Rabu, 15 Desember 2010

Sahabatku, Gladys

Catatan:
-Aku tidak ingat kapan cerpen ini aku tulis.
-Beberapa kali ditolak majalah yang pernah aku kirimi naskahnya dan akhirnya aku publish di blog ini.

Sinopsis: 
Ada apa dengan Gladys? Gladys berubah. Setidaknya, itu yang dirasakan Natasha, sahabat Gladys. Apalagi mendadak Gladys tidak bisa diketahui keberadaannya, membuat Natasha bertanya-tanya. Sampai akhirnya Tamara datang membawa kabar tentang Gladys.


Maharani Menulis:

SAHABATKU, GLADYS


Ada apa dengan Gladys? Pertanyaan itulah yang akhir-akhir ini sering muncul di benakku. Belakangan ini sikap Gladys agak lain. Mungkin teman-teman yang lain tidak begitu memperhatikan apalagi merasakannya, tapi aku, sahabat karibnya sangat merasakan perubahan itu.

Gladys mulai berubah. Entah sejak kapan aku memang tidak tahu pasti, tapi aku mulai merasakan perubahan itu sejak ia berhubungan dengan Roy. Cowok yang dikenalnya di pameran fotografi beberapa bulan yang lalu.

Aku sendiri memang tidak begitu mengenal Roy bahkan sampai saat ini aku baru tiga kali bertemu dengannya. Selebihnya aku mengenalnya hanya dari cerita-cerita Gladys. Terkadang Gladys memang bercerita perihal Roy padaku tentang bagaimana hubungan mereka sejauh ini yang katanya memang menjadi semakin akrab. Aku sebagai sahabatnya tentu saja merasa senang karena ia mau berbagi cerita denganku meskipun aku yakin tidak semua cerita ia bagi denganku. Karena menurutku terkadang memang ada cerita-cerita yang memang tidak bisa diceritakan pada orang lain. Dan aku menghormati hal itu.

***


Aku duduk di kantin Ibu Juwita sambil menikmati es teler buatannya yang benar-benar bisa bikin teler karena saking nikmatnya. Kalau biasanya aku datang ke sana bersama Gladys, tapi hari ini dan beberapa hari belakangan ini, aku selalu datang sendirian.

“Sendirian lagi, Non Natasha?” Pertanyaan Bu Juwita sewaktu aku masuk tadi masih terngiang-ngiang di telingaku. Mungkin beliau merasa heran kenapa akhir-akhir ini aku selalu datang sendirian ke kantinnya. Mungkin juga beliau merasa kehilangan salah seorang pelanggannya yang setia.

Aku mengaduk-aduk es telerku setengah melamun sampai tidak menyadari kalau orang yang barusan aku pikirkan kini ada di depanku. Gladys.

“Nat,” sapanya mengagetkanku.


“Gladys?” Aku seperti tersadar. Kupandangi ia lekat-lekat. Kini ia duduk di depanku. Wajahnya tampak agak pucat dan tubuhnya juga terlihat lebih kurus. Ternyata tidak hanya sikapnya saja yang berubah, tapi penampilannya juga.

“Ada apa, sih? Ada yang aneh padaku?” tanyanya.

Aku tersenyum. “Kamu sekarang agak kurus, ya? Apa karena punya pacar, jadi kamu diet, nih?” kataku, bermaksud bercanda.

Gladys balas tersenyum. “Bukan karena itu. Akhir-akhir ini aku memang sering nggak enak badan. Nafsu makanku juga berkurang, jadi wajar saja kalau aku kelihatan agak kurus,” kata Gladys memberiku penjelasan.

“Iya, wajahmu juga kelihatan pucat,”

“Oh, ini karena semalam aku kurang tidur,”

Hening sejenak. Kami saling bertatapan.

“Aku pesankan es teler untukmu, ya?” kataku lagi.

“Tidak perlu, Nat,” Gladys menggelengkan kepalanya. “Aku sedang tidak selera,” Lalu ia melemparkan pandangannya pada Ibu Juwita yang baru saja lewat mengantarkan es teler untuk pelanggan yang lain. “Maaf, Bu Juwita, lain kali es telernya saya borong, deh,” Ia nyengir sambil memberikan tanda janji dengan dua jarinya yang membentuk huruf V pada Ibu Juwita yang balas tersenyum.

Setelah itu kami terdiam lagi. Rasanya kok jadi aneh? Apa karena kami sudah lumayan lama tidak bertemu?

“Nat,” Gladys membuka suara. “Aku perlu bantuanmu,”

“Bantuan apa?” tanyaku.

“Aku perlu uang. Tolong, pinjami aku, Nat. Seratus ribu saja. Bisa, nggak? Papaku belum kasih jatah, nih, padahal aku lagi perlu banget,”

Aku bengong. Gladys mau pinjam uang? Padaku? Apa tidak salah, nih? 

“Bagaimana, Nat? Bisa, nggak?  Seratus saja. Kalau nggak ada, lima puluh juga boleh. Please, Nat. Bulan depan aku ganti, deh,” katanya lagi, terlihat sungguh-sungguh.

“Apa aku nggak salah dengar, nih?” tanyaku masih tak percaya. Tidak biasanya Gladys meminta bantuan seperti itu dariku. Justru akulah yang biasanya meminta bantuan itu dari Gladys bila uang bulananku sudah habis duluan.

“Aku serius, Nat. Sekarang aku benar-benar memerlukannya,” katanya lagi. Wajahnya tampak memelas membuatku tidak tega sekaligus tidak mengerti.

Akhirnya aku mengambil dompetku dan kulihat isinya. Delapan puluh tujuh ribu lima ratus rupiah. “Aku hanya bisa meminjamimu ini,” Aku menyerahkan satu lembar uang lima puluh ribuan dan selembar lagi uang dua puluh ribuan. “Bagaimana?”

“Sip. Tidak apa-apa. Aku pinjam dulu, ya?” Gladys mengambil uang itu. Bibirnya sekali lagi tersenyum. “Terima kasih, Nat. Bulan depan pasti aku ganti,”

Aku mengangguk saja.

“Sudah dulu, ya? Aku mau pergi. Sekali lagi, terima kasih, Nat. Kamu memang sahabatku yang paling baik,”

Lalu Gladys pun pergi tanpa memberiku kesempatan untuk bertanya lagi. Pertanyaan yang belum sempat kuajukan; kemana ia akan pergi dan untuk apa uang itu. Ya, sekedar bertanya saja.

***


Dimana Gladys? Kini pertanyaan itu yang mengusikku. Sudah dua minggu lebih Gladys tak ada kabar beritanya. Satu-satunya berita yang aku dapatkan ketika aku mencoba menghubungi rumahnya adalah Gladys sedang pergi keluar kota untuk kepentingan klub fotografinya—aku sendiri masuk klub jurnalistik. Tapi, setelah aku cek ke klub itu, ternyata mereka tidak sedang mengadakan kegiatan di luar kota. Kenapa Gladys berbohong pada orang tuanya? Kemana sebenarnya ia pergi? Kenapa pula ponselnya tidak bisa dihubungi? Aku hanya bisa bertanya-tanya dalam hati.

Roy. Tiba-tiba aku teringat cowok itu, pacar Gladys. Mungkin dia tahu dimana Gladys atau malah Gladys ada bersamanya. Tapi, bagaimana caranya menghubunginya? Aku bahkan tidak tahu nomor teleponnya.

“Maaf, apa kamu kenal dengan cewek yang bernama Natasha?” Seorang cewek seusiaku tiba-tiba muncul di hadapanku yang sedang duduk bengong memikirkan Gladys di halte bus depan kampus, sepulang kuliah.

Aku memandangnya. “Aku Natasha. Apa kita pernah bertemu?”

“Syukurlah. Akhirnya aku bisa bertemu denganmu,” Cewek itu tampak lega. “Oh, kenalkan. Aku Tamara,” Dia mengulurkan tangannya padaku. Kami bersalaman sebentar. “Kita memang belum pernah bertemu sebelumnya. Tapi, aku sedikit tahu tentangmu dari Gladys,”

“Gladys?” potongku cepat. “Apa kamu tahu dimana Gladys sekarang? Apa kamu pernah bertemu dengannya belum lama ini?”
Tanpa sadar aku kembali menggenggam tangan Tamara, tapi kali ini lebih erat karena aku begitu bersemangat dan berharap Tamara akan memberikan jawaban yang melegakanku.

“Aku tahu dimana dia,”

“Gladys ada dimana?”

“Ayo, ikut aku,”

“Kemana?”

“Kita harus segera menolongnya,”

“Siapa?”

“Tentu saja Gladys,”

Aku terkesiap. Tapi, Tamara buru-buru menarikku ke dalam mobilnya.

***


Tamara menghentikan mobilnya tak jauh dari rumah besar itu. Empat mobil polisi, satu mobil ambulans, dan beberapa orang tampak memenuhi halamannya yang luas.

“Ada apa ini? Kita ada dimana?” tanyaku.

“Rupanya ada yang melapor,” gumam Tamara.

“Gladys,” Aku teringat Gladys. “Apa Gladys ada di sana? Di dalam rumah itu?” tanyaku sambil berjalan mendekat. Tamara mengikuti langkahku. “Apa yang sebenarnya sedang terjadi?” Mataku sibuk mencari-cari pertanda atau jawaban. Beberapa orang polisi tampak keluar dari dalam rumah membawa orang-orang yang tangannya telah dipasangi borgol. Jantungku berdebar-debar. Aku memang belum melihat Gladys, tapi aku melihat pacarnya. Roy adalah salah satu dari mereka.

“Bukankah itu Roy?” Aku ingin memastikan.

“Ya,” Kudengar Tamara menjawabku.

“Lalu Gladys? Dimana Gladys?” Aku mulai panik memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi.

“Natasha,” Tamara memegang lenganku, menahan langkahku yang sudah siap-siap hendak mendatangi Roy yang sedang digiring menuju mobil polisi. “Tenanglah. Sebaiknya kita menunggu di sini saja,”

Dan kemudian aku melihat seseorang digotong keluar dari dalam rumah menuju mobil ambulans. Seorang cewek. Dan aku yakin ia adalah Gladys.

***


Aku tertegun memandangi gundukan tanah merah yang masih basah itu. Rasanya aku belum percaya ia terbaring di bawah sana. Sahabatku, Gladys. Ia meninggal dunia dua jam kemudian di rumah sakit. Overdosis narkoba, begitu kata dokter, adalah penyebab kematiannya.

Mulanya aku tidak percaya kalau Gladys memakai narkoba apalagi sampai kecanduan. Aku tidak percaya Gladys tega menyakiti dirinya sendiri dengan mengkonsumsi barang mematikan itu. Namun, cerita Tamara menghapus keraguanku. Ternyata Roy adalah seorang bandar narkotika dan bahkan sudah menjadi incaran pihak kepolisian. Modusnya, ia sengaja mendekati anak-anak muda, salah satunya Gladys, untuk kemudian menawarinya barang terlarang itu. Tamara sendiri dulunya pun pernah menjadi korbannya, tapi kemudian ia tersadar dan bersedia masuk rehabilitasi hingga akhirnya bebas dari narkoba.

Teringat cerita Tamara membuatku sedih. Aku pun jadi merasa bersalah pada Gladys karena sebagai sahabatnya aku tidak bisa menjaganya sehingga kini aku kehilangannya untuk selama-lamanya.

“Maafkan aku, Gladys,” batinku sesak. “Aku mungkin bukan sahabat yang baik untukmu, tapi kamu adalah sahabat terbaikku,” Kuletakkan setangkai lili putih, bunga kesukaan Gladys, di atas pusaranya. “Selamat jalan, sahabatku, Gladys. Semoga Tuhan berkenan memberimu sahabat sejati di sana.”


TAMAT


Catatan:
-Love yourself and stay away from drugs! ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar