Catatan:
-Cerpen ini adalah cerpen keduaku yang berhasil dimuat di majalah, yaitu di ANITA Cemerlang No. 11/XXII/1 – 14 Juni 2001. Meskipun tidak menjadi cerita utama pada edisi itu, tapi aku sangat senang. Aku lebih senang lagi karena waktu yang aku perlukan untuk melihat cerpen ini dimuat hanya kira-kira 6 bulan.
-Sayang sekali, majalah ANITA Cemerlang sudah tidak terbit lagi sekarang. Tapi aku masih menyimpan edisi majalah yang memuat cerpen ini. My precious treasure. Hehehe.
Sinopsis:
Sinopsis:
Kirana bingung karena Dewa, kekasihnya, susah sekali dihubungi. Sudah satu minggu Dewa menghilang tanpa kabar. Ketika akhirnya Dewa muncul di hadapan Kirana, ia malah membuat keputusan yang mengejutkannya. Dan Kirana sepertinya tidak punya pilihan lain, kecuali menerima kenyataan itu; bahwa Dewa ingin bebas, lepas, dan tak terikat seperti elang.
Maharani Menulis:
Maharani Menulis:
SEPERTI ELANG*
“Uh, sebel,” gerutu Kirana kesal sambil meletakkan gagang telepon. Wajahnya makin cemberut aja. Ini sudah yang ketiga kalinya ia mencoba menghubungi Dewa lewat handphone-nya, tapi tetap saja tidak berhasil. Handphone-nya lagi-lagi tidak aktif.
“Sudahlah, Na. mungkin Dewa memang sedang tidak ingin diganggu,” kata Laras mencoba menghibur hati sahabatnya yang sedang risau. “Lagian, baru satu minggu nggak ketemu, kamu sudah kalang kabut. Bagaimana kalau nggak ketemu satu bulan atau satu tahun, wah, bisa-bisa kamu masuk rumah sakit jiwa saking risaunya,” candanya lagi.
“Laras,” Kirana melotot, dilemparkannya sebuah bantal sofa ke arah Laras yang duduk berseberangan dengannya, tapi luput. Cewek centil itu berhasil menghindar. “Kamu senang, ya, kalau aku susah?” ujarnya sewot.
“Tentu saja tidak. Jelek-jelek begini aku sahabat yang baik, lho.” Laras tersenyum bangga. “Kalau kamu senang, aku ikut senang dan kalau kamu susah, aku tambah senang, he…he…he….” Laras cekikikan sambil memungut bantal sofa yang tadi terjatuh dan meletakkannya di pangkuannya.
“Apa?” Kirana makin sewot. Bola mata pingpongnya nyaris keluar dari kelopak matanya mendengar perkataan Laras barusan.
“Ups, sorry. Maksudku, kalau kamu susah, aku tambah susah. Begitu, Na.” Laras buru-buru meralat ucapannya sebelum Kirana tambah marah nggak karuan.
“Dasar sinting!” Kirana melemparkan sebuah bantal sofa lagi ke arah Laras dan kali ini benda empuk itu tepat mendarat di muka Laras dengan sukses. Gantian Laras yang melotot sedang Kirana cuma nyengir. Laras balas melempar. Sedetik kemudian, mereka resmi main lempar-lemparan bantal sofa. Seru.
***
“Kirana!”
Kirana menoleh ke arah datangnya suara. Tampak seulas senyum tersungging di bibir mungilnya. Tak jauh dari tempatnya duduk, tampak Dewa berdiri sambil melambaikan tangan ke arahnya. Kirana bangkit lalu bergegas menyongsong Dewa yang juga berjalan ke arahnya.
“Hai, apa kabar?” sapa Kirana kemudian, sebenarnya ia ingin sekali memeluk cowok itu demi menumpahkan rasa rindunya, tapi itu tidak dilakukannya, lagian nggak enak juga sama orang-orang yang berseliweran di tempat itu.
“Baik,” senyum Dewa. “Kita mesti bicara, Na,” kata Dewa lagi, lalu diraihnya tangan Kirana, cewek itu nurut aja.
Mereka menuju taman tempat biasa mereka ngobrol bila bertemu di kampus.
“Ada apa, Wa?” tanya Kirana sudah tidak sabar.
Ditatapnya kekasih pujaan hatinya itu lekat-lekat. Dewa balas menatapnya. Ia tersenyum.
“Ada apa, sih?” Kirana makin penasaran karena Dewa tak kunjung bicara, ia hanya diam sambil tersenyum misterius.
“Ngomong, dong, Wa. Kalau kamu nggak mau ngomong duluan, baiklah, sekarang aku yang ngomong,” Kirana menarik napas sejenak untuk menenangkan hatinya. “Ngomong-ngomong selama ini kamu kemana aja, sih? Nggak ke kampus, nggak pernah telepon, aku telepon lewat HP-mu, nggak pernah aktif. Kenapa, Wa? Kamu sengaja menghindariku, ya?”
Dewa hanya tersenyum.
“Dewa?” Kirana tidak puas dengan reaksi Dewa.
“Maafkan aku, Na,” kata Dewa pada akhirnya.
Kirana gantian yang tersenyum.
“Na, entah bagaimana aku harus memulainya, tapi bagaimana pun juga aku harus mengatakannya padamu,” Dewa mulai serius.
“Ya, ngomong aja,” Kirana tersenyum lagi.
“Na,” Dewa meraih tangan Kirana dalam genggamannya.
“Ya?” Kirana menatapnya.
“Maafkan aku, Na. Aku rasa sebaiknya kita jalan sendiri-sendiri saja,” ucap Dewa lirih.
“Apa?” Kirana terkejut bukan kepalang sampai-sampai ditariknya tangannya dari genggaman Dewa seketika itu juga.
“Kamu ingin kita berpisah?” tanya Kirana tak percaya.
Dewa mengangguk pelan.
“Kamu ingin putus, Wa?” Kirana berharap Dewa tidak bersungguh-sungguh.
Dewa mengangguk lagi.
“Kamu sungguh-sungguh?” Mata Kirana mulai berkaca-kaca. Ada bias luka terpancar dari sinar matanya.
“Iya, Na. Maafkan aku,”
“Kenapa, Wa?” tanya Kirana ingin tau apa alasan Dewa berbuat seperti itu padanya. “Apa ada cewek lain?” Air matanya mulai menetes, tapi buru-buru disekanya. Ia tidak mau terlihat lemah di depan Dewa meskipun ia tidak bisa menyembunyikannya.
Dewa menggeleng.
“Apa aku berbuat salah?”
Dewa menggeleng lagi.
“Kau sudah bosan padaku?”
“Bukan begitu, Na.”
“Kau sudah tak sayang lagi padaku?”
“Aku menyayangimu, Na, bahkan aku masih mencintaimu, tapi,”
“Tapi kenapa, Wa? Kenapa kita mesti berpisah sedangkan kamu masih mencintaiku? Kenapa kita harus putus sedangkan kita masih saling mencintai. Kenapa, Wa?”
“Kirana...,” Dewa meraih tubuh Kirana dalam pelukannya. Cewek itu terisak di dadanya. “Maafkan aku, sayang,” Dibelainya rambut Kirana lembut. Kirana makin terisak.
***
Malam telah larut, tapi Kirana belum juga bisa memejamkan matanya. Kembali ia teringat Dewa.
“Saat ini aku hanya ingin sendiri, Na. Mengertilah,” Kata-kata Dewa masih terngiang di telinganya.
“Kalau Dewa menginginkannya; lepas, bebas, tak terikat, biarkanlah, Na. Mungkin itu jalan yang terbaik bagi kalian berdua. Toh, cinta tak selamanya harus memiliki dan mencintai seseorang bukan berarti harus bersamanya. Iya, kan?” Kirana teringat kata-kata Laras saat ia memberitahukan perihal putusnya hubungannya dengan Dewa.
Kirana menghela napas panjang. Ia merenungkan kata-kata Laras. Kirana mendesah lagi. Kalau memang itu yang diinginkan Dewa: bebas, lepas, tanpa harus terikat pada siapapun, tampaknya ia memang harus merelakannya pergi meskipun hatinya terasa sakit dan terluka.
Dan dalam kebisuannya, tiba-tiba Kirana tersenyum sendiri. Tiba-tiba saja ia teringat sepenggal syair lagu milik Dewa 19:
“...aku ingin terbang tinggi seperti elang...
melewati siang malam menembus awan...”
melewati siang malam menembus awan...”
Apakah itu yang kau inginkan, wa? Seperti elang? Kirana masih memandangi bulan purnama lewat jendela kamarnya yang terbuka. Ah, Dewa.
TAMAT
*Dimuat di ANITA Cemerlang No. 11/XXII/1 – 14 Juni 2001
Kirana menoleh ke arah datangnya suara. TAMPAK seulas senyum tersungging di bibir mungilnya. Tak jauh dari tempatnya duduk, TAMPAK Dewa berdiri sambil melambaikan tangan ke arahnya. Kirana bangkit lalu bergegas menyongsong Dewa yang juga berjalan ke arahnya.
BalasHapusTAMPAK hanya ingin lebih sering tampil... :D
BalasHapusTerima kasih sudah berkomentar ^^
hehehe. Padahal bisa dipakai TERLIHAT..*
BalasHapus*mengkritik memang selalu lebih mudah yah.hehe
*tapi perlu keberanian untuk melakukannya. ^^
BalasHapus