sertifikat keterampilan komputer, dan juga sertifikat kecakapan berbicara dalam bahasa Inggris lisan dan tulisan, ternyata belum membuatnya mampu menaklukkan dunia kerja—padahal ia juga tidak pilih-pilih pekerjaan. Kalau pun ia bisa sampai ikut dalam tahap-tahap tes kualifikasi sebagaimana mestinya, tapi akhirnya selalu tidak lolos alias gagal. Sehingga selama enam bulan pasca lulus ia pun harus berbesar hati menikmati suramnya dunia pengangguran.

Barulah pada bulan ketujuh Indah mendapatkan pekerjaan pertamanya, sebagai assistant manager di sebuah perusahaan asuransi. Tapi, ternyata ia hanya mampu bertahan tiga bulan training saja dan akhirnya resign. Alasannya adalah ketidakcocokan. Ternyata setelah menjalani pekerjaannya, ia merasa tidak bisa mengikuti pola kerja perusahaan. Mungkin alasan itu kedengarannya klise atau terkesan dibuat-buat. Tapi bila kita sudah merasa tidak nyaman atau kurang enjoy dalam bekerja, bukankah kita hanya akan bekerja dengan setengah hati saja? Dan bila kita tidak bekerja dengan sepenuh hati, bukankah hasilnya juga tidak bagus?

Selang dua bulan kemudian, Indah mendapatkan pekerjaan lagi. Kali ini sebagai administration staff di sebuah perusahaan elektronika. Dibandingkan pekerjaannya yang sebelumnya, posisinya kali ini memang lebih rendah. Gajinya pun lebih kecil. Tapi, ia tetap mensyukurinya. Ia terima pekerjaan itu dengan suka cita dan menjalaninya dengan senang hati. Tapi sayang, pada bulan ketiga belas, ia malah menerima surat PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karena perusahaan mengharuskan adanya pengurangan karyawan.

Dalam urusan mencari pasangan pun Indah bisa dikatakan cukup sulit mendapatkannya. Ia baru menemukan Mr. Right di saat usianya menginjak dua puluh enam tahun. Padahal selama enam tahun terakhir ada beberapa pria yang dekat dengannya, tapi tak satupun dari mereka yang statusnya lebih dari sekedar teman baginya. Baru setelah ia bertemu Adrian, Indah merasa he is the one. Mungkin karena Adrian orangnya kalem dan tidak neko-neko sehingga Indah jatuh hati padanya dan ingin menjalin kasih dengannya—dan bahagianya, Adrian juga merasakan hal yang sama.

Namun sayangnya, percintaan mereka yang adem ayem itu ternyata harus berakhir dengan tidak bahagia. Karena keegoisan orang tua—begitu Indah menyebutnya—jalinan kasih mereka yang baru berusia enam bulan itu pun terpaksa terputus. Sebenarnya Adrian tidak ingin mengakhiri hubungan mereka, tapi ia pun tak kuasa menolak keinginan orang tuanya yang menginginkannya menikah dengan Icha, wanita pilihan mereka. Indah pun sebenarnya masih ingin mempertahankan hubungan mereka, tapi ia juga tidak mau hubungan Adrian dan orang tuanya jadi tidak harmonis karena keinginannya. Maka, akhirnya Adrian terpaksa menuruti permintaan orang tuanya dan Indah pun dipaksa menerima PHK alias Pemutusan Hubungan Kekasih dari Adrian.

***


Nabila's Diary Of Broken Hearted

Catatan:
-Cerpen ini aku tulis sekitar tahun 2006.
-Hehehe. Lagi-lagi cerpen ini terinspirasi oleh kisahku *malu*. Tapi, plot dan karakternya sudah diubah sedemikian rupa sehingga cukup layak dibaca oleh publik. Aku tidak bermaksud untuk menyudutkan siapapun apalagi mencemarkan nama baik karakter-karakater yang menginspirasiku menulis cerpen ini. Yang aku tulis hanyalah fiksi, meskipun inspirasinya dari kisah nyata. Hehehe.
-Cerpen ini terkesan cengeng? Well, I just wrote what I may felt. He's my first boyfriend and that was my first broken hearted experience. What else I could say? I was like broken hearted girl who mourning over her first love life ending. But now that girl can only laugh it loud. Love may end, but life must go on. Hahaha. Wish someday true love and good life will come to me.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis: 
Dengan alasan klise hubungan sepasang kekasih harus berakhir. Herlambang dijodohkan dengan orang lain oleh kedua orang tuanya. Nabila benar-benar tak habis pikir. Kenapa kedua orang tua Herlambang yang tahu tentang hubungan mereka dan sepertinya tidak keberatan bisa membuat keputusan seperti itu? Kenapa Herlambang lebih memilih menerima keputusan kedua orang tuanya dan memutuskan hubungan mereka yang sudah terjalin selama lima tahun? Nabila mengenang semua itu lewat diary-nya.

Maharani Menulis:



NABILA'S DIARY OF BROKEN HEARTED



Nobody wants to be lonely
Nobody wants to cry
My body’s longing to hold you
So bad it hurts inside
Time is precious then it’s slipping away
And I’ve been waiting for you all of my life
Nobody wants to be lonely
So, why don’t you let me love you?
(Nobody Wants To Be Lonely—Ricky Martin & Christina Aguilera)



28 November 2006, pukul 22.10 WIB

Suara merdu milik si macho Ricky Martin dan si seksi Christina Aguilera yang mengalun melalui program winamp di notebook-nya malah membuat batin Nabila semakin nelangsa. Bagaimana tidak? Nobody wants to be lonely, but she is now. Nobody wants to cry, but she does now. My body’s longing to hold you. Yes, her body does. So bad it hurts inside. Yes, it is. Time is precious then it’s slipping away. Yes, it is. And I’ve been waiting for you all of my life. Yes, she has been. Nobody wants to be lonely, but she is now. So, why don’t you let me love you? Exactly, why can’t we be together?

Nabila. Sambil memandangi form blank document di layar notebook-nya, air matanya mulai mengalir. Membasahi kedua pipinya yang putih. Membentuk sepasang aliran anak sungai di wajahnya. Dan sedetik kemudian isak tangisnya pun terdengar meningkahi alunan lagu sendu itu. Nabila menangis. Bukan tanpa alasan. Air matanya tumpah. Bukan tanpa sebab. Itu semua karena Herlambang. Karena rasa cintanya pada lelaki itu.

Herlambang. Lelaki yang sudah menjadi kekasihnya selama lima tahun ini. Lelaki yang sudah menjadi bagian dalam hidupnya selama lima tahun ini. Sekaligus juga lelaki yang telah menjadi mantan kekasihnya sejak lima jam yang lalu. Sekaligus juga lelaki yang telah memutuskan untuk tidak lagi jadi bagian dalam hidupnya sejak lima jam yang lalu.

28 November 2006, pukul 16.00 WIB

Seperti hari-hari sebelumnya. Seperti hari-hari biasanya. Hari ini pun selepas kerja Nabila dijemput pulang oleh Herlambang. Meskipun mereka tidak bekerja di kantor yang sama—Nabila bekerja di sebuah biro perjalanan wisata, sedangkan Herlambang bekerja di sebuah perusahaan properti—tapi karena tujuan tempat kerja mereka sejalan dan jadwal kerja mereka yang hampir bersamaan, jadi hampir setiap hari mereka selalu berangkat dan pulang kerja bersama-sama dan itu secara otomatis sudah menjadi kebiasaan mereka selama hampir dua tahun ini.

Seperti hari-hari sebelumnya. Seperti hari-hari biasanya. Hari ini pun Herlambang tidak menunjukkan sikap yang berbeda. Ia tetap terlihat tenang dan wajar. Tidak ada gelagat atau gerak-geriknya yang memancing kecurigaan akan adanya sesuatu yang tidak beres. Tidak ada tanda-tanda yang mengindikasikan bahwa akan terjadi sesuatu. Semuanya tampak biasa-biasa saja sampai akhirnya Nabila menyadari suara Herlambang terdengar sedikit bergetar ketika mereka berbincang-bincang di teras rumah Nabila.


Senin, 15 November 2010

Hatiku Bukan Pualam

Catatan:
-Judulnya terkesan puitis. Tapi, bukankah demikian adanya sebuah hati? Hati adalah perasaan yang bisa merasakan semua hal yang terjadi pada diri seseorang. Sedangkan pualam adalah sejenis batu yang merupakan benda mati dan tidak bisa merasakan apapun. Hehehe. Semoga sok puitis-ku masih bisa diterima.
-Aku tidak ingat kapan cerpen ini kutulis.
-Cerpen ini mengalamai berkali-kali revisi sampai akhirnya aku merasa cukup puas dengan hasilnya yang seperti ini.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis:
Arel dan Rico adalah sepasang kekasih. Kalau Rico bisa pergi dengan cewek lain, Arel pun bisa pergi dengan cowok lain. Kasih, begitu pikir Arel. Namun, ketika Arel pergi dengan Deni, Rico marah besar. Mereka lagi-lagi berdebat. Arel yang sudah lelah menghadapi sikap Rico akhirnya berinisiatif mengambil keputusan yang sebenarnya berat dilakukannya.



Maharani Menulis:



HATIKU BUKAN PUALAM


“Kamu serius mau pergi dengan Deni, Rel?” tanya Vina setelah merebahkan tubuhnya di kasur Arel yang empuk.

Arel yang sedang menyisir rambutnya menoleh ke arah teman satu kosnya itu sekilas. “Seriuslah,” jawabnya. “Apa kamu tidak melihat aku sedang bersiap-siap?”

“Tapi, Rel,” Vina ingin protes, tapi ragu-ragu.

“Tapi, apa, Vi? Kamu keberatan?” tanya Arel sambil memoleskan lipstik di bibirnya tipis-tipis.

“Hah? Aku keberatan? Yang benar saja,” Vina tidak terima.

“Ya, siapa tahu kamu diam-diam naksir Deni. Jadi, wajar saja kan kamu keberatan kalau aku pergi dengannya?”

“Aurelita, sayang,” Vina memandang sahabatnya yang kini tampak sedang mematut-matut dirinya di depan cermin. “Aku hanya khawatir,”

“Khawatir kalau aku akan jatuh cinta padanya?” sela Arel. “Oh, tenang saja, Vina sayang. Aku akan menjaga perasaanku dengan sebaik-baiknya agar tidak jatuh cinta padanya. Tapi, aku tidak bisa menjamin kalau Deni tidak akan jatuh cinta padaku, ya?”

“Bukan itu. Aku tahu kamu bukan tipe cewek yang mudah jatuh cinta. Tapi kalau Deni, aku tidak tahu. Ini soal Rico,” Vina tiba-tiba seraya memandang serius ke arah Vina yang sedang memeriksa tas tangannya. “Aku khawatir soal kekasihmu itu. Kalau dia tahu kamu pergi dengan Deni, kira-kira bagaimana reaksinya, ya? Dia pasti akan menghajar Deni dan mungkin saja akan marah padamu,”

Arel membalas tatapan Vina. “Kalau dia akan menghajar Deni, aku bisa memakluminya. Tapi, kalau dia marah padaku, rasanya itu tidak adil. Aku saja tidak pernah marah bila dia pergi dengan cewek lain. Jadi, kenapa dia mesti marah kalau aku pergi dengan cowok lain?” Dia saja bisa pergi dengan cewek lain, kenapa aku tidak bisa?”

Vina melongo mendengar perkataan Arel. Sementara Arel tersenyum manis padanya.

“Sudah ya, aku pergi dulu,” Arel melihat arloji di tangan kanannya. “Sebentar lagi Rico datang. Aku tidak mau membuatnya terlalu lama menunggu. See you,”

Vina tersenyum lagi. “Take care,”

Arel mengangguk. Lalu pergi meninggalkan kamarnya.

***

Bukan Cinta Sesaat

Catatan:
-Judulnya lagi-lagi klise. Bila sedang mengantuk judulnya bisa-bisa dibaca “bukan cinta sesat”, hahahaha.
-Aku tidak ingat kapan cerpen ini kutulis.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis:  
Alvin meminta Adinda berpura-pura menjadi kekasihnya di hadapan Eyang Rosma karena ia tak mau eyangnya menjodohkannya dengan cewek pilihannya. Sementara Adinda bersedia menjalankan perannya demi persahabatan mereka. Namun, siapa sangka kalau kepiawaian Adinda dalam menjalani perannya membuat Alvin menyadari satu hal yang selama ini tidak pernah terpikirkan olehnya.

Maharani Menulis:


BUKAN CINTA SESAAT



“Halo,” Adinda menjawab dering ponselnya dengan malas-malasan sambil tetap berbaring di kasurnya yang empuk. Matanya masih terasa berat untuk dibuka.

Good morning, girlfriend.” Terdengar sapaan dari seberang.

“Alvin,” Adinda langsung bisa menebak siapa gerangan yang sudah berani mengganggu tidurnya. “Kalau mau curhat, nanti siang saja, deh. Aku masih ngantuk, nih.” Adinda menguap.

“Adinda, sayang,” suara Alvin terdengar begitu lembut. “Pagi ini kita kan harus menjemput Eyang Rosma di stasiun. So, get up, honey."

What?” Adinda sampai memekik karena kaget. Matanya pun langsung melebar. Seketika itu juga dia bangun dari posisi tidurnya untuk duduk. Lalu cepat-cepat memanggil memorinya dan mencoba mengingat-ingat. Namun, hasilnya nihil. Seingatnya Alvin tidak pernah atau belum pernah mengatakan kalau Eyang Rosma, eyang putri Alvin yang tinggal di Jakarta, akan datang ke Yogyakarta pagi ini.

“Bukannya—bukannya kamu bilang kalau beliau baru akan datang besok pagi, Al?” tanya Adinda kemudian antara gugup dan ragu-ragu.

Sorry, honey, semalam aku lupa memberitahumu kalau kedatangan eyang Rosma dipercepat satu hari.” Lalu terdengar tawa kecil Alvin. Adinda buru-buru menjauhkan ponselnya dari telinganya.

Adinda tertegun sejenak. Dia tidak menyangka kalau dirinya akan menjadi ‘aktris’ satu hari lebih cepat dari waktu yang seharusnya.

“Halo, Dinda? Kamu masih di situ?”

“Hm…”

“Can I pick you up in twenty minutes?”

“Okay, Adinda pasrah.

***


Balada Cinta Julia

Catatan:
-Cerpen ini aku tulis sekitar tahun 2001 -- kalau ingatanku tidak salah, hehehe.
-Cerpen ini tidak bermaksud untuk menyudutkan siapapun meskipun ceritanya terinspirasi oleh kisah seorang teman bernama Vinsensia Julia.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis: 
Flashback. Tiba-tiba menemukan kembali gelang rotan berinisial JJ membuat Julia terkenang akan Joey, laki-laki yang pernah menjadi kekasihnya. Joey memberikan gelang itu padanya saat mereka jadian. Tapi sayang, kisah cinta mereka yang berawal manis, harus berakhir pahit karena kehadiran Dewi yang ternyata masih berstatus kekasih Joey dan bukan mantan kekasih seperti yang disangka Julia selama ini.

Maharani Menulis:


BALADA CINTA JULIA



Aku baru saja hendak memungut pulpenku yang terjatuh di lantai ketika pandangan mataku membentur sebuah benda kecil yang tergeletak di belakang kaki meja belajarku. Sebuah gelang rotan. Perlahan tanganku terulur meraih benda mungil itu. Hatiku bergetar. Kupandangi gelang itu lekat-lekat. Kuusapkan jemariku untuk membersihkan debu yang menempel pada gelang itu. Ah, aku jadi tersenyum sendiri. Kulihat dua buah huruf kembar terukir di bagian dalam gelang itu. JJ. Hatiku semakin bergetar.

“JJ,” Aku mengeja dua huruf yang terukir di gelang itu.

“Joey dan Julia,” Aku tersenyum lagi.

Lalu ingatanku pun kembali pada peristiwa beberapa bulan yang lalu saat aku bertemu dengan Joey untuk pertama kalinya.

***


“Joey, ini Julia. Julia, ini Joey,” Sinta, sahabatku, mengenalkan kami.

Kami bersalaman. Aku dan Joey. Saling tersenyum dan menatap.

“Nah, bagaimana kalau kita lanjutkan ngobrolnya di kafe saja? Sekalian makan siang. Oke, Joey?" 

Kulihat Joey mengangguk.

“Setuju, Julia?”

Aku tidak menjawab, masih memandangi Joey.

“Julia,” Sinta menyenggol lenganku.

“Ya?” Aku terkesiap. Duh! Kenapa aku jadi gugup begini? Karena Joey?

Lalu kami bertiga pergi ke kafe untuk makan siang. Sambil menikmati makan siang, kami pun melanjutkan obrolan. Sebenarnya yang mengobrol adalah Joey dan Sinta. Sinta yang sudah kenal cukup lama dengan Joey di tempat kursus bahasa Inggris, tentu saja terlihat akrab dengan Joey. Sedangkan aku, yang baru saja kenal dengan Joey—yang memang rada susah mengobrol dengan orang baru—cenderung tidak banyak bicara. Kalau Sinta atau Joey tidak melibatkanku dalam pembicaraan mereka, aku pun akan diam saja. Dan Joey yang agaknya menyadarinya, malah menggodaku.

“Kok diam saja, Julia? Lagi sariawan, ya?” candanya.

“Tidak,” jawabku singkat.

“Atau lagi memikirkan sang pujaan hati?” selidiknya.

“Tidak juga,” Aku spontan menggeleng.

“Julia ini masih single, Joey,” timpal Sinta cepat. “She is single and available.”

Are you really?” Joey menatapku penuh arti, tapi sayangnya aku tidak tahu apa arti tatapannya itu. Tapi, yang pasti hatiku bergetar karenanya. Ada apa ini? Hatiku sibuk bertanya-tanya.

***

Bila Cinta Telah Memilih

Catatan:
-Judulnya terlalu klise, but i had no choice that time. Hahaha.
-Aku tidak ingat kapan tepatnya cerpen ini kutulis.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.


Sinopsis:
Kenyataan bahwa Gilang, kekasihnya, adalah tunangan Marisa, baru diketahui Yolanda saat mereka bertiga tanpa sengaja bertemu di supermarket. Yolanda pun meminta putus, tapi Gilang menolaknya. Kepada Yolanda Gilang menceritakan hal yang sebenarnya tentang pertunangannya dengan Marisa. Di lain pihak, Marisa juga punya sesuatu yang ingin dikatakannya pada Gilang sehubungan dengan pertunangan mereka.


Maharani Menulis:


BILA CINTA TELAH MEMILIH


“Marisa,”

“Yolanda,”

Kedua cewek itu saling berjabatan tangan dan berkenalan.

“Maaf, tadi aku tidak melihatmu,” ujar Marisa sambil menyerahkan barang belanjaan Yolanda yang terjatuh ketika dia tanpa sengaja menabrak lengannya.

“Tidak apa-apa,” Yolanda tersenyum menerima barang belanjaannya. “Terima kasih.”

“Sendirian saja?” tanya Marisa tampak akrab.

“Ya,” Yolanda mengangguk lalu memeriksa keranjang belanjaannya.

“Kau sudah selesai, Marisa?” Seorang laki-laki muda datang menghampiri Marisa.

Marisa menoleh dan tersenyum padanya, “Iya, sayang,” sahutnya lalu memeluk lengan cowok itu. “Oh, ya, mari, kuperkenalkan kau dengan teman baruku,” katanya kemudian. Tepat di saat itu Yolanda mengangkat wajahnya dan memandang ke arah mereka. ”Perkenalkan, ini tunanganku.” Marisa melanjutkan ucapannya dengan mantap.

“Gilang?!” Yolanda terkejut sejenak melihat siapa gerangan cowok yang berada di samping Marisa. Namun begitu, dia cepat-cepat menarik sudut bibirnya dan tersenyum meski dengan perasaan yang tiba-tiba terasa aneh. Tunangan Marisa adalah Gilang?

“Yolanda?!!” Gilang tak kalah terkejutnya ketika pandangan matanya bertemu dengan tatapan Yolanda. “Hai, apa kabar, Yo..landa?” Sapaan Gilang terdengar terbata-bata karena gugup. Cowok itu tampak berusaha keras untuk terlihat tenang, tapi sepertinya gagal.

“Kalian saling kenal?” Marisa tampak bingung. Dipandangnya Gilang dan Yolanda bergantian.

“Iya,” Yolanda yang menjawab. “Kami teman satu kampus,”

“Oh, ya?” Marisa tampak surprise. Masih memeluk lengan Gilang, ia kembali memandangi Gilang dan Yolanda bergantian. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya melihat apa yang sedang terjadi di hadapannya.

Marisa memandang Gilang. Gilang memandang Yolanda. Yolanda memandang Marisa.
    
***

“Yolanda, please! Dengarkan dulu penjelasanku,” Gilang menghadang langkah Yolanda. Mau tak mau Yolanda berhenti meskipun dengan berat hati.

“Ada apa lagi, Lang?” tanya Yolanda mencoba menguasai gejolak hatinya. “Bukankah semuanya sudah jelas? Hubungan kita sudah berakhir,”

“Yolanda?” Gilang menyentuh wajah Yolanda. Cewek itu memalingkan wajahnya, tapi Gilang meraihnya kembali.

“Dengar, Lang,”

“Kamu yang harus dengarkan aku,”

“Hubungan kita sudah berakhir,”

“Itu keputusan sepihak darimu, bukan keputusan kita,”

Yolanda hanya mendesah.

“Aku...masih…mencintaimu!” Gilang menekankan kalimatnya kata per kata. “Aku masih mencintaimu, Yoli.”

Hati Yolanda berdesir halus saat Gilang memanggilnya dengan panggilan sayang itu. Yoli.

Yolanda menatap Gilang yang juga tengah menatapnya.

“Tidak, Lang. Kamu sudah punya tunangan. Kamu sudah punya Marisa. Jadi, tidak mungkin kita terus berhubungan, Lang. Hubungan kita mesti berakhir, Lang,” Yolanda menurunkan tangan Gilang yang masih menyentuh wajahnya.     

“Yoli?” Kali ini Gilang mengusap rambut Yolanda. Dada Yolanda makin berdebar-debar. Panggilan sayang itu benar-benar membuatnya tidak berdaya.

“Tidak mungkin, Lang. Aku tidak bisa.” Yolanda memalingkan wajahnya lagi.
   
“Aku tahu kamu juga masih mencintaiku,” ujar Gilang yakin. Disentuhnya pipi Yolanda lembut. “Iya, kan?” Gilang menatapnya lagi.    

Semua Karena Cinta

Catatan:
-Judulnya klise dan ceritanya mungkin juga biasa, tapi aku suka dengan cerpen ini. Hehehe.
-Aku lupa kapan persisnya cerpen ini kutulis. 
-Cerpen ini mengalamai berkali-kali revisi sampai akhirnya aku merasa cukup puas dengan hasilnya yang seperti ini.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis:
Sejak Rey mengalami kecelakaan yang membuatnya kehilangan kekasihnya, Astrid, untuk selamanya dan terpaksa menggunakan kursi roda untuk berjalan, Farah selalu menemaninya. Di mata mama Rey semua kebaikan Farah adalah wujud rasa cinta Farah pada Rey. Tapi, Rey malah tidak mau tahu. Ketika tiba-tiba Farah tidak pernah datang lagi, barulah Rey tersadar ada yang sesuatu yang hilang. Meskipun ia belum tahu pasti apakah yang dirasakannya sama dengan yang dirasakan Farah terhadapnya, akhirnya Rey memutuskan untuk menemui Farah. 



Maharani Menulis:


SEMUA KARENA CINTA



Dengan langkah perlahan Farah mendorong kursi roda yang diduduki Rey. Saat itu mereka sedang berjalan-jalan di taman kota.

“Kita istirahat dulu, Rey,” usul Farah.

“Baiklah,” Rey mengangguk tanda setuju.

Farah memilih tempat duduk yang teduh di bawah naungan dua pohon besar nan rindang. “Kamu sering kemari, Rey?” tanyanya setelah duduk di sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu. Sementara Rey tentu saja tetap duduk di kursi rodanya, menghadap padanya.

“Begitulah,” sahut Rey “tapi setelah kecelakaan itu, baru sekarang aku mengunjungi tempat ini lagi. Kamu tahu sendiri, kan, sejak aku memakai kursi roda, aku hampir-hampir tidak bisa pergi sendirian. Untung ada kamu yang selalu menemaniku.” Rey tersenyum menatapnya. “Terima kasih, Farah.”

“Ah, sudahlah. Jangan terlalu dibesar-besarkan nanti bisa-bisa kepalaku tambah besar.” Farah agak tersipu, mengusap rambut ikalnya yang tertiup angin.

”Farah,” Rey masih menatapnya.

“Ya,” Farah balas memandangnya, tersenyum.

“Kamu tidak keberatan kan pergi denganku? Maksudku, kamu tidak malu kan jalan-jalan dengan cowok cacat sepertiku?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Rey. Ada nada getir di sana.

“Rey,” Farah masih tersenyum—sedikit tidak enak hati mendengar pertanyaan itu. “Kenapa aku mesti keberatan apalagi malu bila bersamamu? Jangan tidak percaya diri begitu, dong.” Farah masih memandangnya. “Kamu sama, kok, seperti yang lain. Kamu punya dua mata, dua telinga, satu hidung, satu mulut, dua tangan juga dua kaki. Sama seperti yang lain. Hanya bedanya mereka bisa berjalan dengan kaki mereka sendiri, sedangkan kamu masih harus menggunakan kursi roda. Tapi aku yakin, kok, tidak lama lagi kamu akan seperti mereka. Bisa berjalan normal dengan kakimu sendiri. Tadi kamu dengar sendiri kan apa kata dokter Burhan? Kalau kamu patuh menjalani segala terapi yang disarankan dokter, kamu pasti akan segera bisa berjalan lagi seperti sedia kala dengan kedua kakimu. Percayalah.” Kata-kata itu terdengar tulus dan apa adanya.

Gantian Rey yang tersenyum mendengar ucapan Farah yang terdengar sangat melegakan dan menenangkan hatinya. Farah memang pandai menghibur sekaligus menyenangkan hatinya. Dan Farah pula satu-satunya sahabatnya yang paling bersemangat memberikan dukungan padanya—sahabatnya yang lain juga memberinya perhatian hanya saja tidak sebesar yang diberikan Farah—pasca kecelakaan yang dialaminya empat bulan yang lalu. Farah yang senantiasa menyemangatinya untuk tetap tabah dan tegar dalam menerima keadaannya yang seperti sekarang—tidak bisa berjalan dan harus menggunakan kursi roda bila hendak kemana-mana. Dan Farah pula yang berhasil membujuknya untuk mau melakukan kemoterapi pada kedua kakinya. Sebuah terapi pengobatan yang harus dijalaninya agar dia bisa berjalan seperti sedia kala. Tadinya dia sudah pasrah saja dengan keadaannya yang harus kemana-mana menggunakan kursi roda—bahkan dia juga sudah rela bila seumur hidupnya harus bergantung pada benda itu.

***



Seperti Elang


Catatan:
-Cerpen ini adalah cerpen keduaku yang berhasil dimuat di majalah, yaitu di ANITA Cemerlang No. 11/XXII/1 – 14 Juni 2001. Meskipun tidak menjadi cerita utama pada edisi itu, tapi aku sangat senang. Aku lebih senang lagi karena waktu yang aku perlukan untuk melihat cerpen ini dimuat hanya kira-kira 6 bulan.
-Sayang sekali, majalah ANITA Cemerlang sudah tidak terbit lagi sekarang. Tapi aku masih menyimpan edisi majalah yang memuat cerpen ini. My precious treasure. Hehehe.

Sinopsis: 
Kirana bingung karena Dewa, kekasihnya, susah sekali dihubungi. Sudah satu minggu Dewa menghilang tanpa kabar. Ketika akhirnya Dewa muncul di hadapan Kirana, ia malah membuat keputusan yang mengejutkannya. Dan Kirana sepertinya tidak punya pilihan lain, kecuali menerima kenyataan itu; bahwa Dewa ingin bebas, lepas, dan tak terikat seperti elang.


Maharani Menulis:


SEPERTI ELANG*



“Uh, sebel,” gerutu Kirana kesal sambil meletakkan gagang telepon. Wajahnya makin cemberut aja. Ini sudah yang ketiga kalinya ia mencoba menghubungi Dewa lewat handphone-nya, tapi tetap saja tidak berhasil. Handphone-nya lagi-lagi tidak aktif.

“Sudahlah, Na. mungkin Dewa memang sedang tidak ingin diganggu,” kata Laras mencoba menghibur hati sahabatnya yang sedang risau. “Lagian, baru satu minggu nggak ketemu, kamu sudah kalang kabut. Bagaimana kalau nggak ketemu satu bulan atau satu tahun, wah, bisa-bisa kamu masuk rumah sakit jiwa saking risaunya,” candanya lagi.

“Laras,” Kirana melotot, dilemparkannya sebuah bantal sofa ke arah Laras yang duduk berseberangan dengannya, tapi luput. Cewek centil itu berhasil menghindar. “Kamu senang, ya, kalau aku susah?” ujarnya sewot.

“Tentu saja tidak. Jelek-jelek begini aku sahabat yang baik, lho.” Laras tersenyum bangga. “Kalau kamu senang, aku ikut senang dan kalau kamu susah, aku tambah senang, he…he…he….” Laras cekikikan sambil memungut bantal sofa yang tadi terjatuh dan meletakkannya di pangkuannya.

“Apa?” Kirana makin sewot. Bola mata pingpongnya nyaris keluar dari kelopak matanya mendengar perkataan Laras barusan.

“Ups, sorry. Maksudku, kalau kamu susah, aku tambah susah. Begitu, Na.” Laras buru-buru meralat ucapannya sebelum Kirana tambah marah nggak karuan.

“Dasar sinting!” Kirana melemparkan sebuah bantal sofa lagi ke arah Laras dan kali ini benda empuk itu tepat mendarat di muka Laras dengan sukses. Gantian Laras yang melotot sedang Kirana cuma nyengir. Laras balas melempar. Sedetik kemudian, mereka resmi main lempar-lemparan bantal sofa. Seru.


***



“Kirana!”

Kirana menoleh ke arah datangnya suara. Tampak seulas senyum tersungging di bibir mungilnya. Tak jauh dari tempatnya duduk, tampak Dewa berdiri sambil melambaikan tangan ke arahnya. Kirana bangkit lalu bergegas menyongsong Dewa yang juga berjalan ke arahnya.

“Hai, apa kabar?” sapa Kirana kemudian, sebenarnya ia ingin sekali memeluk cowok itu demi menumpahkan rasa rindunya, tapi itu tidak dilakukannya, lagian nggak enak juga sama orang-orang yang berseliweran di tempat itu.

“Baik,” senyum Dewa. “Kita mesti bicara, Na,” kata Dewa lagi, lalu diraihnya tangan Kirana, cewek itu nurut aja.

Mereka menuju taman tempat biasa mereka ngobrol bila bertemu di kampus.

“Ada apa, Wa?” tanya Kirana sudah tidak sabar.

Ditatapnya kekasih pujaan hatinya itu lekat-lekat. Dewa balas menatapnya. Ia tersenyum.

Mawar Merah Buat Sandra

Catatan:
-Cerpen ini pertama kali aku tulis sekitar tahun 1999 dan telah mengalami beberapa kali revisi sampai akhirnya jadi seperti ini.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya (termasuk majalah sekolahku) dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis:
Rangga tidak suka dengan sikap Sandra yang menurutnya terlalu mencampuri urusannya, seperti memaksanya ikut lomba melukis, meskipun sebenarnya ia juga ingin ikut. Mereka bertengkar. Rangga jadi serba salah apalagi setelah ia tahu Sandra yang selalu menyemangatinya ternyata menyayanginya. Akhirnya setelah cukup lama mempertimbangkannya, untuk membalas kebaikan dan perasaan Sandra, Rangga memberinya kejutan.


Maharani Menulis:


MAWAR MERAH BUAT SANDRA



Untuk kesekian kalinya Rangga mendesah. Melihat apa isi secarik kertas putih di tangannya membuatnya teringat percakapannya dengan Sandra siang tadi.

“Bagaimana, Rangga? Sudah kamu pertimbangkan saranku kemarin?” tanya Sandra. “Soal lomba lukis itu. Kamu akan ikut, kan?”

“Aku rasa tidak,” Rangga menggeleng cepat.

“Bukankah kamu sudah lama menginginkannya?”

“Itu dulu, tapi sekarang aku sudah tidak tertarik lagi,”

“Kenapa?”

“Tidak tertarik ya tidak tertarik,”

“Kamu tidak tertarik lagi atau tidak berani?”

“Siapa bilang aku tidak berani?” Suara tiba-tiba Rangga meninggi.

“Kalau begitu, buktikan!” tantang Sandra.

Rangga tak lagi menimpali, hanya memandang Sandra yang menatapnya.

***




Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Rangga sudah meluncur bersama sepeda motornya ke sekolah. Dia berharap udara pagi yang sejuk dapat menjernihkan pikirannya yang masih kacau.


“Selamat pagi, Rangga,” Sandra menyapanya begitu dia masuk kelas.


“Pagi, Sandra,” balas Rangga tersenyum, meski terkesan dipaksakan.


“Semalam kamu pasti kurang tidur,” Sandra mengikuti langkah Rangga menuju bangkunya. “Kamu terlihat lesu dan kurang bersemangat.”


Rangga duduk di bangkunya, sedangkan Sandra tetap berdiri di sebelah mejanya, menghadapnya. “Kamu tahu kenapa? Karena aku sedang memikirkan sesuatu dan itu membuatku susah sekali tidur nyenyak,”


“Apa itu?” Sandra terdengar antusias. “Apa ada hubungannya dengan lomba lukis itu? Apa kamu sudah memutuskan akan melukis apa? Meskipun tema lukisannya bebas, tapi aku yakin kamu bisa membuat sebuah lukisan yang istimewa karena kamu punya bakat melukis yang luar biasa. Tapi, karena batas waktu penyerahan karya hanya tinggal 3 minggu lagi, jadi kamu harus segera mengerjakannya. Dan yang tidak kalah paling penting, jangan lupa mengisi formulir pendaftaran lomba lukis itu untuk diserahkan bersama lukisan karyamu. Bagaimana, Rangga? Kamu sudah siap, kan?”


“Sandra,” potong Rangga. Senyum tipis di bibirnya sudah lenyap. Tapi, tatapan matanya yang tajam tak beranjak dari wajah Sandra sedetikpun saat Sandra mengucapkan kata-katanya tadi.


“Ya?” Sandra tersenyum.


“Ikut lomba itu atau tidak bukanlah urusanmu, melainkan urusanku. Jadi, sebaiknya kamu tidak perlu ikut mengurusi apalagi mencampuri sesuatu yang bukan urusanmu. Apa kamu mengerti?”


“Aku hanya ingin membantumu, Rangga”


“Aku hargai itu. Tapi, tolong hargai juga keputusanku,”


“Jadi, kamu tidak akan ikut lomba itu?” Mata indah Sandra menatapnya, ia tampak kecewa. “Tapi, Rangga, lomba itu adalah kesempatanmu. Dengan mengikutinya kamu bisa mengasah atau setidaknya bisa tahu sejauh mana bakat melukismu. Soal menang atau kalah itu urusan nanti. Yang utama kamu harus mencobanya dulu. Tidak ada salahnya, kan? Apa ruginya? Lagipula bukankah kita tidak akan tahu akan seperti apa hasilnya bila kita tidak pernah mencobanya. Jadi, jangan menyerah sebelum bertanding karena itu hanyalah sikap seorang pengecut.”


“Cukup!” Rangga spontan berdiri dari duduknya dan balas menatapnya, marah. “Jangan pernah menyebutku pengecut. Kamu tak berhak, Sandra,”


“Oh, ya?” Sandra berubah sinis. “Bagaimana kalau pecundang?”


“Sandra!”


“Kenapa? Kamu marah? Silakan. Tapi, bila melihat sikapmu sekarang, aku rasa sebutan pengecut atau pencundang pantas untukmu. Jadi, sia-sia saja selama ini aku mendukungmu. Tidak ada gunanya aku peduli padamu. Kamu bahkan tidak mengerti kalau semua itu aku lakukan karena aku sayang padamu,”


“Apa katamu?” Rangga terkejut.

Minggu, 31 Oktober 2010

Maafkan Aku Bila Mencintaimu

Catatan:
-Judulnya? Oh, my God, berlebihan! Tapi, karena ini adalah cerpen pertamaku yang berhasil dimuat di majalah, aku rasa tidaklah berlebihan kalau aku sangat senang mengetahui bahwa akhirnya aku 'diakui' sebagai penulis karena tulisanku dimuat.
-Aku perlu menunggu kira-kira satu tahun untuk melihat cerpen ini muncul di majalah ANITA Cermerlang No. 10/XXI/26 Mei – 08 Juni 2000, tapi penantianku berharga karena cerpen ini terpilih sebagai cerita utama di edisi tersebut. Yay! I made it!!
-Honornya tidak seberapa, tapi rasanya luar biasa karena itu adalah pertama kalinya aku bisa menghasilkan uang dari jerih payahku sendiri. Kisah selengkapnya, akan aku tuliskan di kesempatan mendatang bisa di baca sekarang di sini.
-Sampai sekarang aku masih menyimpan majalah ANITA Cemerlang edisi tersebut. Sudah 10 tahun, ternyata. How precious it was.
-Sayang sekali, majalah ANITA Cemerlang sudah tidak terbit lagi sekarang.
-Hehehe. cerpen ini terinspirasi oleh kisah nyata seorang cewek yang baru pertama kali merasakan jatuh cinta pada seorang cowok -- boleh dikatakan bahwa ini adalah kisah cinta pertamanya -- dan cewek itu adalah  Ajeng Arum Maharani alias AJ Maharani (namaku di blog ini). Yups. This story was based on my true story with different plot and character, of course.


Sinopsis:
Agnes jatuh cinta pada Kevin yang sudah memiliki kekasih bernama Velia. Ketika ia mengakui perasaannya pada Siska, sahabatnya, ia disarankan untuk melupakan perasaannya itu. Agnes yang semula ragu-ragu akhirnya bertekad untuk membuang jauh-jauh perasaannya terhadap Kevin. Karena Agnes sadar bahwa Kevin hanya memandangnya sebagai teman. Karena Agnes tahu ia tak mungkin bisa memiliki cinta Kevin. Karena Kevin memberikan cintanya hanya untuk Velia, kekasihnya.  


Maharani Menulis:

MAAFKAN AKU BILA MENCINTAIMU*



Meskipun cinta tak bisa dipaksakan
Tapi juga tak bisa diabaikan
Mencintaimu mungkin suatu kesalahan
Tapi membencimu bukanlah suatu kebenaran
Bila hidup perlu perjuangan
Cintapun butuh pengorbanan



“Katanya mau ngomong, kok malah diam, sih!” kata Siska, memandangku heran. Aku diam tak segera menjawab. Siska kembali menikmati puding vanila-nya. Sesaat hening, hanya suara sendok dan garpu beradu yang terdengar.

“Aku jatuh cinta padanya, Sis,” kataku pada akhirnya.

“Apa?! Kamu jatuh cinta sama Kevin?” tanya Siska dengan nada tak percaya. Matanya yang bundar indah itu menatapku tajam. Dari raut wajahnya tampak bahwa dia sangat terkejut sampai-sampai sesendok puding vanila yang sudah berada di depan mulutnya tidak jadi dimakannya. Aku hanya tersenyum melihatnya.

“Kamu sadar dengan apa yang kamu katakan, Nes?” tanya Siska masih tak percaya.

“Iya,” jawabku mantap dan menyakinkan.

“Kamu benar-benar naksir Kevin?”

“Iya,”

“Kamu serius?”

“Iya.”

“Kamu...”

“Iya!” potongku cepat, tanpa menunggu Siska selesai bicara. Siska menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu menikmati puding vanila-nya kembali.

“Apa aku salah?” tanyaku takut-takut.

“Salah atau tidaknya itu sih tergantung penilaian masing-masing orang. Tapi yang jelas kamu telah mencintai orang yang salah. Kevin itu kan sudah punya pacar dan kamu tahu itu!”

“Ya, aku tahu.”

“Lalu kenapa kamu mencintainya? Apa kamu tidak bisa melihat setiap hari mereka selalu jalan berdua, entah itu berangkat sekolah atau pulang sekolah? Apa kamu tidak sadar bahwa mencintainya sama saja dengan menyiksa diri sendiri?” bertubi-tubi pertanyaan meluncur dari mulut Siska.

“Aku sadar. Tapi, entahlah, Sis. Mungkin kamu benar. Mencintainya hanya akan membuatku terluka. Mencintainya adalah suatu kesalahan besar!”

“Lalu?”

“Aku sendiri juga tidak mengerti. Perasaan itu tiba-tiba saja hadir di hatiku tanpa bisa kucegah. Terkadang aku merasa menyesal telah mencintainya. Aku merasa bersalah telah menyayanginya, tetapi...terkadang aku merasa tak ingin kehilangannya.”

“Ironis sekali, Nes.”

“Ironisnya lagi kadang-kadang aku berharap dia bisa menyayangiku sebagaimana ia menyayangi Velia. Mungkin kedengarannya aneh atau bahkan gila.”

“Agnes, aku tidak menyangka kamu begitu...mencintainya.” Siska menatapku seolah-olah ia bisa merasakan apa yang kurasakan. Mengharapkan sesuatu yang tak mungkin untuk dimiliki.

Aku hanya tersenyum getir. Begitulah cinta, bisa membuat orang bahagia, tapi bisa juga membuat orang sengsara. Cinta memang penuh pengorbanan.

“Menurutmu apa yang harus aku lakukan?” Aku meminta pendapat.

“Kalau boleh aku memberi saran, sebaiknya kamu lupakan saja Kevin. Karena kurasa sia-sia saja mencintainya, dia bukan tipe cowok yang mudah berpaling.”

“Apa aku bisa?”

“Kalau kamu punya tekad, kenapa tidak bisa? Itu demi kebaikanmu dan kebaikan Kevin.”

Aku terdiam, mencoba merenungkan kata-kata Siska barusan. Melupakan Kevin? Mungkin itu jalan terbaik, tapi sanggupkah aku melakukannya? Hanya Tuhan yang tahu.

“Sudahlah, tak perlu dipikirkan lagi. Pulang, yuk!” Akhirnya aku dan Siska keluar dari restoran itu. Hatiku pun kembali resah.

***

Selamat Datang!!!

Yatta!! 

Akhirnya aku membuat blog juga. Meskipun terlambat, tapi tidak mengapa, kan? Karena kata orang bijak, better late than never. Sesuai dengan namanya, maharanimenulis (maksudnya, maharani menulis), maka blog ini nantinya akan berisi tulisan-tulisanku seperti cerpen (cerita pendek), cerbung (cerita bersambung atau anggaplah novel), dan cemilan yang isinya cermil (cerita mini dan obrolan) yang bisa aku bagi dengan kalian. Hehehe.

Dengan adanya blog ini aku berharap aku bisa lebih produktif lagi dalam menulis dan makin bersemangat lagi untuk mewujudkan salah satu impian terbesarku yaitu menjadi penulis yang dikenal. Ya, dikenal saja sudah cukup, tidak perlu terkenal. Uhm, dikenal dan terkenal, beda, kan? Yeah. Kalau memang aku termasuk salah satu orang yang beruntung, maka aku tidak keberatan menjadi penulis terkenal. Hahaha.

Aku suka menulis dan sedang berusaha menjadi penulis yang sebenarnya. Disebut penulis yang sebenarnya berarti mempunyai bukti tulisan yang diakui, kan? Diakui maksudnya tulisan pernah dimuat atau diterbitkan, kan?  Yes, I'm working on it. Beberapa cerpenku sudah pernah diterbitkan di media cetak, meskipun belum ada yang berkenan menerbitkan novelku. Huhuhu.

Well, I'll do my best then!

Dan kepada kalian yang sengaja ataupun tidak sengaja menemukan blog ini, membacanya dan merasa terhibur, dan berkenan meninggalkan komentar kalian, aku ucapkan terima kasih.

Your supports motivate me, your thoughts inspire me, and your love keep me writing.


Chuu~~,

AJ