Minggu, 10 April 2011

Menikahlah Denganku, Mel - Bagian 3 (Tamat)

Catatan:
-Cerbung ini aku tulis sekitar tahun 2007.
-Pernah aku ikutkan sayembara menulis cerpen dan cerbung Femina 2007, tapi tidak menang.
-Pernah aku kirimkan ke majalah, tapi tidak dimuat.
-Pernah juga aku kirimkan ke sebuah penerbit, tapi tidak ada kabarnya.
-Akhirnya cerbung ini aku publish di blog ini. Hehehe.

Sinopsis:
Amelia, Saskia, Elisa, dan Widia adalah empat sekawan semenjak kuliah hingga kini dimana mereka masing-masing telah bekerja di tempat berbeda. Untuk tetap menjaga tali silaturrahmi, mereka sepakat untuk bertemu dan berkumpul setiap jumat sore di kedai teh. Mereka mengobrol dan saling bertukar cerita. Saskia sedang mempersiapkan pernikahannya. Erika diajak menikah kekasihnya. Widia ternyata sudah hamil. Sedangkan kabar dari Amelia?

Maharani Menulis:

MENIKAHLAH DENGANKU, MEL



Gaun pengantin itu tampak sangat indah. Bahannya yang sehalus sutera. Warnanya yang seputih mutiara. Hiasan-hiasannya yang mempesona. Semuanya benar-benar menjadikan gaun pengantin itu terkesan sangat istimewa dan penuh makna.
   
Sudah lebih dari lima belas menit aku memandangi sekaligus mengagumi gaun pengantin yang dikenakan oleh boneka pajangan itu dengan takjub.  Nyaris tak berkedip. Sepertinya gaun pengantin itu benar-benar sudah membuatku terhipnotis bahkan tersihir sehingga enggan rasanya aku memalingkan wajahku darinya.

Elisa yang duduk di sampingku tidak sedetik pun aku ajak bicara. Lagipula tampaknya dia juga tidak peduli. Karena matanya sedari tadi sibuk mengamati halaman demi halaman majalah pengantin yang sedang dibacanya. Mungkin dia sedang mencari ide atau menimbang-nimbang model gaun pengantin seperti apa yang akan dikenakannya nanti bila dia menikah empat bulan lagi.

Saat ini aku dan Elisa sedang berada di butik tempat Saskia memesan gaun pengantinnya. Kami berada di butik ini karena sedang menemani Saskia yang hendak mengepas gaun pengantinnya sekali lagi sebelum resmi dikenakannya pada pernikahannya, yang tinggal tiga hari lagi.

Dulu, ketika Widia mengepas gaun pengantinnya, aku, Saskia, dan Elisa yang menemaninya. Kini, giliran Saskia yang mengepas gaun pengantinnya, aku dan Elisa yang menemaninya. Widia tidak bisa ikut karena harus memeriksakan kandungannya ke dokter. Mungkin nanti, kalau Elisa yang mengepas gaun pengantinnya, hanya aku saja yang menemaninya. Widia mungkin semakin sibuk mengurusi kehamilannya, sedangkan Saskia mungkin masih asyik berbulan madu. Lalu, jangan-jangan bila tiba giliranku nanti – entah kapan – untuk mengepas gaun pengantinku, malah tidak ada sahabat yang menemaniku. Karena ketiga sahabatku sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Mungkin Widia sibuk mengurusi anaknya. Saskia mungkin sibuk dengan kehamilannya. Elisa, mungkin juga punya kesibukan yang kurang lebih sama. Oh, betapa menyedihkannya.



“Mel?” Elisa menyikut lenganku, cukup keras. Lamunanku pun mendadak buyar.
   
“Ya?” Spontan aku menyahut lalu menoleh padanya.
   
“Menurutmu, yang mana yang lebih bagus, Mel?” Elisa menunjukkan dua model gaun pengantin yang tertera di salah satu halaman majalah yang sedang dibacanya itu padaku, meminta pendapat atau komentarku.

   
Aku ikut melihat dan mengamatinya. “Semuanya bagus. Menurutku, dua-duanya bagus. Aku malah jadi bingung, Lis.” Aku berkata jujur. “Yang dipakai boneka pajangan itu juga bagus. Kalau aku, lebih suka model yang seperti itu.” Aku menunjuk pada boneka panjangan yang sedari tadi sudah menyedot hampir seluruh perhatianku.
   
“Ah, kalau yang itu aku kurang suka.” Elisa berkomentar setelah melihat gaun pengantin yang aku tunjukkan.
“Menurutku, kurang seksi.”
   
“Memangnya, yang menurutmu seksi, yang bagaimana? Yang minimalis, begitu? Apa tidak bikin masuk angin? Atau yang terbuka bagian belakangnya? Apa nanti malah tidak dikira kuntilanak?”
   
“Enak saja. Memangnya aku hantu?”
   
Aku tertawa. Sebenarnya aku hanya ingin mengetes Elisa apakah dia bisa jadi partner berdebatku menggantikan Saskia atau tidak. Tapi, seperti yang pernah dikatakannya, Elisa tidak suka berdebat. Katanya, buang-buang energi dan bikin cepat tua. Ah, kataku, sih, dia terlalu mencari-cari alasan. Padahal menurutku, sekali-sekali berdebar atau bertengkar, tidak ada ruginya. Biar ada variasi dan perubahan suasana. Masa mau kalem dan tenang melulu? Apa tidak bosan?
   
Tiba-tiba Saskia keluar dari ruang ganti. Kini dia sudah mengenakan gaun pengantinnya. Cantik dan seksi. Begitulah yang aku lihat pada diri Saskia saat ini.
   
“Bagaimana, Mel, Lis?” Saskia berjalan dengan perlahan ke arah kami. Langkahnya terkesan begitu anggun dan luwes. “Gaun ini sudah pas di tubuhku, kan? Tidak terlalu kekecilan atau kebesaran, kan?”
   
“Sempurna, Sas. Gaun itu kelihatan sangat pas dan serasi di tubuhmu. Sepertinya dietmu berhasil dengan baik. Kamu kelihatan semakin cantik dan lebih bersinar sekarang.” Elisa mengemukakan pujian sekaligus pendapatnya.
   
“Benar, Sas. Aku yakin kamu akan menjadi pengantin wanita yang paling cantik sedunia.” Kali ini aku tulus memujinya, tidak seperti kemarin dulu. “Dan semoga saja setelah menikah dan melahirkan nanti, kamu bisa tetap seksi dan langsing seperti sekarang.” Kali ini, ucapanku terdengar seperti doa untuknya.
   
“Kamu tenang saja, Mel.” Saskia menjawab. “Kalau aku tetap berdisiplin menjalankan diet dan olah raga yang seperti yang disarankan Elisa, bukan mustahil kalau suatu hari nanti aku bisa mengalahkan Elisa. Aku akan lebih langsing dan seksi darinya. Dan pastinya, aku juga akan mengalahkanmu.”  Saskia mematut-matut penampilannya di depan kaca pamer besar yang terpampang di dekat tempat duduk kami.
   
Aku tersenyum. “Iya, deh. Kalau langsingnya dan seksinya Elisa saja bisa kamu kalahkan, aku juga sudah pasti lewat. Kalah telak.”
   
“Kalau kamu mau, Mel, aku bersedia memberimu resep diet seperti yang aku berikan pada Saskia.” Elisa menawariku.
   
Aku tersenyum lagi. “Kapan-kapan saja, deh. Aku rasa, saat ini aku belum memerlukannya. Lagipula, pernikahanku pun entah kapan, jadi rasanya itu belum terlalu penting.”
   
“Memangnya, kalau mau menikah saja, kita perlu berdiet? Biar kelihatan lebih langsing, lebih seksi, dan tambah cantik? Tidaklah, Mel. Memangnya kamu tidak mau menjaga penampilanmu agar tetap terlihat menarik? Agar Ferian mau segera melamarmu dan menjadikanmu istrinya. Ingat, Mel. Bagi wanita mana pun, penampilan fisik itu adalah hal penting, meskipun itu bukan satu-satunya hal yang penting.” kata Saskia.
   
“Tapi, bagi wanita mana pun, bisa dicintai apa adanya oleh pasangannya adalah hal yang sangat membahagiakan dan itu yang penting.” Aku memberikan pembelaan.
   
“Tapi, bagi pria mana pun, wanita yang tahu bagaimana cara membahagiakan pasangannya, itu yang lebih penting. Salah satunya…”

“Cukup. Kalian jangan bertengkar. Aku bosan mendengarnya.” sela Elisa, memotong kalimat Saskia yang belum selesai.

Saskia mencibirku. Aku tersenyum saja.

Akhirnya setelah puas mengamat-amati pantulan dirinya di kaca pamer serta merasa lega mendengar komentar dan pendapat kami yang sangat setuju bahwa penampilannya sangat sempurna dengan gaun pengantinnya itu, Saskia kembali ke ruang ganti untuk bertukar pakaian lagi dengan bajunya semula.
   
“Eh, Lis, ngomong-ngomong, bagaimana perasaanmu karena sebentar lagi kamu juga akan menjadi pengantin? Kalau Widia dan Saskia, katanya sih, merasa gugup dan berdebar-debar? Kamu pasti juga merasa begitu, kan?” tanyaku iseng saja.
   
“Tidak juga, sih. Perasaanku biasa-biasa saja, tuh. Apa karena masih lumayan lama, ya? Masih empat bulan. Lagipula, aku dan Bramantio juga baru mau menyiapkan desain kartu undangan, belum yang lainnya. Jadi, aku tidak terlalu merasa nervous atau gugup.” sahut Elisa sambil meletakkan majalah yang dibacanya ke tempatnya semula.
   
“Masa, sih? Kamu tidak merasa gugup sedikitpun? Menghadapi hari pernikahanmu? Menghadapi malam pengantinmu, misalnya?” Aku nyaris tak percaya.
   
“Oh, soal itu?” Elisa memandangku seperti tersipu malu. Pipinya mendadak merona merah.
   
“Elisa?” Aku terkesiap mengartikan perubahan wajah Elisa itu. “Oh, tidak. Jangan katakan kalau kamu sudah pernah melakukannya, Lis. Dengan Bramantio? Gila kamu, Lis. Gila. Apa, bagaimana, kamu, kok bisa? Kamu, apa, kamu tidak takut?” Aku malah jadi heboh sendiri. Sampai-sampai kalimatku pun belepotan tak karuan.
   
“Hamil, maksudmu, Mel?” Elisa bahkan tampak sangat tenang ketika mengatakan kata itu. “Safe sex, Mel. Masa kamu tidak berpikir sampai ke situ?”
   
“Iya, tapi, aku, kamu...” Aku benar-benar gugup dan shock mendengarnya. Sampai-sampai aku bingung mau berkomentar apa. Elisa melakukannya?

Aku hampir-hampir tidak habis pikir.  Apakah virginitas atau keperawanan sudah bukan lagi hal yang diagungkan atau penting, sekarang? Sepertinya having sex before married bukan lagi hal yang tabu apalagi bila alasannya klise: cinta. Apakah pembuktian cinta harus selalu dilakukan dengan hal itu? Apakah hal itu tidak akan menodai makna cinta itu sendiri?
   
No sex before married. Apakah prinsip itu sudah tidak bisa dipegang lagi?

Kalau aku – bukannya sok suci atau apalah – memang menjadi penganut setia prinsip itu. Alhamdulillah, Ferian juga – sekali lagi bukannya sok suci atau apalah. Mungkin kedengarannya malah aneh apalagi di zaman yang serba bebas dan modern seperti sekarang ini. Mungkin kami akan dikatakan kampungan atau ketinggalan zaman. Tapi, kami tidak peduli. Itu sudah menjadi prinsip kami. Sejak awal – mungkin sejak kami mulai mengenal cinta. Lagipula, kami memang merasa lebih nyaman dan aman dengan tidak melakukannya sebelum waktunya. Toh, masih banyak cara lain yang lebih benar untuk mengekspresikan rasa cinta?

“Sudahlah. Jangan shock begitu, dong.” Elisa menepuk lembut pipiku. “Kamu tahu, reaksimu itu malah membuatku jadi semakin merasa bersalah dan malu saja, Mel.” Elisa tersenyum tipis, sepertinya ada segurat rasa penyesalan terpancar dari matanya.

“Aku tahu, kami memang salah. Tapi, tolong jangan membuat kami jadi merasa semakin bersalah, ya? Dan, semoga dengan rencana pernikahan kami ini, kami bisa lebih menghargai arti cinta dan juga diri kami sendiri. Semoga Tuhan mau mengampuni kami dan bersedia memberkahi kami.”
   
“Amin.” Aku ikut mendoakan, sambil membalas senyumnya.
   
“Oh, ya, Mel, tolong rahasiakan hal ini dari Widia dan Saskia, ya? Aku tidak mau mereka tahu soal ini karena aku yakin mereka sepaham denganmu. Kamu bisa, kan?” Elisa berkata dengan serius.
   
“Tenang saja.” Aku mengangguk setuju. “Kamu bisa mempercayaiku.”
   
Tak lama kemudian Saskia muncul dari dalam ruang ganti. Kedua tangannya membawa gaun pengantinnya yang sudah digantung di hanger dan dibungkus rapi dalam plastik bening agar tidak kotor atau terkena debu. Dengan langkah ringan dia berjalan ke arah kami. Senyum ceria tampak tersungging di bibirnya. Senyum bahagia khas calon pengantin, begitu menurutku.
   
Aku bangkit dari tempat dudukku. Elisa juga.
   
“Sudah selesai, nih?” tanyaku padanya.
   
Saskia mengangguk. Tiba-tiba terdengar dering ponsel Saskia.
   
“Sini, biar aku yang bawakan gaun pengantinmu.” Aku segera mengambil alih gaun pengantin itu dari tangan Saskia dengan hati-hati, takut aku akan merusaknya Setelah gaun pengantin itu berada di tanganku, Saskia segera mengambil ponselnya dari dalam tasnya dan menerima telepon itu. Rupanya Hendri yang menelepon.
   
“Kami tunggu kamu di mobil, ya?” kata Elisa yang dibalas Saskia dengan anggukan kepalanya. Tak lupa dia menyerahkan kunci mobilnya pada Elisa agar kami bisa masuk mobilnya, tentunya.
   
Sementara Saskia berbicara dengan Hendri di telepon, aku dan Elisa berjalan keluar butik itu menuju tempat parkir.
   
“Amelia?” Tiba-tiba seorang laki-laki menyapaku begitu kami sampai di tempat parkir. Siapa dia? Kok dia tahu namaku? Aku memandangnya lebih teliti. Sepertinya aku pernah melihatnya. Sepertinya aku memang mengenalnya. Tiba-tiba saja hatiku berdesir. Aku ingat siapa dia.
   
“Pram? Pramudya?” ujarku masih ragu-ragu membalas sapaannya.
   
“Aku pikir kamu tidak ingat padaku karena sudah lama kita tidak bertemu. Kalau tidak salah, terakhir kali kita bertemu empat tahun yang lalu, kan?” Pram mengulurkan tangannya. “Apa kabar, Mel?”   

“Baik.” jawabku, tersenyum.
   
“Sini, biar aku yang bawakan.” Elisa mengambil gaun pengantin Saskia dari tanganku, maksudnya agar aku bisa bersalaman dengan Pram.
   
Aku menyambut uluran tangan Pram. “Kamu sendiri, apa kabar?”
   
“Baik.” Dia menjawabku dengan tersenyum.
   
“Oh, ya, Pram, kenalkan ini temanku, Elisa. Elisa, ini Pramudya.”
   
“Halo, Pram.” Elisa mengangguk saja sambil tersenyum.
   
“Hai, Elisa.” Pramudya balas mengangguk sambil tersenyum.
   
“Sepertinya aku hampir saja ketinggalan berita bahagia, nih.” Pram memandang gaun pengantin Saskia yang dibawa oleh Elisa sejenak, kemudian dia ganti memandangku, masih dengan tersenyum pula. Tentu saja aku sudah bisa menduga apa yang sedang dipikirkannya. “Mel, kalau kamu mau menikah, jangan lupa mengundangku, dong.”
   
Aku jadi nelangsa mendengarnya. “Iya, aku pasti mengundangmu. Hanya saja yang akan menikah dalam waktu dekat ini bukan aku, melainkan sahabatku. Tapi, orangnya masih ada di dalam butik. Kamu juga, Pram, kalau kamu menikah, jangan lupa mengundangku, ya?”
   
“Maaf, Mel. Aku lupa mengundangmu.” Pram tampak rikuh. “Aku sudah menikah empat bulan yang lalu. Malah sekarang Hana, istriku, sedang hamil. Sudah memasuki bulan kedua. Nanti kalau anak kami sudah lahir, kamu pasti aku kabari. Jadi, kamu harus datang menjenguk, ya? Elisa juga, ya?”
   
Aku jadi makin nelangsa mendengarnya. “Oh. Selamat, ya? Atas pernikahanmu. Juga atas kehamilan istrimu. Selamat menantikan kelahiran anak kalian yang pertama.” Susah payah aku memamerkan senyumku pada Pram.
   
“Terima kasih.” Pram tampak senang. “Maaf, Mel, sepertinya aku harus segera pergi sekarang. Senang sekali bisa bertemu denganmu lagi, Mel. Senang juga bisa berkenalan denganmu Elisa.”
   
Aku dan Elisa sama-sama tersenyum.
   
“Senang juga berkenalan denganmu, Pram.” kata Elisa.
   
“Salam untuk Hana, ya?” ujarku.
   
Pram mengangguk kemudian berlalu pergi.

Sepeninggal Pram, tanpa sadar aku mendesah.
   
“Kamu kenapa, Mel?” tanya Elisa.
   
“Tidak apa-apa.” sahutku. “Mana kunci mobilnya?”
   
Elisa menunjuk tangan kanannya dengan pandangannya. Aku mengambil kunci mobil Saskia dari tangan kanan Elisa.
   
“Memangnya Pramudya itu siapa? Temanmu?”
   
Aku membuka pintu mobil Saskia. “Teman SMU-ku.”
   
“Bukan hanya teman SMU Amelia, Lis, tapi juga gebetan-nya selama dua tahun berturut-turut.” Mendadak suara Saskia terdengar menimpali ucapanku.
   
“Oh, ya?” Elisa yang baru saja meletakkan gaun pengantin Saskia di salah satu jok belakang mobil langsung menoleh pada Saskia yang ternyata sudah berdiri di belakangnya. Mungkin karena kaget dan terburu-buru sampai-sampai kepalanya terbentur pintu mobil.
   
“Jangan kaget begitu, dong, Lis.” kataku yang sebenarnya lebih tepat aku tujukan pada diriku sendiri.

Bagaimana aku tidak kaget? Terakhir aku bertemu Pramudya pada saat reuni SMU yaitu empat tahun yang lalu. Saat itu dia bahkan belum punya pacar. Dan barusan, tiba-tiba saja aku bertemu dengannya lagi dan dia bilang dia sudah menikah malah istrinya sekarang sedang hamil. Pramudya. Pria yang pernah jadi pangeran impianku sewaktu SMU selama dua tahun berturut-turut sampai akhirnya aku memutuskan untuk berhenti memimpikannya dan melupakannya karena ternyata dia tidak berminat padaku.
   
Dan, Saskia tahu tentang hal itu. Aku yang menceritakannya. Oh, nasib.
   
“Pantas saja kamu kelihatan shock waktu mendengar dia sudah menikah dan istrinya sedang hamil pula.” Elisa mengusap-usap kepalanya yang pastinya terasa sakit.
   
“Bukan shock lagi, tapi mau pingsan.” kataku asal dengan muka cemberut.
   
“Kamu tenang saja, Mel. Kamu kan sudah punya Ferian sekarang. Kekasih  yang sudah melimpahimu dengan banyak cinta dan kasih sayang. Jadi, kamu tidak perlu risau lagi.” Elisa mungkin berniat menghiburku.
   
“Tidak, Lis. Amelia belum bisa sepenuhnya tenang. Karena Ferian belum juga melamarnya. Jadi, dia masih perlu sedikit risau.” Saskia mencibirku.
   
Aku makin cemberut. “Sialan kamu, Sas.”


***


Pesta pernikahan Saskia dan Hendri berlangsung khidmat sekaligus meriah. Banyak sekali teman-teman kantor Saskia dan Hendri yang hadir. Tak ketinggalan kami, para sahabatnya, aku, Widia, dan Elisa beserta pasangan kami masing-masing, Ferian, Surya, dan Bramantio juga turut hadir menyaksikan peristiwa bahagia mereka.
   
Setelah menyalami kedua mempelai, kami berenam, segera menuju meja prasmanan untuk mengambil hidangan makanan dan minuman yang telah tersaji. Kemudian kami pun mengobrol sambil menikmati hidangan-hidangan tersebut. Jarang-jarang kami berenam atau berdelapan dengan Saskia dan Hendri bisa berkumpul dan berbincang-bincang seperti ini kalau bukan karena ada momen khusus. Pernikahan atau ulang tahun, misalnya.
   
“Widia, kata Amelia kamu sedang mengandung, ya? Selamat, ya?” Ferian mengucapkan selamat pada Widia. “Bagaimana rasanya mau jadi ayah, Surya?” tanyanya kemudian pada Surya.
   
“Bagaimana, ya? Yang pasti sih, aku senang sekaligus deg-degan.” Surya tampak ceria sekali. “Kami benar-benar bersyukur kepada Tuhan karena akhirnya kami diberi kesempatan untuk memiliki seorang anak.”
   
“Iya, Fer,” Widia menambahkan. “Aku juga senang sekali. Rasanya aku sudah tidak sabar lagi menunggu saat bayi kami lahir.” Widia mengelus-ngelus perutnya yang tampak masih rata. Kehamilannya baru jalan enam minggu, jadi pastinya belum kelihatan.
   
“Bersabarlah, Wid.” Elisa yang berkata. “Setidaknya kamu masih harus menunggu delapan bulan lagi untuk bisa melihat bayimu lahir.”
   
“Kalian inginnya laki-laki atau perempuan?” Yang bertanya Bramantio.
   
“Laki-laki atau perempuan sama saja.” kata Surya yang didukung oleh Widia.“Yang penting dia bisa lahir dengan selamat, sempurna, dan sehat.”
   
Ferian mengangguk-angguk. “Oh, ya, aku juga dengar dari Amelia, katanya akhir tahun ini kamu dan Elisa berencana menikah, Bram.” katanya lagi, kali ini pada Bramantio dan Elisa. “Selamat, ya, Bram? Selamat juga untukmu, Elisa,”
   
“Terima kasih.” Bramantio tersenyum.
   
“Iya, nih, kapan kalian menyusul?” Elisa bertanya pada Ferian, tapi dia melirikku. “Amelia sudah ngebet, tuh.”

Aku langsung melotot pada Elisa dengan pandangan yang bisa diartikan ‘apa tidak ada pertanyaan lain?’ Sementara Widia tampak menahan tawa gelinya. Sedangkan Surya dan Bramantio berlagak cuek.

Agak takut-takut aku lalu melirik ke arah Ferian yang berdiri di sebelahku. Tampak dia tersenyum dengan tenangnya, seperti biasanya.

“Kalian tunggu saja kabar baik dari kami.” Hanya itu jawaban Ferian tanpa menoleh ke arahku, tapi salah satu tangannya memeluk pinggangku dari samping.
   
Tiba-tiba dari arah panggung pelaminan terdengar suara sedikit gaduh. Kami semua sama-sama menoleh. Rupanya Saskia sedang bersiap-siap hendak melemparkan buket bunga pengantinnya. Mendadak aku merasakan tangan Elisa menarik tanganku dan membawaku berjalan mendekati panggung pelaminan. Tentu saja aku mengerti apa maksudnya.
   
“Aku tidak mau, ah.” Aku berusaha menolaknya. Terus terang aku tidak begitu tertarik untuk ikut-ikutan berebut buket bunga pengantin. Malas saja.
   
“Saskia, tunggu kami.” Elisa asal berteriak saja sambil melambaikan tangannya. Sepertinya dia tidak peduli dengan apa yang dilakukannya itu. Dia bahkan tidak menghiraukan aku yang setengah mati enggan mengikuti langkahnya mendekati kerumunan para wanita yang sudah berdiri di bibir panggung, menantikan aksi Saskia melemparkan buket bunga pengantinnya.

Saskia yang sudah berdiri memunggungi kerumunan para wanita itu, membalikkan badannya lagi. Tampak dia tersenyum melihat kami yang kini sudah bergabung bersama para wanita itu dengan berdesak-desakkan. Kemudian dia mengacungkan jempol kanannya. Mungkin sebagai tanda minta persetujuan untuk segera memulai ritual lempar buket bunga pengantin itu. Kemudian ia pun membalikkan badannya lagi.

“Satu…dua….tiga….” Saskia melemparkan buket bunga pengantinnya.

Para wanita itu berteriak dan saling dorong ingin berebut buket bunga itu. Elisa juga ikut-ikutan. Dan, aku baru sadar kalau
para wanita itu ternyata bergerak ke arahku. Aku yang memang tidak siap untuk berebut, tentu saja bingung.

“Amelia, tangkap bunganya.” Tiba-tiba aku mendengar suara Elisa.

Spontan aku mendongak ke atas. Aku melihat buket bunga itu meluncur ke arahku. Kemudian secara refleks aku pun mengulurkan kedua tanganku untuk menangkapnya dan berhasil. Aku mendapatkannya. Buket bunga pengantin Saskia kini ada di tanganku. Aku sempat tertegun sejenak memandanginya.

Dan suara riuh tepuk tangan itu menyadarkanku. Tepuk tangan para wanita yang tadi ikut berebut buket bunga pengantin.
Buru-buru aku memandang ke sekelilingku dan terharu. Mereka semua sepertinya sedang memandang ke arahku. Sejenak aku merasakan wajahku panas dan jantungku berdegup kencang. Bahkan aku merasakan tanganku sedikit gemetar memegangi buket bunga pengantin itu.

“Amelia, akhirnya kamu yang mendapatkan buket bunga pengantin itu.” Elisa langsung memelukku. “Selamat, ya, Mel, semoga tidak lama lagi kamu bisa menjadi pengantin.” Elisa berbisik di telingaku. Aku hanya bisa membalas pelukannya sambil tersenyum.

“Amelia. Selamat, ya?” Tiba-tiba Saskia gantian memelukku. Rupanya begitu dia tahu kalau aku yang mendapatkan buket bunga pengantinnya, dia langsung turun dari panggung pelaminan dan menemuiku. “Semoga kamu segera dilamar Ferian, Mel.” Saskia juga berbisik di telingaku. Aku membalas pelukannya. Sesaat aku bisa merasakan gaun pengantin Saskia yang lembut itu menyentuh kulitku. Rasanya nyaman sekali.

Lalu aku memandang ke arah Ferian yang masih berdiri di tempatnya semula. Ternyata Ferian juga sedang memandang ke arahku. Ketika aku menunjukkan buket bunga pengantin yang aku pegang, Ferian pun membalasnya dengan mengangkat gelas minumannya.
   
Aku tersenyum. Ferian balas tersenyum. Elisa dan Saskia juga tersenyum. Bramantio, Hendri, Widia, dan Surya juga ikut tersenyum. Semuanya tersenyum.


***


Meskipun sudah lewat seminggu, tapi aku tetap saja terkenang peristiwa perebutan buket bunga pengantin di pesta penikahan Saskia. Entah kenapa. Rasanya peristiwa itu terus-menerus terbayang di pelupuk mataku. Apalagi ketika kemudian Saskia, Widia, Elisa, Hendri, Surya dan Bramantio, tidak henti-hentinya menggodaku gara-gara aku mendapatkan buket bunga pengantin itu – sebenarnya mereka juga menggoda Ferian. Tapi, rupa-rupanya hanya aku yang berhasil terkena godaan mereka, sampai-sampai wajahku memerah seperti warna lipstik Saskia, mungkin. Karena Ferian tetap saja terlihat tenang dan kalem. Dia tampaknya tidak mempan digoda seperti itu. Dasar Ferian, bisa-bisanya dia tetap anteng dan adem ayem saja.
   
“Dari tadi aku perhatikan, kamu senyum-senyum terus, Mel. Sejak kita berangkat sampai kita tiba di sini.” Perkataan Ferian mengagetkanku.

Saat ini kami sedang akan menikmati makan malam. Di tempat yang tidak biasanya. Restoran ala Jepang. Sebenarnya aku merasa sedikit heran kenapa Ferian mengajakku makan malam di tempat seperti ini, tapi entah kenapa aku tidak meributkannya. Bahkan aku tidak protes ketika Ferian memintaku berbusana sedikit formal. Penampilan Ferian juga terlihat lebih formal dari biasanya.

“Ada apa, nih? Sepertinya kamu sedang senang, Mel? Apa kamu punya kabar gembira untukku?” tanyanya kemudian.
   
Aku yang masih tersenyum, menggelengkan kepalaku. “Tidak ada. Aku hanya teringat peristiwa perebutan buket bunga pengantin di pernikahan Saskia. Itu saja. Aku juga heran kenapa aku selalu mengingatnya.”
   
Sekarang Ferian yang tersenyum.
   
“Kamu sendiri, katanya ingin menyampaikan sesuatu padaku, Fer.” Aku menagihnya.
   
“Oh, itu.” Ferian menatapku, masih tersenyum.

Aku jadi berdebar-debar. Sesaat aku baru tersadar bahwa malam ini Ferian terlihat lebih tampan dan gagah dari biasanya.

“Sepertinya impianku akan segera jadi kenyataan, Mel. Aku akan pergi ke Jepang.” Ferian memberitahuku.
   
Selama sekian detik aku hanya bisa terpaku menatapnya. Ferian akan pergi ke Jepang? Jadi, dia benar-benar akan pergi ke Jepang, seperti impiannya selama ini? Ya, Ferian memang sangat ingin pergi negeri matahari terbit itu untuk bekerja atau hanya sekedar menimba ilmu saja di sana. Makanya, ketika Ferian tahu bahwa perusahaan otomotif tempatnya bekerja selama ini, memiliki program belajar dan magang kerja di salah satu perusahaan di Jepang bagi karyawan-karyawan perusahaan yang berprestasi, Ferian sangat senang sekali dan menjadi bersemangat dalam bekerja. Dia ingin sekali mendapatkan kesempatan itu.

“Berdasarkan hasil rapat kami hari ini, diputuskan bahwa perusahaan akan mengirimkan dua orang karyawannya ke Jepang untuk belajar dan bekerja di sana. Kira-kira selama dua tahun. Dan, salah satu karyawan yang mendapatkan kesempatan itu adalah aku.” Ferian menambahkan.

Aku semakin terpaku. Aku bengong. Tidak tahu harus senang atau sedih mendengarnya. Aku bingung. Pikiranku mendadak blank. Sebentar. Ferian akan pergi ke Jepang. Untuk belajar dan bekerja di sana. Selama dua tahun. Itu artinya Ferian akan berada di Jepang untuk belajar dan bekerja di sana selama dua tahun. Itu artinya aku tidak akan bertemu dengan Ferian selama dua tahun. Itu artinya aku harus menunggu dua tahun lagi untuk dilamar Ferian. Itu artinya aku baru bisa menikah dengan Ferian dua tahun lagi atau malah lebih. Oh. My. God.
   
“Bagaimana menuurtmu, Mel?” Ferian meminta pendapat. “Itu adalah kesempatan yang sangat bagus, kan? Kapan lagi aku bisa punya kesempatan menimba ilmu di Jepang dan bekerja di sana. Benar, kan?” Ferian terlihat sangat senang.
   
Aku masih belum bisa berpikir jernih. Pikiranku masih kacau. Aku masih shock mendengar kabar gembira itu. Kabar gembira yang miris. Ironis. Bagiku.
   
“Mel?” Ferian menyentuh jemariku.
   
“Ya?” Aku sedikit kaget. Lagi-lagi.
   
“Kok malah melamun, sih?” Ferian mungkin kecewa melihatku yang malah diam saja. “Sepertinya kamu kurang senang mendengarnya, ya? Padahal aku sangat berharap kalau kamu juga senang mendengarnya, seperti halnya aku.”
   
Aku mencoba tersenyum. Juga mencoba menyusun kata-kata untuknya, meskipun dengan perasaan yang campur aduk jadi satu. Senang, susah, gembira, sedih, takut, cemas, dan sebagainya.

“Sebenarnya, aku senang mendengar kamu mendapatkan kesempatan untuk menimba ilmu di negeri orang. Karena itu bisa memperkaya wawasan dan pengetahuanmu juga akan menambah pengalamanmu. Tapi, aku juga jadi merasa sedih dan khawatir. Alasannya, mungkin sepele. Karena aku akan jauh darimu. Setidaknya selama dua tahun. Dan aku rasa, dua tahun itu bukan waktu yang sebentar, Fer.”

Ferian manggut-manggut. Menyimak ucapanku.
   
“Aku rasa, aku tidak bisa jauh darimu selama itu, Fer. Lagipula dua tahun mendatang, apakah perasaan kita tidak akan berubah? Apakah perasaaan kita akan tetap sama bila kita berjauhan, mengingat selama tiga tahun ini kita hampir selalu bersama-sama? Maafkan aku, bila aku meragukan perasaaan kita.” Aku benar-benar tidak bisa lagi menyembunyikan kesedihanku.
   
Kali ini Ferian tersenyum. Bayangkan. Dia masih bisa tersenyum di saat aku ingin sekali menangis. Dasar, Ferian.
   
“Aku bisa mengerti perasaanmu, Mel.” kata Ferian kemudian sambil menggenggam erat jemari tanganku. “Karena aku juga merasakan hal yang kurang lebih sama denganmu. Kalau aku harus berpisah denganmu selama itu, aku juga tidak akan bisa, Mel. Aku pasti akan merana karena terlalu merindukanmu.”
   
Mau tak mau aku tersenyum mendengar ucapan Ferian itu.
   
“Maka dari itu, Mel, mungkin sekaranglah saat yang tepat bagiku untuk mengambil keputusan terbesar dan terpenting dalam hidupku.” Ferian tiba-tiba terlihat sangat serius.
   
Kemudian terdengar Ferian menarik napas panjang. Tidak hanya itu, tiba-tiba saja dia melepaskan genggaman tangannya dan menurunkan kedua tangannya dari atas meja. Tapi, tak lama kemudian dia meletakkan tangannya kembali di atas meja. Kedua tangannya yang kini tertangkup saling menindih satu sama lain.

Entah kenapa aku jadi tertarik untuk memperhatikan semua gerak-geriknya itu. Kalau beberapa waktu yang lalu aku melihat Ferian tampak tertekan, tapi malam ini dia tampak gelisah. Dia terlihat gugup. Seperti bukan Ferian saja.

Lama-kelamaan aku jadi ikut-ikutan gugup juga. Apalagi, Ferian tidak kunjung meneruskan ucapannya dan malah menatapku. Dan aku baru sadar kalau tatapannya itu terasa lebih lembut, lebih hangat, dan lebih teduh dari yang sebelumnya.

Tapi, apa maksud ucapannya tadi? Sekaranglah saat yang tepat bagiku untuk mengambil keputusan terbesar dan terpenting dalam hidupku, begitu katanya. Aku hanya bisa menduga-duga. Dadaku berdesir. Jangan-jangan…
   
“Menikahlah denganku, Mel.”
   
Tiba-tiba kalimat itu terucap dari bibir Ferian dengan mantap dan tegas. Nada suaranya juga terdengar sungguh-sungguh dan tulus meskipun sedikit bergetar. Bersamaan dengan itu, Ferian membuka telapak tangan kanannya yang menutupi telapak tangan kirinya. Dan, seketika itu juga aku menjadi takjub. Di atas telapak tangan kiri Ferian, aku melihat sebuah cincin emas putih berhias sebuah batu berlian kecil bertahta dengan indah di dalam kotak kecil berwarna merah.   

“Ferian,” Aku hanya bisa memanggil namanya, itu pun dengan lidah yang tiba-tiba terasa kelu. Jantungku berdegup lebih kencang dari yang sebelumnya.  Aku hampir-hampir tidak bisa mempercayai telingaku dan mataku. Ferian memintaku menikah dengannya. Ferian baru saja melamarku. Apa aku tidak salah dengar? Lalu, cincin itu. Mataku tidak salah lihat, kan? Cincin itu begitu indah.

Ferian tersenyum. Lalu dia mengambil cincin itu dari dalam kotaknya. Lalu dia meraih tangan kananku. Lalu dia menyematkan cincin itu di jari manisku. Lalu dia mencium jemariku yang terselip cincin itu. Dan semua itu dilakukannya dengan manis. Membuatku jadi terharu sekaligus bahagia.
   
“Menikahlah denganku, Mel.” Ferian mengulangi perkataannya. Lagi-lagi dengan penuh kesungguhan dan ketulusan. “Kamu mau, kan?”
   
Aku menatap cincin yang terselip di jari manisku itu sesaat, kemudian aku menatap Ferian. “Iya, Fer. Aku mau. Aku mau menikah denganmu.” Aku mengangguk mantap.

“Syukurlah.” Ferian terlihat sangat lega. “Aku kira kamu akan menolak. Aku sudah khawatir, lho.”

“Jangan menggodaku, Fer.” Aku tersipu.

Ferian tersenyum, masih menggenggam tanganku. “Kalau begitu, minggu depan aku akan melamarmu pada orang tuamu. Kemudian secepatnya kita menikah dan setelah itu kamu ikut aku ke Jepang. Kamu mau, kan?”

“Aku juga ikut ke Jepang?” Aku tidak percaya, tapi juga senang.

“Tentu saja, Mel. Memangnya aku tega meninggalkan istriku di sini sendirian? Lagipula, apa kamu juga tega membiarkan suamimu pergi sendirian?” Ferian menatapku lekat. “Aku tahu, mungkin berat bagimu harus meninggalkan pekerjaanmu dan juga teman-temanmu di sini.  Tapi, kamu juga harus tahu, lebih berat lagi bagiku kalau aku harus berjauhan denganmu, Mel.”
   
Aku balas menatapnya, lekat. “Memangnya kapan kamu harus berangkat ke Jepang?” tanyaku tidak sabar.
   
“Awal tahun depan,” jawab Ferian.

Ah. Tiba-tiba saja aku jadi tidak sabar untuk banyak hal. Tidak sabar menunggu pertemuan hari jumat di kedai teh dengan ketiga sahabatku: Saskia, Widia, dan Elisa. Tidak sabar ingin segera mengabarkan pada mereka bahwa aku akan segera menikah – setidaknya awal tahun depan. Tidak sabar ingin meminta resep diet dari Elisa. Tidak sabar ingin mencoba gaun pengantin di butik itu. Tidak sabar menunggu datangnya hari bahagiaku itu. Hari pernikahanku dengan Ferian.

Genggaman tangan Ferian kian erat. Aku membalasnya dengan tersenyum. Senyum bahagia calon pengantin.


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar